Friday 2 December 2011

NU

NU: Proses Metamorfosis Jangka Panjang
“Kembali ke Khittah 1926″ adalah sebuah titik kulminasi dalam sejarah NU, yang nilainya barangkali hanya bisa ditandingi oleh peristiwa kelahirannya dahulu. Sementara kontroversinya jelas tidak tertandingi oleh titik sejarah NU manapun. Sedemikian rupa, sehingga kontradiksi dalam tubuh organisasi ini selalu dibangun atas dasar semangat Khittah 1926. Itulah sebabnya ketika semua tokoh NU merujuk pada khittah, mereka bisa saja mempunyai sikap yang berbeda, bahkan terkadang saling bertentangan, terhadap suatu hal tertentu. Ini bisa sekaligus bermakna positif maupun negatif. Positif, sejauh perbedaan itu menjamin kontinyuitas dinamika NU. Dan negatif karena bisa saja orang luar menilai NU tidak pernah benar-benar memiliki persamaan visi dan persepsi. Kendati demikian, khittah tidak diragukan lagi telah mendorong NU untuk melakukan serangkaian transformasi, yang sebagian telah menunjukkan hasil yang signifikan, sementara sebagian lainnya masih berjalan tersendat-sendat.
Pada lingkup internal, transformasi diarahkan pada tujuan untuk menemukan pola distribusi kewenangan yang tepat untuk menjamin kembalinya supremasi ulama dalam NU sebagaimana diseyogyakan oleh khittah. Proses ini hmgga sekarang belum juga mencapai hasil yang berarti, kecuali gambaran yang samar-samar tentang Syuriyah yang lebih berotoritas serta Tanfidziyah dengan otonomi yang terkendali. Akan tetapi bagaimana otoritas Syuriyah itu diwujudkan dan bagaimana otonomi Tanfidziyah dikendalikan, masih belum ditemukan rumusan yang tepat, meskipun berbagai solusi alternafif telah ditawarkan dan diujicobakan. Kegagalan menemukan runusan Yang tepat itu setidaknya disebabkan oleh tiga hal. Pertama, upaya pengembalian supremasi dan otoritas ulama tidak pernah benar-benar dapat diakselerasi penuh, oleh karena adanya kekhawatiran bahwa ekses upaya itu akan berbenturan dengan kehendak akan demokratisasi dalam tubuh NU.
Kedua, berkaitan dengan adanya kelemahan-kelemahan di kalangan ulama NU sendiri. Sedikit sekali di antara mereka yang benar-benar memiliki kapasitas untuk menegakkan supremasi ulama. Kebanyakan mereka masih terperangkap dalam pemahaman yang tekstual terhadap kitab-kitab klasik acuan NU, sehingga sulit untuk bergerak lincah mengikuti dinamika jaman tanpa berkesan reaktif dan oportunistis. Kelangkaan ulama yang kapabel ini kian terasa sepeninggal KH Achmad Siddiq di tahun 1991. Barangkali KH Sahal Mahfudz cukup mendekati kualitas KH Achmad, tapi semuanya menjadi tidak berarti ketika ia berhadapan dengan KH Abdurrahman Wahid. Begitu pula KH ilyas Ruchiyat, meskipun sebenarnya cukup kapabel, namun tokoh ini terlalu lowprofile serta lebih banyak menahan diri dan menghindari manuver-manuver yang mengejutkan. Dan ketiga, pengembalian supremasi ulama, yang semestinya berarti pembesaran otoritas Syuriyah, haruslah berimplikasikan pengurangan otonomi Tanfidziyah secara cukup besar. Dan persoalan ini tidak pernah cukup sederhana sehingga dapat diselesaikan dengan segera. Masalahnya adalah karena otonomi Tanfidziyah telah mengalami pemekaran selama kurun waktu yang cukup lama, sehingga tidak mudah untuk begitu saja mengecilkannya kembali. Terlebih lagi, Tanfidziyah yang merupakan pelaksana sehari-hari roda organisasi NU selalu lebih awal bersinggungan dengan persoalan-persoalan pada konteks eksternal, sehingga oleh karenanya mereka memiliki pemahaman yang lebih baik daripada Syuriyah tentang persoalan eksternal itu. Dan akhirnya, pengurangan otonomi Tanfidziyah itu kian dipersulit oleh keberadaan Abdurrahman Wahid di sana. Ia bukan saja mewarisi “darah biru NU”, namun juga kapasitasnya yang multidimensional telah menjadikan tokoh ini nyaris tak tersaingi dalam bursa hegemoni NU.
Dengan ini agaknya mulai dapat dibuat simplifikasi jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dirumuskan dalam buku ini:
Pertama, bagaimanakah dinamika NU dalam implementasi keputusasn untuk kembali ke Khittah 1926? Ke arah manakah dinamika itu berjalan?
Dalam lingkup internal, inti dinamika NU adalah transformasi ke arah pengembalian supremasi ulama yang, seperti disebutkan diatas, hingga saat ini belum juga berhasil menemukan formula terbaiknya. Selanjutnya pada lingkup eksternal, dinamika NU berkaitan dengan reorientasi dari kuantitas menuju kualitas politik. Dan ini akan sekaligus menjawab pertanyaan kedua: Bagaimanakah model kepolitikan NU berkaitan dengan implementasi di atas?
Tentang reorientasi politik NU, rupa-rupanya para pengamat mempunyai penilaian yang berbeda-beda. Sebagian menilai bahwa NU pasca khittah adalah NU yang sama sekali tidak berpolitik, sementara sebagian yang lainnya meyakini bahwa hanya aktifitas politik praktis yang kini ditinggalkan NU, dan sisanya beranggapan bahwa NU pasca khittah masih membingungkan: berpolitik atau tidak, dan bagaimana.
Kajian ini hendak menyimpulkan bahwa kepolitikan NU pasca khittah sebenarnya telah cukup jelas. Sederhana saja, setelah kembali ke khittah, NU sebagai organisasi melepaskan concernnya terha-
dap politik praktis dan kelembagaan yang didasarkan pada kalkulasi kuantitatif. Persoalan itu diserahkan sepenuhnya kepada warga secara individual, dan sebagai lembaga, NU berpolitik dalam arti yang lebih luas di dalam konteks sebuah komitmen: bagaimana NU bisa menjadi kekuatan komplementer yang mampu memberikan kontribusi yang optimal terhadap usaha peningkatan kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian NU memandang bahwa keterkaitan organisasional dengan orsospol manapun menjadi tidak lagi relevan, kalau bukan malah membawa kerugian. Karena itulah hubungan kelembagaanya dengan PPP lalu dilepaskan, dan NU mencoba menjaga jarak yang sama terhadap ketiga OPP. Secara mengesankan hal ini ternyata selaras dengan rekayasa politik Orde Baru. Sudah barang tentu “memberikan kontribusi yang optimal” juga berarti NU berkehendak untuk memiliki pengaruh dalam proses pembuatan keputusan baik pada tingkat nasional maupun tingkat lokal. Apalagi jika disetujui bahwa sebagai kelompok kepentingan NU haruslah mampu mengartikulasikan kepentingan warganya. Akses terhadap pembuatan kebijaksanaan publik ini ditempuh NU melalui mekanisme informal dengan mengguna- kan lobbying sebagai teknik utamanya. “Beyond politics”, “politik tanpa panggung”, “politik di balik layar”, “politik makrifat”, atau apapun namanya, yang pasti mekanisme formal tidak lagi menjadi bagian dari kepolitikan NU. Hanya saja, kepolitikan semacam itu menyebabkan efektifitas pengaruh NU terhadap proses politik yang sedang berjalan menjadi sulit diukur. Yang jelas, NU teryata ba- nyak memanfaatkan peran warganya untuk tetap hadir dalam proses politik lokal maupun nasional secara tidak resmi. Itulah sebabnya, meskipun menyatakan bahwa ukuran sukses politiknya tidak lagi didasarkan pada kalkulasi kuantitatif, namun temyata NU masih terus memetik manfaat dari kehadiran serta aktifitas politik warganya dalam struktur poiitik. Tentang aktifitas politik praktis warga NU ini, orang rupanya masih kerap mempersoalkannya. Bahwa NU menyerahkan politik sebagai hak individual warganya, dengan mudah dapat dipahami orang. Tapi bukankah itu juga berarti warga NU tidak dibenarkkan lagi melakukan tindakan politik praktis apa pun dengan diatasnamakan NU? Kenyataannya, tidak pernah benar-benar dapat ditiadakan keterkaitan antara manuver-manuver politik tokoh-tokoh NU dengan NU sendiri. Sebut saja usaha-usaha tokoh NU untuk merombak struktur kepemimpinan PPP, atau bagaimana mereka terwakili dalam legislatif entah melalui ketiga OPP maupun sebagai utusan golongan –semua ini dimungkinkan karena mereka adalah “orang NU”, yang dengan demikian berbuat atas nama NU. Tentu sulit disangkal bahwa NU jadi terasa hipokrit dalam hal ini. Akan tetapi penilaian ini sebenarnya tidaklah tepat. Hipokrisi terkesan ada dalam kepolitikan NU tidak lain adalah karena “NU” memiliki dua dimensi, di mana seringkali terjadi kesalahan: orang menilai penampakan NU dalam salah satu dimensi dengan ukuran yang seharusnya berlaku untuk dimensi lainnya. Kedua dimensi itu iaiah apa yang dalam bahasa NU disebut sebagai jam’iyah dan jamaah. Jadi, “NU” bisa suatu ketika berarti “jam’iyah NU” dan pada ketika yang lain berarti “jamaah NU”. Dan inilah refute explanalion terhadap tuduhan hipokrisi NU. Dalam Bab II disebutkan bahwa kelahiran NU di tahun 1926 sebenarnya lebih dari sekadar penegasan formal terhadap mekanisme informal suatu komunitas yang berada dalam suatu subkultur bernama Islam menurut kaidah ahlussunnah wal jamaah. Jauh sebelum dimensi sebagai jam’iyah tampak, “NU” telah terlebih dahulu muncul dalam dimensi sebagai jamaah. Kedua dimensi ini menjadikan NU sangat unik. Dalam dimensi sebagai jam’iyah, NU adalah seperti lazimnya suatu organisasi formal di mana saat ini ia memiliki cara pandang yang sangat jelas untuk tidak melakukan aktifitas politik praktis secara kelembagaan. Kalaupun berpolitik, hal itu dilakukan dalam bingkai yang sangat lebar sebagai kekuatan sosial yang komplementer dalam kehidupan kenegaraan. Mengacu pada dimensi ini, warga dan tokoh NU tidaklah dibenarkan untuk menamakan dirinya orang NU”, atau untuk dinamakan demikian. saat berpolitik praktis. Akan tetapi dalam dimensi sebagai jamaah, NU tidaklah dicover dalam suatu kerangka formal melainkan dalam sebuah nilai kultural yang dianutnya. Berdasarkan dimensi kedua ini, sebenarnya terdapat suatu “komunitas NU” yang tidak mesti selalu terkait dengan NU sebagai organisasi resmi. Mereka adalah suatu kelompok masyarakat kultural yang diikat oleh satu tradisi keagamaan yang sama, dengan kepentingan-kepentingannya sendiri, dan dipimpin oleh tokoh-tokoh ulama yang dalam banyak hal menjadi panutan mereka. Tokoh-tokoh ulama tersebut tentu bisa, bahkan terkadang harus, berbuat atas nama komunitas kultural yang mereka pimpin, tanpa terkait dengan organisasi formal NU. Dengan kata lain, tokoh-tokoh NU tetap dibenarkan melakukan aktifitas kepolitikan praktis atas nama jamaah NU, meski pada saat yang sama NU menyatakan bahwa hal itu sama sekali tidak berhubungan dengan organisasinya dan semata-mata tindakan individual tokoh-tokoh yang bersangkutan. Dimungkinkannya warga dan tokoh NU untuk berbuat di luar bingkai kelembagaan formalnya, namun secara kultural tetap menamakan dirinya orang NU” memang secara skeptis bisa tampak sebagai hipokrisi politik. Itulah persoalannya.
Selanjutnya, bagi jam’iyah NU, ditinggalkannya aktifitas politik praktis yang selama berpuluh tahun nyaris menyita habis seluruh perhatiannya, telah membuka kemungkinan dirambahnya berbagai aktifitas baru dalam banyak bidang sambil secara simultan melakukan perbaikan terhadap bidang-bidang garapan lamanya yang sempat agak terbengkalai. Sudah barang tentu hasil yang dicapai NU dalam bidang-bidang seperti ekonomi, pendidikan, dan pengembangan sumberdaya manusia sampai sejauh ini masih belum memuaskan, apabila dibandingkan dengan Muhammadiyah misalnya. Namun sebagai langkah awal, berapa pun kecilnya hasil yang dicapai tentu bukannya tidak bernilai. Apalagi jika diperhatikan bahwa NU sampai tingkat tertentu telah melakukan terobosan dengan menempuh strategi baru yang menghubungkan potensi umatnya dengan kekuatan strategis yang sebelumya tidak pernah dilirik oleh ormas Islam lain termasuk Muhammadiyah. Dari terobosan ini antara iain lahirlah BPR-BPR Nusumma. Langkah serupa juga dilakukan NU saat ia mengembangkan jaringan hubungan yang luas dengan LSM-LSM, berbagai kelompok masyarakat di luar Islam, serta kedekatan politik dengan militer yang tak kurang telah memberi NU keuntungan yang cukup berarti. Terobosan lain dilakukan dalam bidang syari’ah ketika NU melakukan switch dari pandangan bahwa pemikiran keagamaan diterima sebagai konsumsi hasil menuju pandangan yang menilainya sebagai suatu proses keilmuan. Ini adalah sebuah perubahan besar setidaknya dilihat dari sudut pandang NU. Jika sebelumnya ijtihad dipandang telah ditutup oleh kristalisasi pemikiran ulama-ulama terdahulu dalam mazhab-mazhab, maka sejak 1992, akibat meningkatnya kompleksitas problema sosial, ulama NU mulai menerima penggunaan metode kontekstual manhaji untuk melengkapi metode tekstual dalam memahami kitab-kitab klasik dan untuk menjawab persoalan-persoalan aktual. Dilakukannya perubahan mendasar yang telah menambah titik konvergensi NU dengan Muhammadiyah ini antara lain dimungkinkan karena waktu dan pikiran yang dimiliki NU tidak lagi tersita oleh kegiatan politik praktis. Dengan demikian perkembangannya selama ini telah memberikan gambaran membaiknya prospek NU sebagai sebuah kelompok kepentingan. Secara konseptual kemungkinan ini didukung oleh keyakinan Almond, yang dikutip dalam Bab I, bahwa perubahan sosial dan ekonomi yang merupakan salah satu elemen penting pembangunan politik akan sangat bermakna positif bagi kelompok-kelompok kepentingan, khususnya kelompok asosiasional seperti NU. Pasalnya adalah karena di samping merombak struktur dan kultur suatu sistem politik, perubahan sosial dan ekonomi juga akan meningkatkan arus informasi dan kontak antara setiap bagian masyarakat, serta meningkatkan level pendidikan, kesehatan, dan status anggota masyarakat. Peningkatan level pendidikan dan status sosioekonomik selanjutnya berkaitan erat dengan tingkat kesadaran politik, partisipasi, dan perasaan kompetensi politik. Di sinilah peran kelompok-kelompok kepentingan menjadi lebih signifikan.
Bagi NU sendiri, signifikansi perannya di masa mendatang lebih dimungkinkan pula oleh besarnya massa yang dimiliki. Proses politik dan aktifitas pembangunan yang sedang berjalan tentu tidak akan mengabaikan massa NU ini, apalagi dengan mulai bergesernya strategi pembangunan ke arah bentuk people centered development. Terlebih lagi jika diakui bahwa sebagian besar massa NU dengan taraf perekonomian yang masih rendah dan tingkat pendidikan formal yang relatif adalah mereka yang secara kualitatif masih sangat perlu diperbaiki. Tentu adalah termasuk beban NU untuk mengoreksi kelemahan-kelemahan warganya itu serta untuk menghela mereka agar lebih cepat mengejar ketertinggalan dari warga negara pada umumnya. Namun dengan itu pula NU mestilah bersiap-siap terhadap kemungkinan bahwa ia akan menjadi salah satu kelompok subjek pembangunan yang terpenting jika kelak pembangunan nasional jangka panjang tahap kedua benar-benar menuliskan “pengembangan sumberdaya manusia” sebagai tema sentralnya. Agenda terpenting selanjutnya bagi NU nantinya adalah menetapkan sasaran paripurna kiprah NU yang terletak pada kaitan sasaran itu sendiri dengan jenis masyarakat/bangsa yang diinginkan. Apakah jenisnya? Kalau masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila, di manakah letak peranan Islam di dalamnya? Kalau sasarannya masyarakat Islam, lalu bagaimanakah halnya dengan Pancasila sebagai ideologi nasional dan falsafah hidup bangsa, yang mengikat semua warga negara tanpa memandang asal-usul etnis, bahasa ibu, agama dan budaya masing-masing?

NU Dalam Peta Politisasi Islam Indonesia
Kiranya sampailah saatnya untuk mencoba meletakkan NU dalam konteks arus politisasi Islam di Indonesia merebak dalam beberapa tahun belakangan ini –sebuah politisasi yang tak jelas arahnya, dan nyaris sama tak jelasnya siapa memanfaatkan siapa di situ. Kajian ini berusaha untuk konsisten dengan rentangan yang telah ditetapkan sejak awal untuk menjangkau periode 1984/1983 dalam perjalanan NU. Kendati begitu, discourse yang menghangat justru diluar skope tersebut agaknya memang tidak semestinya terlupakan dalam diskusi ini.
Kekhawatiran tentang politisasi Islam sebenarnya bukan barang baru, sebab hal itu secara sporadis sudah mulai terlontarkan sejak awal pembentukan ICMI beberapa tahun lalu. Hanya saja, kekhawatiran tersebut pada awalnya terasa kurang begitu relevan, dan orang lebih suka memberi perhatian pada sinyalemen Abdurrahman Wahid bahwa ICMI akan menyuburkan kembali sektarianisme politik di negeri ini, dan oleh karena itu ia menolak untuk bergabung di sana –sesuatu yang dengan alasan berbeda juga dilakukan oleh Emha Ainun Nadjib, misalnya. Akan tetapi di belakang hari kegelisahan dan kritik-kritik terhadap politisasi Islam itu kian bermunculan, dan mulai diformat dalam argumentasi yang sistematis, logis, dan, karena itu, tidak bernuansa agitatif dan memihak. Sehingga, sulit disangkal bahwa tema tersebut memang merupakan salah satu persoalan krusial dalam wacana politik Indonesia dewasa ini. Memang, akan tampak begitu tendensius sebab ketika orang berbicara tentang politisasi Islam hampir dengan serta merta ICMI turut tertunjuk. Akan tetapi ini bukannya tidak beralasan, sebab ICMI nyaris dimainkan sebagai manifestasi paling konkrit dari fenomena politisasi Islam itu, meski di sisi lain kehadiran organisasi ini memang bisa di anggap sebagai salah satu indikasi bagaimana pola hubungan yang akomodatif antara Islam dan pemerintah.
Ketika mengamati ICMI, ketika melihat gelagat organisasi ini serta caranya turut ambil bagian dalam persaingan hegemoni pada anak tangga kedua (sebab sementara ini hegemoni pada anak tangga teratas belum terbuka bagi persaingan) bersama kekuatan-kekuatan politik terpenting lainnya, terutama Golkar dan Angkatan Darat, orang dapat menemukan sekali lagi penampakan pola patron-klien dalam sebuah proses politik. ICMI dalam satu segi, diakui atau tidak, telah menjadi sebuah political vehicle yang mengantarkan orang-orangnya ke kursi-kursi jabatan publik terutama di tingkat pusat. Sehingga, sejumlah jabatan menteri dalam kabinet saat ini pun dipegang “orang ICMI”, disamping muncul isu “penghijauan” lembaga MPR/DPR. kedekatan Habibie sebagai Ketua dengan innest circle kekuasaan negeri adalah faktor utama yang memungkinkan hal itu. Dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwa ICMI, disamping Golkar dan Angkatan Darat, memang telah menjadi pilihan terbaik ketika orang mencari akses ke jajaran elit kekuasaan. Dan, selanjutnya, tokoh-tokoh puncak ketiga kekuatan ini tampil sebagai penentu terpenting di bawah presiden Soeharto terhadap hitam putihnya wajah politik saat ini.1 Kesemua ini turut dimungkinkan pula oleh karena dipihak lain pemerintah rupa-rupa nya sedang membutuhkan suatu sumber legitimasi baru bagi kekuasaannya, denga alasan apapun. Tapi pertanyaannya tentu ialah, mengapa ICMI? Atau dengan kata lain, mengapa Islam yang harus menjadi legitimasi baru itu?
Adalah sebuah paradoks, kata Schwarz,2 bahwa ketika usaha pemerintah untuk mengebiri umat Islam sebagai suatu kekuatan politik mulai membuahkan hasil di akhir 1970-an dan awal 1980-an, maka popularitas Islam sebagai pranata sosial, etika dan spiritual ternyata justru mulai meningkat. Sebab yang mendasarinya bisa bersifat keagamaan semata-mata, dan bisa pula karena alasan yang bersifat poljtis. Sebab yang pertama berkaitan denjian keingnan banyak kalangan masyarakat Islam Indonesia untuk menemukan dalam agama ini suatu tempat pijakan yang kokoh di dalam sebuah dunia yang sedang mengalami modernisasi dan perubahan secara pesat dan membingungkan ini. Mereka mencari cara untuk mewujudkan Islam yang lebih relevan untuk mewujudkan Islam yang lebih relevan bagi kehidupan dunia modern. Baik paham Islam tradisional maupun modernis segera menunjukkan daya tarik khasnya masing-masing dalam alur kecenderungan ini.
Sementara itu pemerintah untuk melakukan depolitisasi di Indonesia telah mendorong banyak orang untuk berpaling ke Islam. sebagai sebuah arena politik alternatif. Trend ini, diamati oleh Adam Schwarz, tanpa terkecuali muncul pula di lingkungan kampus, di mana aktifitas politik telah dibatasi sangat ketat sejak akhir 1970-an. Aktifitas politik mahasiswa yang semula sangat marak tiba-tiba menjadi mati ketika pemerintah melakukan restriksi terhadap kepolitikan kampus. Akibatnya, sebagian besar aktifitas mahasiswa bergeser ke lingkungan masjid kampus, sebab bagaimana pun mereka membutuhkan saluran bagi aspirasi politiknya dan selalu akan mencari saluran itu di manapun mereka bisa. Masjid kampus nyaris menjadi pilihan satu-satunya bagi kebutuhan itu, setidaknya dalam kurun waktu tertentu. Dan yang lebih esensial, kecenderungan ini telah mendorong berkembang-pesatnya kelompok-kelommpok studi Islam di kampus, dan resultansinya yang paling kasat mata antara lain adalah semakin banyaknya mahasiswi yang mengenakan jilbab.
Islam telah merambah jauh ke dalam kalangan elit terpelajar, suatu kelas yang secara tradisional dikenal sebagai priyayi, yang mengingatkan orang pada trikotomi santri-abangan-priyayi dalam karya klasik C. Geertz. Di sinilah muncul pembicaraan tentang santrinisasi priyayi. Resultansi lebih jauh dari revivalisme Islam itu dengan demikian ialah munculnya suatu kebanggaan untuk menonjolkan identitas keislaman di kalangan menengah ke atas, kalangan yang dalam era sebelumnya hampir-hampir bersikap ‘dingin’ terhadap persoalan-persoalan keagamaan. Dengan segera menjadi jelaslah bahwa telah terjadi perubahan komposisi sosial dalam komunitas Islam, dan ini menjadikan Islam tidak lagi bisa diabaikan oleh penguasa. Sehingga dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah terasa begitu responsif dan akomodatif terhadap umat Islam.3 Dan akhirnya, perkembangan yang paling bermakna bagi Islam di Indonesia, dan juga yang paling kontroversial, adalah dukungan kuat dari Presiden Suharto terhadap pembentukan ICMI, yang di akhir 1990-an menyeruak dari kerumunan hingar-bingar revivalisme Islam, dan yang oleh Schwarz disebutkan sebagai usaha serius yang pertama sejak jatuhnya Masyumi untuk menyatukan kelompok kelompok Muslim Indonesia yang beraneka ragam di bawah satu bendera.4 Dan inilah sebenarnya salah satu inti persoalan yang akan didiskusikan di bawah.
ICMI, meskipun di satu sisi adalah “a natural product of the process of Islamic revivalism”5 rupanya telah menjadi suatu pilihan ketika sebuah sumber dukungan baru perlu dicari saat pendukung terpenting Presiden Suharto, yakni militer, mulai tidak lagi dapat diandalkan sebagai sandaran tunggal. ICMI dengan demikian ditempatkan sebagai sebuah kekuatan penyeimbang, dan yang terjadi adalah penggalangan dukungan dari kalangan umat Islam. Frase politisasi Islam adalah menunjuk ke sini.
Yang sangat menarik adalah, meskipun ICMI menawarkan banyak keuntungan bagi siapa saja yang bergabung di dalamnya –tawaran yang memang banyak terbukti–, akan tetapi ternyata tetap ada kalangan yang dengan eksplisit menolak untuk bergabung disana, seperi Abdurrahman Wahid. Latar belakang pemikiran tokoh ini menolak dalam ICMI telah didiskusikan dalam Bab III dan V buku ini, dan karena itu yang perlu diulas lagi adalah implikasi obyek-tif dari apa yang akan dibawa oleh penolakan itu. Satu hal yang jelas, penolakan itu telah menimbulkan kesan (atau barangkali yang lebih tepat mengkondisikan ini:) NU telah menarik garis batas yang jelas dengan ICMI. Sekalipun beberapa tokoh NU, seperti KH Ali Yafie, tidak menolak untuk masuk ICMI, namun figur sentral dalam komunitas NU itu telah berbuat lain. Dan tak seorang pun yang akan menyangkal adanya image bahwa Abdurrahman Wahid adalah NU dan NU adalah Abdurrahman Wahid.6 Jadi faktanya sekarang ialah, sebagian besar komunitas NU, kalau bukan malah seluruhnya, berada di luar ICMI.7 Dan itu di satu sisi bisa berarti NU cukup selamat dari tarikan arus politisasi Islam. Pertanyaannya tentu, mengapa? Untuk sebagian dapat dijelaskan bahwa sikap NU yang tak lagi menekankan pada pendekatan legal-formalistik telah cukup efektif untuk menjaganya dari efek politisasi Islam itu. Douglas Ramage,8 suatu saat mengelaborasi pemikiran Gus Dur, bahwa “kalau NU terus membiarkan dirinya terperangkap di dalam struktur politik formal yang secara ketat dikendalikan oleh pemerintah, ia harus tergiring untuk melakukan penyesuaian dengan keinginan penguasa”. Dengan secara luwes menempatkan diri sebagai komplementer dengan aksentuasi gerakan moral untuk aktualisasi sebuah masyarakat dengan “wawasan Islam” dan bukan “struktur Islam”, NU praktis berada di luar segmen “godaan ICMI”. Dari sudut tinjauan ini maka ICMI hanya menjadi hiburan” bagi mereka yang memiliki kecenderungan legal-formalistik di kalangan umat Islam. Dengan adanya ICMI, mereka yang dicekam oleh obsesi kelembagaan dalam aktualisasi Islam akan merasa bahwa Islam sudah berperan penting dalam proses politik negeri ini, dan karena itu mereka tidak perlu lagi berpikir macam-macam. Persoalannya, orang-orang dengan kecenderungan seperti itu masih belum bisa dibilang sedikit hingga saat ini. Sehingga ICMI sedikit demi sedikit akan muncul sebagai sebuah wajah tunggal gerakan politik umat Islam Indonesia. Dan ini, dilihat dari kacamata tertentu, bisa membawa implikasi negatif di belakang hari.
Berangkat dari fakta bahwa lifebold ICMI yang terutama adalah patronase dari penguasa, maka orang mesti mengambil asumsi bahwa patronase semacam ini sangatlah tidak permanen. Ia berbeda dengan akar yang dibangun di bawah, yang lebih permanen dibandingkan dengan tempat bergantung di atas. Ketika berbicara tentang suksesi kepemimpinan nasional, orang sebenarnya juga sedang memperbincangkan patronase yang selama ini menjadi andalan ICMI. Jika suksesi kepemimpinan itu terjadi, dengan kata lain jika terjadi perubahan politik yang sedemikian rupa sehingga menyebabkan ICMI kehilangan patronnya, maka tak hanya ICMI, namun boleh jadi umat Islam Indonesia keseluruhan akan merasakan dampak negatifnya. Momentum itu sangat boleh jadi begitu dinantinantikan oleh saingan-saingan politik ICMI, dan segera akan dimanfaatkan oleh mereka untuk dengan senang hati menghantamnya.9 Dan jika ICMI benar menjadi wajah tunggal gerakan politik Islam Indonesia, kejadian itu akan menyebabkan keseluruhan umat Islam sangat terugikan. Tidak boleh tidak, harus ada sekelompok umat Islam yang tetap berada di luar ICMI. Kelompok ini akan menjadi cadangan bagi kaum muslimin di Indonesia, jika sebuah tragedi (semoga saja kalkulasi ini salah) terjadi menimpa gerakan politik mereka. Sejauh ini, NU dapat diharapkan memenuhi kriteria kelompok dimaksud.
NU hingga saat ini tetaplah perwujudan paling riil dari apa yang secara nominal disebut umat Islam di Indonesia, selain Muhammadiyah. Dan NU menjadi siginifikan bagi pembicaraan tentang politisasi Islam seperti diuraikan di atas, oleh karena ia memiliki beberapa karakteristik yang tidak dimiliki secara sekaligus oleh organisasi Islam mana pun. Karakteristik itu meliputi hal-hal berikut: pertama, NU memiliki akar kuat sampai ke lapisan masya- rakat terbawah. Kaum muslimin di pedesaan yang pada umumnya bekerja sebagai petani, nelayan atau pedagang retail kecil, dengan tingkat pendidikan dan penghasilan relatif, serta merupakan kalangan mayoritas dibandingkan dengan kaum muslimin di perkotaan yang berpendidikan dan berpenghasilan cukup dari pekerjaan mereka sebagai pegawai pemerintah atau pedagang/pengusaha, masihlah memiliki identifikasi diri dan alamat kultural NU. Kebanyakan mereka masih berpayung budaya paternalistik dengan figur sentral para kiyai dan ulama pada level lokalnya masing-masing, dan dalam pola ketaatan santri-kyai yang sampai tingkat tertentu masih cukup kental. Para kyai lokal itu untuk sebagian besar tetap merupakan pendukung NU yang kuat.
Kedua, NU adalah satu-satunya organisasi yang memiliki massa besar riil yang terbukti siap setiap saat untuk dimobilisasi. Bukti paling konkrit dari sinyalemen ini adalah ketika NU menyelenggarakan Rapat Akbar 1992. Siapapun akan mengakui, betapa antusiasnya warga NU terhadap acara itu, baik yang ditunjukkan dengan kehadiran mereka ke sana, maupun dengan kekecewaan sebagai warga NU yang, oleh karena pembatasan yang dilakukan pemerintah sampai pada aparat terbawahnya, tidak dapat menghadirinya. Di segi ini, NU bahkan tak tertandingi oleh Golkar sekali pun. Sebab, meski Golkar terkadang menunjukkan kemampuan memobilisasi massa, tetapi itu tidaklah memiliki korelasi positif dengan loyalitas massa itu dengan Golkar. Jika sesekali dicoba diinventarisasi data-data dari hadirin dalam pertemuan Golkar, dalam rangka apapun, akan jelaslah bahwa sebagian besar mereka adalah pegawai negeri, termasuk para guru. Mereka hadir bukan terutama karena merasa ada “kewajiban moral” yang dilandasi loyalitas, tetapi lebih karena kehadiran karena sedikit banyak berkaitan dengan kondite mereka. Ini tentu bagian dari sebuah rasionalitas politik, yang lepas dari pertanyaan tentang baik dan buruk. Tetapi setidaknya itu menunjukkan bahwa NU mesti diletakkan pada peringkat teratas ketika orang berbicara tentang kemampuan sebuah organisasi memobilisasi massa tanpa paksa.
Dan ketiga, NU adalah sebuah organisasi yang relatif mandiri dibandingkan organisasi-organisasi lain. Jika disimak lagi kronologis lahirnya sebuah keputusan kembali ke khittah di tahun 1984, akan tampak bahwa keputusan itu dibuat setelah melalui perdebatan dan polemik yang panjang. Dan jika hal itu diletakkan dalam konteks perkembangan situasi politik pada masanya, maka keputusan itu sesungguhnya adalah sebuah mandat bagi perubahan sangat signifikan bagi intern-ekstern NU. Adalah sebuah prestasi yang sangat khas bahwa NU dapat tetap tampil utuh setelah keputusan itu diambil, meski barangkali keutuhan yang relatif dan tetap membutuhkan “rekonsiliasi” yang cukup melelahkan. Akan tetapi ini menunjukkan bahwa NU menyimpan potensi kemandirian yang cukup besar, ketika kebanyakan orsospol di Indonesia mengalami kemacetan-kemacetan, tak berkutik dalam lingkaran kooptasi dan sangat bergantung pada negara. Dengan potensi ini, maka untuk tetap berada di luar ICMI, dan juga setiap pilihan lain apapun yang bermakna tidak mendekat-mendekati patronase politik adalah yang terbaik bagi NU. Dengan cara inilah NU bisa tetap menjaga kemandiriannya, dan dengan demikian ia semakin mampu mengaktualisasikan komitmen kebangsaannya.
=================================
1. Currently, in Indonesia,” kata Dr Afan Gaffar, there is a common perception regarding the growing influence of “the 3H”, that is Habibie, Hartono and Harmoko.” Lihat Afan Gaffar, “Indonesia set for 1988,” dalam Business Times, Week End, March 25-26, 1995. March 25-26, 1995.
2. Adam Schwarz, A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s (Sidney: Allen & Unwin Pty Ltd. 1994), khususnya bab “Islam: Coming in From The Cold?”, h. 162ff. Uraian dalam beberapa paragraf berikut akan mengacu ke sini.
3. Lihat pengantar buku ini dari Afan Gaffar di muka, atau lihat “Politik Akomodasi: Islam dan Negara di Indonesia” dalam M Imam Aziz, et. al. (eds.) Agama, Dmokrasi dan Keadilan (Jakarta: PT Gramedia, 1993).
4. Schwarz, op. cit., h. 176
5. Ibid
6. But dispite cracks in his NU support base, Wahid remains a very influental figure. He is widely respected not only within the broad santri community but also by many non-santris and non-Muslims … Wahid’s view art worth spelling out”. Schwarz, op., cit., h. 185.
7. Lihat Syafii Anwar, “ICMI dam Politik: Optimisme dan Kekhawatiran”, dalam Ulumul Quran, No.1, Vol. V1, tahun 1995, h. 7.
8. Douglas E. Ramage, “Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Pancasila dan Penerapannya dalam Era Paska Asas Tunggal”, dalam Ellyasa KH Darwis (ed.) Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil (Yogyakarta: LKiS, 1994), h. 105
9. Siapa saja yang potensial sebagai pesaing ICMI? inilah notasi Schwarz “Non-Santri Muslim, still a sizeable faction do not support the effort to raise Islam’s political profile. The military, distrustful right from the beginning of ICMI aims, will surely attempt to thwart any effort by modernists to transform the organization into the political antity. Non-Muslim, of course, and especially the powerful ethnic-Chinese business community, also can be expected to oppse the broadening of ICMI powers. But to date, all these groups have adopted a quiet, wait-and-see approach to ICMI.” Lihat Schwarz, op. cil, h. 185

No comments:

Post a Comment