Wednesday 14 December 2011

MEMBACA AL-QUR‘AN UNTUK PERUBAHAN (SEBUAH REFLEKSI SOSIOLOGIS)

MEMBACA AL-QUR‘AN UNTUK PERUBAHAN
(SEBUAH REFLEKSI SOSIOLOGIS)
Anwar Mujahidin*)
ABSTRAK
Dari hasil interaksi antara masyarakat dengan teks al-Qur‘an pada masa nabi dapat dicermati pola hubungan yang dibangun para sahabat den gan ayat-ayat al-Qur‘an. Dalam konteks ayat-ayat al-Qur‘an, masa nabi disebut juga masa pewahyuan dimana ayat al-Qur‘an tersampaikan dari penuturNya (Tuhan) bertemu dengan masyarakat yang diajak bicara, yang seolah berada dalam satu kesamaan ikatan bahasa, pikiran, nalar dan angan-angan. Umat Islam ban yak berhutang kepada zaman Abbasiyah. Pada masa tersebut telah dapat diakhiri krisis kesemrawutan dalam men ggunakan ayat-ayat al-Qur‘an dan sunnah nabi baik sebagai sumber hukum maupun rujukan dari semua aras pemikiran, untuk itu masa tersebut dikenal den gan masa tadwin, yaitu masa diletakkanya dasar-dasar keilmuan dalam Islam. Pada masa tersebut umat Is¬lam yang telah tersebar ke berbagai kawasan mulai merintis dasar-dasar teoritis dan kerangka metodologi untuk memahami ayat-ayat al-Qur‘an yang telah didokumentasikan dalam mushaf dalam keterkaitannya dengan dinamika sosial yang hendak dicerahkan. Namun usaha ini tidak mulus begitu saja, karena menda pat tantangan dari kelompok tekstualis-literalis yang in gin mempertahankan pemahamannya atas al-Qur‘an secara apa adanya sebagaimana dipahami para sahabat pada masa nabi.
Kata Kunci : Al-Qur’an, Perubahan Sosial
PENDAHULUAN
Pada masa pewahyuan yaitu masa turunnya ayat-ayat al-Qur‘an dari Tuhan kepada Muhammad SAW., dialektika antara wahyu sebagai respon Tuhan terhadap problematika kemanusiaan dan kemasyarakatan sangatlah nyata. al-Qur‘an diturunkan secara berangsur-angsur sesuai tingkat perkembangan masyarakat, bahkan sebagian ayat-ayat al-Qur‘an
*) Dosen F. Ushuluddin IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Gelar Magister Agama diraih di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta th. 2002 dalam Program Studi Taf sir Hadits.

memiliki hubungan langsung dengan peristiwa aktual dimasyarakat. Hubungan kausalitas tersebut mendorong satu tema kajian tersendiri dalam ilmu-ilmu al-Qur‘an yang disebut ilmu A sbab al-Nuzul.
Dalam riwayat-riwayat yang dapat dikatagorikan menceritakan sebab-sebab turunnya ayat-ayat al-Qur‘an dapat dipelajari bagaimana ayat-ayat al-Qur‘an menjawab polemik yang ada dimasyarakat misalnya soal hari kiamat dan soal minum arak. Memberikan ketetapan hukum misalnya soal perkawinan, waris, apa yang halal dan apa yang haram dalam soal makanan dan minuman.
Dalam Ilmu Makkiah dan Madaniah dapat dibaca bagaimana gaya bahasa, kata penunjuk orang yang diajak bicara dan tema-tema pembicaraan ayat-ayat al-Qur‘an merupakan pilihan yang disesuaikan dengan masyarakat obyek dakwah yaitu masyarakat Arab saat itu. Menghadapi masyarakat Makkah yang tingkat peradabannya masih rendah, yang dengan keras dan cara-cara kasar menolak ajaran yang dibawa Nabi, ayat-ayat al-Qur‘an menggunakan bahasa janji dan ancaman, bertutur dengan susunan kalimat yang ringkas, padat, langsung dan seringkali menggunakan pilihan kata kutukan yang keras.
Berbeda dengan ketika nabi setelah melakukan Hijrah dan menghadapi masyarakat Madinah yang berperadaban lebih tinggi. Gaya bahasa ayat-ayat al-Qur‘an yang turun cenderung menggunakan gaya bahasa informatif dan argumentatif yang konstruktif dan detail dengan tema-tema masalah hukum, keluarga sampai ekonomi.
Bila selama masa pewahyuan, Tuhan dapat berinteraksi langsung dengan detail persoalan yang ada dimasyarakat dan berbicara dengan tingkat nalar tertentu dimana kalam Tuhan dikomunikasikan, maka ayat¬ayat al-Qur‘an nampak begitu dekat, cair, dan interaktif. Persoalan kemudian ketika pewahyuan dinyatakan berhenti, nabi meninggal untuk selama-lamanya dan kalam-kalam Tuhan itu dibukukan dalam suatu muskhaf yang disebut al-Qur‘an, bahkan untuk kepentingan-kepentingan aktual saat itu dibakukan dalam satu teks, maka cukupkah masyarakat dari zaman-ke zaman berikutnya yang problematikanya tidak kalah komplek hanya berinteraksi dengan dokumen yang dibukukan dan dibakukan tersebut.
PERIODE KEMESRAAN WAHYU DENGAN MASYARAKAT
Dalam catatan sejarah tafsir pada masa nabi sesuai riwayat-riwayat yang sahih, Nabi hanya menjelaskan sebagian kecil dari sejumlah ayat¬ayat al-Qur‘an yang diperselisihkan pemahamannya di masyarakat. Perbedaan dan kebingungan dalam memahami ayat-ayat yang turun dikalangan sahabat yang dinilai native speacher/ ahl al-lisan (penutur asli)

dalam bahasa Arab ini terselesaikan begitu nabi mengeluarkan tafsirnya atas ayat yang diperselisihkan. Nabi sebagai perantara wahyu yang berkomunikasi langsung dengan ‘Pembicara’ dipandang punya otoritas yang mutlak dalam mengetahui kandungan maksud suatu ayat al-Qur‘an.
Dari hasil interaksi antara masyarakat dengan teks al-Qur‘an pada masa nabi dapat dicermati pola hubungan yang dibangun para sahabat dengan ayat-ayat al-Qur‘an. Mengapa ayat-ayat al-Qur‘an dapat mudah dipahami oleh masyarakat Arab saat itu, bahkan doktrin dan ajaran yang termuat dalam teks tersebut dalam waktu singkat dapat melembaga dalam sistem budaya dan sistem sosial seperti hubungan kekerabatan, perkawinan, sistem ekonomi, sampai sistem hubungan politik antar masyarakat dan suku-suku di Arab.
Banyak kalangan berasumsi bahwa mudahnya pemahaman bangsa Arab masa nabi karena mereka adalah orang Arab dimana al-Qur‘an turun dengan bahasa mereka. Namun betulkah orang dan masyarakat dapat memahami setiap teks yang disampaikan dengan bahasa mereka. Contoh di masyarakat kita ternyata tidak semua masyarakat Indonesia yang telah berbahasa Indonesia misalnya, memahami setiap teks yang disampaikan dengan bahasa Indoensia. Terbukti teks-teks filsafat menjadi momok bagi banyak pelajar dan mahasiswa di Indonesia dan banyak lagi teks-teks lain yang tidak dapat dengan mudah dipahamai meskipun penulis dan bahasanya adalah bahasa mereka.
Ungkapan gaul diatas setidaknya mewakili sebagian pendapat strukturalis terhadap teks. Orang akan merasa asing terhadap suatu teks yang disuguhkan kepadanya bila teks tersebut tidak ada hubungannya dengan dunianya, dengan apa yang dipikirkannya, dengan apa yang dihadapinya dan dengan cara-cara dia menghadapinya. Dengan demikian suatu teks yang hadir tidak mungkin hampa sejarah dan memasuki belantara pikiran manusia secara sendirian, ia musti hadir kait mengkait dengan teks yang lainnya yang telah hadir(Allen, 2000 : 36).
Sebagai contoh dari argumen di atas, Muhammad Abed al-Jabiri dalam suatu makalahnya ‘Qira`ah ‘Ashriyah li al-turats’, meneliti tentang bagaimana hubungan ayat-ayat warits, hubungan kekerabatan dan perkawinan dengan sistem kekerabatan Arab pada masa turunnya wahyu dan angan-angan masyarakat akan reformasi sistem tersebut. Struktur masyarakat Arab yang dominan saat itu adalah struktur masyarakat kesukuan. Andalan untuk keberlangsungan hidupnya adalah pada teknik penggembalaan dengan sistem pemilikan yang bersifat kolektif. Yang punya hak milik suatu benda dan harta adalah suku bukan individu. Pola relasi yang terbentuk diantara satu suku dengan suku lainnya adalah

relasi yang bersifat konflik untuk memperebutkan lahan penggembalaan dan lahan kehidupan lainnya.
Relasi antar suku yang bersifat konflik mengharuskan mereka untuk membangun persekutuan-persekutuan antar suku sehingga terwujud aliansi damai yang lebih besar. Untuk kepentingan tersebut maka terwujud pola perkawinan yang mengutamakan antar kerabat jauh daripada kerabat dekat dan mengutamakan perkawinan dengan suku yang jauh hubungan kekerabatannya.
Pola perkawinan antar suku untuk memperluas jaringan aliansi menimbulkan masalah tersendiri terutama soal harta waris, terutama ketika ayah anak perempuan meninggal. Bila perempuan tersebut memperoleh jatah warisan dari ayahnya baik yang berupa hewan gembalaan maupun lahan gembalaan, maka jatahnya itu berarti akan menjadi hak suaminya dan itu juga berarti akan menjadi hak dari suku suaminya. Hal itu tentu saja tidak bisa diterima oleh kalangan anggota suku darimana perempuan berasal. Dilema ini tak jarang menimbulkan permusuhan bahkan perang saudara yang berkepanjangan.
Ketika Islam mulai berkibar di Madinah, transformasi dari masyarakat kesukuan ke masyarakat bernegara dimulai, munculllah tawaran yang lebih moderat dengan memberi jatah waris anak perem-puan seperdua dari jatah anak laki-laki. Kebijakan ini diikuti dengan kebijakan lain untuk menjaga keseimbangan sosial-ekonomi yaitu kewajiban bagi sang suami untuk memberi nafkah bagi istrinya(Al-Jabiri, 2002 : 41-43).
Dengan penjelasan contoh di atas, dapat dibaca bagaimana ayat¬ayat waris, pernikahan, dan yang membicarakan sistem sosial lainnya memiliki relevansi dan saling mengacu dengan sejarah dan angan-angan masyarakat Arab saat wahyu itu turun. Tawaran sistem pembagian waris, transformasi hak dan kewajiban suami ‘nyambung’ dengan apa yang dipikirkan dan diangankan masyarakat yang ditemui oleh teks. Dengan adanya pemahaman dan interaksi yang nyambung antara suatu teks dengan komunitas pembacanya maka segera teks tersebut akan berkembang menjadi bagian dari wacana dalam komunitas dan melembaga menjadi ‘tradisi’ yang memperbaharui bagian dari tradisi-tradisi yang telah berjalan yang dipandang tidak nyaman lagi.
Interaksi yang demikian anggun antara Tuhan, nabi sebagai me-diator dan pemimpin spiritual yang otoritatif dengan masyarakatnya itu ternyata tak berlangsung lama. Proses transformasi sosial budaya yang masih panjang seolah terhenti dan terperangah kaget begitu nabi yang mereka agungkan meninggalkan mereka untuk selama-lamanya selama dunia masih berputar. Mereka seolah dipaksa untuk menyadari

bahwa nabi yang selama ini mereka agungkan adalah juga manusia biasa yang punya batas umur.
Bagi masyarakat yang berpandangan tidak ada lagi pewaris tunggal atas otoritas kharismatik nabi sebagai pemimpin spiritual (baca; sunni), maka meninggalnya nabi berarti juga berakhirnya masa pewahyuan. Ayat-ayat al-Qur‘an yang telah turun pada masa nabi, disaksikan para sahabat dan dihafal oleh sebagian besar dari mereka dan sunnah (apa yang ditradisikan nabi) menjadi warisan bagi masyarakat muslim Arab. Pusaka warisan tersebut menjadi satu modal utama mereka untuk melanjutkan proses transformasi sosial budaya selanjutnya.
Gerak sejarah bangsa Arab mulai masa nabi dan terutama semenjak ditutupnya masa pewahyuan tidak bisa lepas dari proses membaca dan memahami kalam Tuhan yang telah mereka terima. Nashr Hamid Abu Zayd dalam Mafhumun Nash menyatakan bahwa al-Qur‘an adalah teks inti dalam sejarah peradaban Arab.Bukan suatu penyederhanaan jika dinyatakan bahwa peradaban Arab Islam adalah peradaban teks” hal itu dikarenakan adanya interaksi yang intens antara masyarakat Arab Islam dengan teks al-Qur‘an disamping pergumulannya dengan realitas kesejarahan(Abu Zayd, tt : 11).
Dalam kerangka melanjutkan proses kesejarahan masyarakat muslim Arab, pada masa kepemimpinan para khalifah telah muncul wacana antara melanjutkan proses transformasi atau mempertahan-kan tradisi nabi dalam pengertian pemerintah dan masyarakat tidak melakukan perubahan-perubahan selain apa yang apa telah dilakukan nabi. Wacana ini senantiasa mewarnai setiap kebijakan baru yang ditelorkan oleh para sahabat atau sang khalifah. Dalam contoh sederhana, menanggapi usulan pembukuan naskah-naskah al-Qur‘an yang tertulis dalam beragam media tulis saat itu karena kondisi aktual bahwa para penghafal al-Qur‘an banyak meninggal dalam peperangan, sementara naskah tulisan belum terkumpul rapi, Zayd bin Tsabit penulis ayat-ayat al-Qur‘an yang turun masa nabi menjawab dengan menyatakan “bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan Rasulullah”(Qaththan, 1973:126)
Mepertahankan secara apa adanya apa yang telah dilakukan nabi menjadi ‘tabu-tabu’ yang terus membayangi inovasi, gerak maju dan pembaharuan yang dilakukan sebagian sahabat nabi teuratama dalam reformasi sistem pemerintahan, hukum dan ekonomi. Masa khalifah Umar bin Khattab tercatat paling radikal dalam soal reformasi yang tak lepas dari memicu ketegangan politik dan sosial dari kelompok masyarakat yang tidak siap dengan perubahan dengan alasan mempertahankan tradisi nabi. Meskipun demikian periode sahabat masih bisa dinyatakan sebagai

periode yang paling cair setelah periode nabi. Sebagaimana dikatakan Daniel W. Brown (2000:26)dalam ‘Men yoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern’ dalam periode tersebut umat Islam belum membedakan secara tajam antara ayat-ayat al-Qur`an dan sunnah nabi sebagai sumber hukum. Ayat-ayat al-Qur`an, sunnah nabi dan apa yang dilakukan oleh para khalifah serta sahabat berinteraksi sebagaimana wahyu pada masa nabi dengan realitas kesejarahan masa itu.
WAHYU SEBAGAI DALIL DAN DALIH
Dalam situasi perbedaan pendapat dan ketegangan sosial politik, teks al-Qur‘an, apa yang ditradisikan (baca; sunnah) nabi dan apa yang ditradisikan para khalifah atau sahabat berkembang menjadi argumen (dalil), bahkan juga pembenar (dalih) oleh kelompok-kelompok masyarakat yang muncul setelah masa khalifah ‘Ali. Periode setelah khalifah ‘Ali inilah yang disebut Nurcholis Madjid sebagai satu babak dimana pemerintahan Islam kembali kepada sistem pemerintahan Arab pra Islam dimana pemerintahan dipegang oleh satu dinasti, satu keluarga suku yang dominan yang dapat memenangi pertarungan politik.
Selama dinasti Muawwiyah berkuasa tercatat banyak bermunculan sekte-sekte yang mempertahankan eksistensinya dengan ayat-ayat al-Qur‘an. Akibat kemenangan Muawiyah dalam merebut kekuasaan dari khalifah ‘Ali telah muncul kelompok oposisi yaitu khawarij. Mereka adalah para tentara dan pengikut ‘Ali yang tidak puas dengan kekalahan ‘Ali karena dinilai sebagai kelemahan ‘Ali dengan menerima pakta perdamaian dengan Muawwiyah. Sikap ‘Ali dan pengikut setianya dinilai oleh kelompok yang menyatakan keluar dari barisan ‘Ali ini sebagai tindakan dosa besar karena tidak mau menggunakan hukum Allah.6 Sejumlah dalil dikeluarkan dan akhirnya memicu diskursus tentang apa itu dosa besar, siapa yang dosa besar dan bagaimana nasibnya nanti di hari kiamat.
Periode Muawwiyah selain sebagai periode kemunduran sistem politik Islam dan krisis legitimasi dari wahyu juga diindikasikan oleh Brown sebagai periode kekacauan sumber-sumber hukum Islam.7 Pernyataan tersebut disimpulkan Brown dari kajiannya terhadap karya-karya Imam Syafii yang berusaha keras membuat teori hukum dan menertibkan sistematika sumber-sumber hukum dalam Islam. Kelompok¬kelompok yang terlibat polemik pada masa Muawwiyah membutuhkan argumen dari wahyu dan bukti-bukti yang dapat menguatkannya dan dapat melemahkan argumen lawan.
Argumen yang paling kuat tentu saja adalah yang berasal dari al-Qur‘an dan sunnah serta kutipan-kutipan pendapat nabi. Namun tak

urung mereka menemukan bukti pembenar dari nabi, karena sunnah nabi saat itu belum terbukukan secara baik maka kecenderungan untuk plagiat dengan menyatakan bahwa argumennya adalah pendapat nabi banyak bermunculan. Inilah periode mulai merebaknya cerita-cerita palsu mengenai Rasulullah, namun sekaligus sebagai pemicu semangat untuk mulai mencatat sunnah nabi.
Setelah dinasti Muawwiyah dapat ditumbangkan oleh keluarga Abbasiyah, sinar pencerahan mulai terbuka. Dinasti Abbasiyah yang dikenal inklusif tidak Arab sentris sebagaimana Mu‘awwiyah membuka seluas-luasnya hubungan baik politik maupun intelektual dengan bangsa¬bangsa di luar kawasan Arab(Lewis, 1994:70). Irak dan Persia tercatat sebagai bangsa yang besar sebelum bangkitnya Islam dan dikenal punya peradaban yang jauh lebih maju daripada Arab. Warisan intelektualnya juga melimpah. Mencairnya hubungan dengan bangsa di kawasan Per¬sia, Irak, Mesir dan Syiria membuka pula interaksi intelektual mereka dengan Islam.
Puncak dari pergumulan antara Wahyu, bangsa Arab dan bangsa Irak, Persia, Mesir serta Syiria adalah lahirnya masa kebangkitan keilmuan yang disebut dengan ‘masa tadwin’ yaitu satu periode dimana lahir ilmu-ilmu yang dapat menopang dan merancang bangun struktur ilmu-ilmu keislaman. Kelompok-kelompok baik yang lahir dengan perdebatan dalam masalah teologi maupun hukum dapat mematangkan argumennya dengan menyusun karya-karya ilmiah. Sebagaimana dinyatakan oleh Nurcholis Madjid bahwa sejak pertengahan abad kedua hijriah banyak sekali diletakkan dasar-dasar perumusan baku ajaran Islam. Selain munculya ilmu kalam oleh kaum Mu`tazilah serta falsafah oleh adanya gelombang masuk helenisme, masa itu juga mencatat adanya proses konsolidasi faham kebanyakan umat yaitu faham jama`ah dan sunnah. Bidang Jurisprudensi (fiqh) juga telah semakin mantap pembakuannya berkat kegiatan para sarjana hukum Islam sebagaimana tercermin dalam empat madzhab. Dalam bidang sunnah juga terjadi kemajuan dengan lahirnya kodifikasi hadits yang merupakan tonggak utama konsolidasi kaum sunnah(Madjid, 1994:26-27)
Dengan semakin matangnya ilmu falsafah, dibukukannya sunnah nabi dan dibedakannnya dengan sunnah-sunnah lainnya, maka pemikiran Islam dapat digerakkan secara lebih sistematis dan ilmiah. Para ulama yang menekuni bidang hukum mulai menertibkan hukum Islam dengan menyusun sistematika sumber hukum Islam dan merumuskan metode-metode untuk mengeluarkan ketetapan dari sumber hukum tersebut. Imam al-Syafii tercatat sebagai salah satu ulama yang pada masanya dengan sukses melahirkan satu karya ilmiah yang memuat teori

teori hukum (ushul al-fiqh). Dengan karya ini ulama tidak dapat sembarangan lagi mencomot ayat-ayat al-Qur‘an sebagai dalil atau bukti pembenar dari suatu ketetapan hukum. Ulama harus mengikuti sejumlah kaidah seperti memperhatikan asbab al-nuzul dari ayat tersebut, ‘am dan khasnya suatu ibarah dalam ayat, membedakan ayat-ayat yang sudah qat‘i dan dzanni, muhkam dan yang mutsyabih. Begitu juga bagaimana mengkaitkan ayat-ayat al-Qur‘an dengan sunnah nabi berdasarkan hadits¬hadits yang terpercaya(Kamali, 1996:17)
Bila masa nabi dan masa sahabat di bawah kepemimpinan para khalifah, masyarakat bersama wahyu dan sunnah secara terbuka berinteraksi melakukan suatu dinamika reformasi kehidupan sosial politik. Masa setelah khalifah dan pemerintahan dipegang oleh Muawiyah sebagai periode kekacauan terutama dalam menggunakan ayat-ayat al¬Qur‘an dan sunnah sebagai argumen pembenar dari pemikirannya. Maka masa tadwin merupakan masa ilmiah dimana terbuka kesadaran umat Islam yang harus berpedoman dengan al-Qur‘an dan sunnah nabi tetapi bukan sekedar menjadi dalih yang asal dapat memenangkan pendapat kelompoknya tetapi bagaimana menggunakan al-Qur‘an dan sunnah sebagai dalil yang dapat dipertanggungjawabkan dasar-dasar ilmiahnya. Ayat-ayat al-Qur‘an yang tersimpan dalam mushaf dimaknai dengan metode-metode tertentu yang teruji dalam keterkaitannya dengan dinamika sosial yang hendak dicerahkan.
ORTODOKSI DAN KESULITAN MEMBACA AL-QUR‘AN
Semenjak masa tadwin, posisi Ayat-ayat al-Qur‘an yang sudah bergeser dari kalam Tuhan yang berbicara dan berkomunikasi dengan masyarakatnya menjadi dokumen suci yang hendak dipahami oleh banyak pihak. Sebagai dokumen suci ayat-ayat al-Qur‘an dibaca oleh masyarakat dalam bentuk bahasa tulis yang sudah baku bacaannya. Proyek pembukuan dan pembakuan ini sudah dimulai semenjak masa pemerintahan khalifah Abu Bakr dan ‘Utsman(al-Qaththan, 1973:125)
Berbeda dengan masa nabi dan khalifah dimana al-Qur‘an bertemu dengan masyarakat penuturnya, yang bertemu dan nyambung dalam ikatan bahasa, pikiran, nalar dan angan-angan yang sejalan, maka masa ketika al-Qur‘an menjadi mushaf atau naskah kanonik dalam istilah Mohammed Arkoun yang dibukukan dan dibakukan dengan standar masyarakat Arab sebagai masyarakat penerima awal, al-Qur‘an harus dikaji dengan pendekatan, metode, katagorisasi, perumusan obyek dan hubungan hubungan antar obyek.12 Kaharusan tersebut terjadi karena sebagaimana dikemukakan di atas mengenai teori teks, maka mulai periode masa dinasti al-Qur‘an tidak lagi hanya dibaca dan dipahami

oleh bangsa Arab sehingga tantangan akan ‘ketidaknyambungan’ antara teks dengan masyarakatnya semakin terbuka lebar, sementara ayat-ayat al-Qur‘an yang harus mereka rujuk berada dalam naskah bahasa Arab. Untuk itu berbagai jenis ilmu terutama falsafah dan bahasa yang tumbuh pada masa tadwin sangat membantu terbentuknya metode-metode untuk memahami dokumen suci tersebut sehingga lahir berbagai kitab tafsir yang merembes pada perkembangan pemikiran baik di bidang keagamaan maupun sosial, ekonomi, dan politik.
Namun masa masa tadwin tidak sekaligus menjadi masa kebangkitan Islam yang gemerlapan, karena ancaman dari yang di atas disebut ‘tabu-tabu’ juga semakin keras mempertahankan orisinalitas pemahaman al-Qur`an sebagaimana dipahami bersama nabi pada masa pewahyuan. Kelompok yang diidentifikasi al-Jabiri (2002) sebagai kelompok tekstualis-literalis ini berasal dari pengaruh nalar (cara berpikir) bangsa Arab dan bahasa Arab. Mereka berpegang teguh hanya pada bahasa Arab bukan yang lainnya sebagaimana kelompok-kelompok masyarakat lain yang tumbuh pada masa tadwin. Unsur-unsur pemikiran yang membentuk sikap mereka menjadi tekstualis-literalis antara lain sikap membatasi diri pada wilayah permukaan bahasa dengan menghindari ta`wil dan menganut pandangan ‘la kaifa’ (tidak banyak bertanya soal mengapa dan bagaimana).
Sikap kelompok literalis yang oleh Arkoun disebut kelompok ortodok dianggap menutup kemungkinan masyarakat untuk membaca wahyu dan masa nabi secara obyektif dan dinamis. Dengan mempertahankan pemahaman al-Qur‘an sebagaimana pemahaman mereka sendiri terhadap masa nabi, maka masa nabi tidak lagi menjadi masyarakat model (utswah) yang bisa diproyeksikan dalam berbagai konteks sosio-budaya dan politik yang akan dijumpai al-Qur‘an sepanjang misi kesejarahannya di jagad raya ini(Arkoun, 1998:221-222).
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Ayat-ayat al-Qur‘an diturunkan tidak hanya untuk memberikan pedoman spiritual terkait dengan hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga memberikan pedoman tentang bagaimana menusia mengatur sistem sosial, budaya, politik dan ekonomi keterkaitannya dengan hubungan antar sesama manusia. Dalam konteks tersebut, kalam Tuhan yang turun dalam baris-baris ayat disusun dalam bahasa manusia yang diajak bicara yaitu bahasa Arab dan dengan sistem symbol dan gaya bahasa yang disesuaikan dengan kemampuan penerimaan masyarakatnya.

38
2. Ayat-ayat yang berbahasa Arab yang diklaim sebagai berasal dari Tuhan dan merupakan kalam Tuhan kemudian dikumpulkan dan dibukukan dalam satu mushaf setelah masa pewahyuan dan kenabian berhenti. Misi kumpulan kalam Tuhan tersebut untuk memandu manusia seluruh jagad kemudian diemban olen bangsa Arab yang menyaksikan dan mengiringi perjalanan kenabian dalam menerima dan mengaplikasikan wahyu dalam realitas kehidupan. Dalam sejarah awal, ayat-ayat al-Qur‘an dan preseden masa nabi (baca; sunnah nabi) banyak digunakan dalih kelompok-kelompok kepentingan yang muncul dalam dinamika sosial dan politik bangsa Arab masa itu.
3. Pada masa dimana bangsa Arab berinteraksi dengan bangsa-bangsa yang berperadaban maju dan memiliki warisan intelektual yang bermutu seperti Irak, Persia, Syiria dan Mesir, umat Islam mulai dapat merintis suatu bangunan teori dan metodologi untuk memahami ayat¬ayat al-Qur‘an yang telah tersimpan dalam mushaf. Usaha tersebut merupakan satu tahap kemajuan untuk mengakhiri krisis penggunaan ayat-ayat al-Qur‘an dan sunnah nabi sebagai dalih secara serampangan oleh kelompok-kelompok kepentingan. Namun usaha keilmuan tersebut juga tidak mulus begitu saja karena mendapat tantangan keras dari kelompok tekstualis-literalsis.
DAFTAR RUJUKAN
Bernard Lewis,1994, Ban gsa Arab dalam Lintasan Sejarah (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.
Daniel W. Brown, Men yoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern (Bandung: Mizan, 2000)
Graham Allen, 200, Intertextuality, London and New York: Routledge. Harun Nasution, 1986, Teologi Islam, Jakarta: UIP.
Manna‘ al-Qaththan, 1973, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur‘an, Riyadh: Mansyurat al-‘Ashr al-Hadits.
Mohammed Arkoun, 1998, Kajian Kontemporer al-Qur‘an, Bandung: Penerbit Pustaka.
Muhamammad Abed Al-Jabiri, 2002, Post Tradisionalisme Islam Yogyayarta: Mizan.
Muhammad Hasim Kamali, 1996, Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nashr Hamid Abu Zayd, tt., Mafhum al-Nash, Dirasah fi ‘Ulum al-Qur‘an
Kairo: al-Hay‘ah al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Kitab Nurcholish Madjid, 1994, Muqadimah-Khazanah Intelektual Islam, Jakarta:
Bulan Bintang.

No comments:

Post a Comment