Monday 23 May 2011

sejarah dan perkembangan supervisi pendidikan

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Proses pendidikan di dunia ini sudah lama berlangsung. Sebenarnya pendidikan itu sudah ada sejak manusia itu ada. Sebab dari hakekat manusia kita sudah tahu, manusia sudah tidak bisa tumbuh dan berkembang oleh dirinya dan untuk dirinya sendiri. Sejak bayi anak itu sudah membutuhkan pertolongan dari orang tua dan sanak familinya agar dapat berkembang dengan baik. pada masa kanak-kanak mereka juga ditolong oleh orang lain dalam lingkungannya, begitu juga menjelang dewasa mereka tetap mendapat pertolongan dari anggota–anggota masyarakat yang lebih luas untuk meyempurnakan perkembangannya. Macam-macam pertolongan itu disadari atau tidak oleh anak bersangkutan adalah merupakan pendidikan untuk membantu mengembangkan dirinya.
Membangun peradaban sebuah bangsa pada hakikatnya adalah pengembangan watak dan karakter manusia unggul dari sisi intelektual, spiritual, emosional, dan fisikal yang dilandasi oleh fitrah kemanusiaan. Fitrah adalah titik tolak kemuliaan manusia, baik sebagai bawaan seseorang sejak lahir atau sebagai hasil proses pendidikan.
Pada hakikatnya, pendidikan merupakan upaya membangun budaya dan peradaban bangsa. Oleh karena itu, UUD 1945 secara tegas mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukkan pribadi manusia. Pendidikan sangat berperan dalam membentuk baik atau buruknya pribadi manusia menurut ukuran normatif. Menyadari akan hal tersebut, pemerintah sangat serius menangani bidang pendidikan, sebab dengan sistem pendidikan yang baik diharapkan muncul generasi penerus bangsa yang berkualitas dan mampu menyesuaikan diri untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pendidikan adalah salah satu unsur paling penting dalam kehidupan manusia. Pendidikan merupakan proses pendewasaan diri manusia itu sendiri serta selain itu pendidikan juga merupakan proses pembentukan pribadi dan karakter manusia. Kemudian, pada satu fokus yang lebih khusus yaitu pendidikan formal, manusia diberikan dasar-dasar pengetahuan sebagai pegangan dalam menjalani hidup dan menghadapi kenyataan hidup dimana didalam pendidikan formal dalam hal ini adalah sekolah menjadi suatu jenjang yang mungkin memang sudah selayaknya dilalui dalam proses kehidupan manusia. Kemudian dalam pendidikan sekolah itu, manusia juga selain melatih kedewasaan juga mengasah intelektualitasnya dan kompetensinya dalam tanggung jawab dan kesadaran.
B. TUJUAN MAKALAH
1. Menjelaskan sejarah perkembangan Supervisi pada abad 18 dan 19
2. Menjelaskan perkembangan Supervisi pada zaman sekarang.
3. Menjelaskan perkembangan Supervisi pada masa mendatang.
C. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana sejarah perkembangan Supervisi pada abad 18 dan 19 ?
2. Bagaimana perkembangan Supervisi pada zaman sekarang ?
3. Bagaimana prospek perkembangan Supervisi pada masa mendatang ?


























BAB II
PEMBAHASAN
Sejarah Perkembangan Supervisi
A. Supervisi pada masa-masa awal
Proses pendidikan di dunia ini sudah lama berlangsung. Sebenarnya pendidikan itu sudah ada sejak manusia itu ada. Pada zaman Yunani kuno sistem pendidikan yang sifatnya sistematis seperti sekarang belum ada, yang ada ialah pendidikan yang bersifat individual. Nampaknya inisiatif untuk belajar timbul dari individu-individu yang ingin mengetahui sesuatu. Satu-satunya materi yang dibutuhkan untuk dipelajari adalah pelajaran untuk menulis ini yang terjadi sekitar 500 tahun sebelum masehi. Kemudian pada tahun 400 sampai 350 tahun sebelum Masehi materi pelajaran di tambah dengan belajar membaca. Jadi yang dipelajari pada waktu itu adalah membaca dan menulis. yang mengajar bukanlah guru-guru, melaikan tutor, yang menuntut keterampilan untuk melatih para siswa untuk menulis dan membaca.
Pendidikan mendapat perhatian yang sangat penting ialah pada zaman Sparta. Pemerintah pada waktu itu sudah menyadari akan pentingnya pendidikan bagi kemajuan bangsa dan negara. Pendidikan bertugas mengembangkan, mempertahankan, dan melindungi Negara. Menyadari akan pentingnya pendidikan timbullah supervisor yang disebut Paidonomous. Guru dan tutor tidak ada. Yang melatih para siswa ialah para supervisor itu dengan hak kontrol yang absolut.
Pada zaman Athena pendidikan lebih maju dan lebih dihargai dari pada zaman-zaman sebelumnya. Perhatian dicurahkan pada pengembangan profesi dan spesialis. Terjadilah pertemuan-pertemuan guru dengan siswa untuk mendiskusikan sesuatu, pemikiran-pemikiran filsafat pun muncul. Ahli-ahli pikir yang terkenal pada zaman itu ialah Socrates, Plato, dan Aristoteles. Kerajaan Romawi mewarisi kebudayaan Yunani yakni kesenian, ilmu, dan pendidikan maju dengan pesat. Sekitar tahun 140 sebelum Masehi didirikan sekolah Grammar yang mempelajari bahasa latin. Grammar dipandang mampu atau sebagai alat yang ampuh untuk meningkatkan daya pikir dan logika para siswa. Begitu pula pada zaman ini perbaikan-perbaikan pengajaran dan kurikulum sudah dimulai.
Pada zaman pertengahan disamping sekolah Grammar dan Sekolah Catechimus (agama) didirikan pula Sekolah Membaca dan menulis tingkat dasar. Nampaknya ada usaha dari pemerintah untuk memperluas kesempatan belajar bagi masyarakat umum. Pada zaman ini supervisi diberikan kepada sekolah-sekolah sebagai lembaga pendidikan dan guru-guru sebagai pelaksanaan pendidikan. Ada dua macam supervisi pada zaman pertengahan, yaitu supervisi dari pihak negara dan supervisi dari pihak agama. Supervisi dari pihak negara bertujuan membina sekolah beserta aktivitas-aktivitasnya agar sejalan dengan keinginan dan garis yang di berikan oleh negara. Sedangkan supervisi dari pihak agama yang bertugas dari kalangan agama berkewajiban membina atau mengawasi materi pendidikan agama dan moral. Kedua macam supervisi ini tidak banyak memperhatikan kualitas pengajaran dan kondisi pendidikan.
Supervisi pendidikan pada zaman revolusi kaum protestan sekitar tahun 1600 mempunyai tujuan tersendiri sesuai dengan kondisi pada waktu itu. Para Supervisor diberi tugas oleh para pengelolah pendidikan untuk membantu mencetak ahli-ahli yang sanggup mengadakan pertentangan suci kepada para filosuf dan ahli teologi Katolik.
Sejalan dengan perkembangan supervisi pendidikan di Negara-negara Eropa, di Amerika Serikat pun mengalami perkembangannya yang lamban. Pada abad-17 mula-mula banyak pengusaha kota yang menolak kehadiran supervisor. Rupanya sekolah-sekolah tidak mau dicampuri oleh orang luar, mereka takut kalau otoritasnya berkurang, tetapi kemudian kapala-kepala sekolah itu mau menerima mereka dengan catatan nama supervisor diganti dengan guru super. Dengan nama baru ini mungkin dimaksudkan agar guru-guru super ini tetap berada di bawah hirarki kepala sekolah. Perkembangan selanjutnya ialah hanya kepala-kepala sekolah yang sudah senior/professional saja yang diberi tanggung jawab untuk melaksanakan supervisi. Tetapi dengan besarnya pendirian sekolah-sekolah baru pada abad ke-19, para supervisor dan kepala sekolah yang senior/professional ini tidak dapat melakukan tugas terhadap begitu banyak sekolah. Akhirnya supervisi diserahkan kepada kepala-kepala sekolah namun tugas utama mereka tetap mengurusi ketatausahaan dan menegakan disiplin, sedangkan supervisi adalah sebagai tugas terakhir.
B. Supervisi pada abad ke-18
Supervisi pada abad ke-18 dilakukan oleh panitia kantor atau panitia sekolah atau anggota-anggota badan pendidikan. Mereka ini diangkat karena kemahiran-kemahiranya akan metode-metode mengajar. Pada waktu-waktu tertentu mereka datang berkunjung ke sekolah untuk melihat guru-guru mengajar. Mereka melakukan inspeksi ke sekolah-sekolah, karena itu muncul istilah inspektur bagi mereka. Tugas mereka adalah untuk megetahui sampai di mana kepandaian guru-guru itu mengajar, bukan memperbaiki kekeliruan-kekeliruan yang dibuat oleh para guru.
Namun para supervisor ini hanya merupakan alat pencatat saja bagi kepentingan atasannya, mereka hanya menulis apakah guru-guru itu sudah bekerja dengan benar atau masih salah. Hal itu mudah dikerjakan sebab apa yang patut dilakukan guru sudah ditentukan sejak awal. Setiap sekolah sudah mempunyai aturan-aturan dan standar yang harus dilakukan. Tugas supervisor adalah mengontrol sekolah apakah sekolah itu sudah melaksanakan aturan dan standar itu atau belum. Bila ternyata guru melakukan kekeliruan, supervisor hanya mengeritik dan menegur saja, tidak menunjukan bagaimana memperbaiki diri. Nampaknya kreatif guru juga kurang dihargai dan diperhatikan.
Kontrol pendidikan seperti ini juga dirasakan di Indonesia di abad itu. para guru umumnya merasa takut bila didatangi supervisor yang lebih dikenal sebagai kontroler. Mereka sering datang tiba-tiba, dengan tidak memberitahukan terlebih dahulu. Mereka yang sebagian besar terdiri dari penjajah bangsa Belanda secara penampilan sudah menakutkan. Kontrol seperti ini dapat membuat sekolah berdisiplin tinggi, tetapi kreativitas guru-guru atau sekolah cenderung mati. Yang melakukan supervisi di Amerika Serikat ialah kebanyakan orang-orang yang menjadi anggota organisasi pendidikan atau orang-orang yang cinta akan pendidikan, mereka itu terdiri dari para pendeta, pengawas sekolah, para wali siswa, orang-orang pilihan, warga negara tertentu dan anggota panitia. Tugas mereka melakukan inspeksi ke sekolah-sekolah dengan perhatian utama ditujukan kepada efektivitas pengajaran yaitu: menulis, membaca dan menghitung. Sebagai pecinta pendidikan bukan ahli mendidik, mereka diragukan apakah dapat memperbaiki pengajaran atau tidak.
C. Supervisi pada abad ke-19
Pada abad ke-19 kedudukan Pengawas sekolah sudah meningkat. Mereka secara resmi dikatakan supervisor sekolah. mereka pada umumnya adalah para pegawai kantor pengawas pendidikan yang di Indonesia dapat disamakan dengan Kantor Perwakilan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, baik di tingkat Provinsi, Kabupaten maupun Kecamatan. Hal ini disebabkan karena mereka kini sudah berkembang menjadi orang-orang professional. Dengan demikian supervisi pada abad ke-19 sudah bersifat professional.
Tugas para supervisor pada abad ini tidak lagi hanya mengontrol dan mencatat kesalahan guru, tidak lagi bersifat otokrasi, melainkan berangsur-angsur memperhatikan individualitas guru, kewajiban supervisor semakin meluas. Kini tugas mereka adalah memperbaiki proses pendidikan, menunjukkan kepada guru bagaimana mengajar dengan baik, membimbing guru serta memberikan kesempatan mengeluarkan pendapat dan berdiskusi. Guru-guru yang memiliki kemampuan kurang dan guru-guru yang baru selesai study dibantu lewat penataran . Dalam hal ini supervisor bertindak sebagai penyelenggara, sedangkan menatar dilakukan oleh orang-orang yang lebih ahli (spesialis-spesialis). Sifat penataran sebagian besar ditekankan kepada memberikan contoh-contoh nyata sebagai guru dengan aktivitas-aktivitasnya yang baik (Lucio, 1979, 4-5). Para penatar akan dicontoh kepribadiannya, cara membawa diri dalam proses belajar mengajar, caranya mengajar, membimbing para siswa, menilai dan sebagainya.
Supervisi pada abad ke-19 sudah dipandang penting bagi kemajuan pengajaran. Oleh sebab itu supervisor lebih diatas tingkatannya dari kepalah sekolah. Kedudukan supervisor lebih ditonjolkan karena kewajibannya dipandang lebih utama dari pada kewajiban kepala sekolah yaitu memperbaiki, mempertahankan, dan mengawasi proses pendidikan. Namu demikian keduanya baik supervisor ataupun kepala sekolah melaksanakan fungsi supervisi. Tetapi supervisi dari kepala sekolah tidak begitu lancar disebabkan oleh tugas-tugas ketatausahaan sekolah. Pada abad ini supervisor-supervisor spesialis sudah mulai dikembangkan seperti ahli dalam bidang kurikulum, ahli dalam administrasi, ahli dalam keuangan dan sebagainya. Teknik-teknik supervisi juga mulai dikembangkan dan ditingkatkan, termasuk teknik pembinaan guru yang bersifat manusiawi. Karena itu pada akhir abad ini supervisi di pandang sebagai fungsi demokrasi.
D. Supervisi Ilmiah
Revolusi teknologi dan revolusi industri yang terjadi pada abad 18 dan 19 membuat perubahan pada dunia produksi, perdagangan, manajemen, dan juga di dunia pendidikan. Pada tahun 1911 Fredrick Tylor yang di pandang sebagai bapak manajemen ilmiah menerbitkan buku yang berjudul “Principle Of Scientific Management” (Robins, 1982 hal.36) prinsip-prinsip manajemen tersebut adalah
(1) Setiap elemen kerja para petugas harus dilakukan secara ilmiah
(2) Seleksi dan latihan petugas harus dilakukan secara ilmiah,
(3) Kerja sama manajemen dengan pekerja mengikuti metode ilmiah
(4) Ada kesamaan antara manajer dan pekerja.
Dari prinsip-prinsip tersebut dapat dipahami bahwa manajemen ilmiah menghendaki tiap pekerja mengerjakan sesuatu yag sudah ditentukan dengan jelas dan dengan cara yang sudah dipahami secara jelas pula. Sejalan dengan prinsip manajemen ilmiah tersebut di atas Max Weber mengembangkan struktur organisasi yang dia sebut birokrasi dengan ciri-ciri sebagai berikut (hoy, 1987 hal. 52):
(1) Spesialisasi
(2) Orientasi Imperonal
(3) Hirarki Otoritas,
(4) Peraturan-peraturan
(5) Orientasi prestasi kerja.
Organisasi pendidikan pada waktu itu diwarnai oleh prinsip-prinsip tersebut. Sekolah-sekolah membuat peraturan-peraturan yang ketat, tugas-tugas dibuat secara mendetail dan sejelas mungkin, komunikasi diatur menurut garis yang sudah di tentukan, kontrol diadakan terhadap cara bekerja dengan prestasi, kerja menurut kriteria tertentu dan hubungan atasan dengan bawahan menjadi fomal. Supervisi sebagai sub system pendidikan sudah tentu mengikuti prinsip-prinsip tersebut. Dalam hal ini tugas supervisi dikhususkan pada pembinaan guru-guru. Supervisor berpegang pada tujuan sekolah, koordinasi, metode belajar, kualifikasi guru dengan segala aktivitasnya yang sudah ditentukan kualitasnya secara jelas. Sebelum muncul manajemen ilmiah tidak ada ketentuan yang pasti atau patokan yang bisa dipakai pegangan oleh para supervisor. Kini mereka mengontrol segala aktivitas yang dilakukan oleh guru-guru, mencocokan dengan jadwal kerja, metode mengajar, kepribadian dengan peraturan yang sudah digariskan. Mencocokan prestasi kerja atau hasil belajar para siswa dengan standar prestasi yang sudah di sediakan. Serta memberi insentif kepada guru-guru yang berprestasi.
Supervisor berusaha meningkatkan cara bekerja guru-guru. Mereka diberi gambaran tentang kuaifikasi guru yang dicita-citakan. Mereka dimotivasi dan dihimbau untuk mengejar cita-cia itu. Suatu cita-cita tentang perilaku, ketrampilan dan cara kerja yang sudah jelas wujudnya. Salah satu alat untuk memacu mengejar cita-cita adalah dengan insentif. Insentif itu dapat berupa materi, promosi dan penghargaan sosial.
Tugas utama supervisor ilmiah adalah mencari undang-undang atau peraturan dan melaksanakan peraturan-peraturan tersebut kepada guru-guru (Lucio, 1979 hal 8-9). Hal ini masuk akal, sebab organisasi sekolah melakukan semua operasinya berupa administrasi sekolah tidak boleh melakukan administrasi di luar peraturan-peraturan yang sudah disahkan. Begitu pula mengenai administrasi yang menyangkut aktivitas guru-guru atau cara-cara guru mengajar siswanya tidak boleh menyimpang dari undang-undang tentang perilaku guru, hubungan guru dengan siswa dan cara guru membimbing siswa belajar. Contoh undang-undang atau pearaturan-peraturan yang dicari antara lain:
1. Berapa jam belajar teori perminggu dan berapa jam praktek.
2. Metode-metode mengajar mana yang cocok dipakai di kelas siswa yang memiliki kemampuan rendah dan metode yang mana cocok dipakai untuk kelas yang memiliki kemampuan lebih.
3. Kecocokan metode mengajar dengan bidang studi
4. Bagaimana prosedur belajar dan mengajar yang baik
5. Macam-macam alat evaluasi yang diperlukan dan seterusnya.
Tidak ada hak bagi guru dan supervisor merevisi atau mengingkari undang-undang, tetapi bukanl pula undang-undang itu sendiri menjadi tujuan utama pendidikan, tujuan utama pendidikan adalah perkembangan peserta didik itu sendiri.
Supervisi ilmiah mempunyai kaitan dengan supervisi spesialis. Sebab supervisi ilmiah diilhami oleh revolusi industri yang sangat memperhatikan pengkhususan-pengkhususan dan diperkuat prinsip spesialisasi Weber. Jadi supervisi pada waktu itu sudah memandang perlu ada supervisor-supervisor spesialisasi. Tetapi spesialisasi-spesialisasi yang diadakan pada waktu itu masih terbatas, mugkin karena diferensiasi bidang studi belum sebesar sekarang. Yang disiapkan oleh departemen-departemen supervisi itu ialah (lucio, 1979 hal. 6):
1. Spesialis atau kepala bidang studi bahasa
2. Spesialis atau kepala bidang studi matematika
3. Spesialis atau kepala bidang studi ilmu sosial
4. Spesialis atau kepala bidang studi sains
Dengan adanya supervisor spesialis ini timbullah problem dengan kepala sekolah dalam menangani bidang studi tertentu di sekolah. Problem itu berupa kesulitan menentukan otoritas, fungsi dan prosedur kerja. Siapakah diantara keduanya lebih berwewenang menangani guru-guru apakah prosedur kerja yang ditempuh oleh keduanya sama.
John D. McNeil (1982) , menyatakan bahwa terdapat tiga pandangan mengenai supervisi ilmiah sebagai berikut :
Pertama, supervisi ilmiah dipandang sebagai kegiatan supervisi yang dipengaruhi oleh berkembangnya manajemen ilmiah dalam dunia industri. Menurut pandangan ini, kekurangberhasilan guru dalam mengajar, harus dilihat dari segi kejelasan pengaturan serta pedoman- pedoman kerja yang disusun untuk guru. Oleh karena itu, melalui pendekatan ini, kegiatan mengajar harus dilandasi oleh penelitian, agar dapat dilakukan perbaikan secara tepat.
Kedua, supervisi ilmiah dipandang sebagai penerapan penelitian ilmiah dan metode pemecahan masalah secara ilmiah bagi penyelesaian permasalahan yang dihadapi guru didalam mengajar. Supervisor dan guru bersama-sama mengadopsi kebiasaan eksperimen dan mencoba berbagai prosedur baru serta mengamati hasilnya dalam pembelajaran.
Ketiga, supervisi ilmiah dipandang sebagai democratic ideology. Maksudnya setiap penilaian atau judgment terhadap baik buruknya seorang guru dalam mengajar, harus didasarkan pada penelitian dan analisis statistik yang ditemukan dalam action research terhadap problem pembelajaran yang dihadapi oleh guru. Intinya supervisor dan guru harus mengumpulkan data yang cukup dan menarik kesimpulan mengenai problem pengajaran yang dihadapi guru atas dasar data yang dikumpulkan. Hal ini sebagai perwujudan terhadap ideologi demokrasi, dimana seorang guru sangat dihargai keberadaannya, serta supervisor menilai tidak atas dasar opini semata.
Keempat, pandangan tersebut tentunya sampai batas tertentu saat ini masih relevan untuk diterapkan. Pandangan bahwa guru harus memiliki pedoman yang baku dalam mengajar, perlu juga dipertimbangkan. Demikian pula pendapat bahwa guru harus dibiasakan melakukan penelitian untuk memecahkan problem mengajarnya secara ilmiah, dapat pula diadopsi. Pandangan terakhir tentunya harus menjadi landasan sikap supervisor, dimana ia harus mengacu pada data yang cukup untuk menilai dan membina guru.
E. Supervisi Manusiawi
Pada tahun 1920 banyak protes diajukan terhadap metode dan kurikulum yang diberikan secara otoriter dari para administrator sekolah. Mereka tidak setuju kalau semua prinsip pendidikan ditentukan sendiri oleh pimpinan. Hasil studi Hawthrone (Hoy 1979 hal.9) menunjukan sosial para pekerja (guru-guru) yang baik akan meningkatkan keakraban kerja. Kelompok ini akan membentuk struktur sosial yang informal dengan norma, nilai dan kesensitivannya yang semuanya memberi efek kepada perfomannya. Para penganut aliran ini tidak setuju memperalat guru untuk mencapai maksud atasan. Mereka percaya bahwa kepala sekolah, supervisor dan guru-guru bersama mempunyai kemauan dan bertanggungjawab terhadap pengembangan pendidikan. Guru-guru perlu dihormat. Dan hubungan baik secara vertical maupun secara horizontal di sekolah perlu dikembangkan. Dengan demikian diharapkan guru-guru akan lebih berprestasi dan akan berdampak positif bagi peserta didik.
Tugas supervisor bukanlah mencari undang-undang atau peraturan yang akan dilaksanakan di sekolah serta mengontrol guru agar menepati undang-undang itu. Tugas supervisor bukan menginspeksi guru-guru, melainkan membimbing mereka. Supervisi adalah suatu proses pengembangan kompetensi guru secara maksimum sesuai dengan tingkat kemampuannya, sehingga mencapai tingkat efisiensi kerja yang lebih tinggi. Mereka didorong untuk berkembang, mereka dimotivasi untuk berinisiatif, mereka diajak berpartisipasi menentukan kebijakan sekolah. Pandangan, pendapat dan pikiran mereka dimanfaatkan. Dengan demikian tugas supervisor adalah menciptakan iklim sekolah yang santai dan memperluas partisipasi dikalangan personalia sekolah (Lucio 1979 hal.11), disamping itu juga tugas memperbaiki staf pengajar. Yang dimaksud dengan iklim sekolah yang santai adalah suatu iklim yang tidak tegang akibat kontrol yang ketat untuk melaksanakan aturan-aturan sekolah secara tepat, melainkan suatu bentuk hubungan kerja sama yang fleksibel, dapat berdisiplin bila suasana membutuhkan dan tidak formal bila dikehendaki.
Model supervisi ini menunjukan adanya kepemimpinan bersama diantara personalia sekolah dengan cara berpartisipasi bersama untuk memajukan pengajaran. Hal ini bisa dicapai dengan efektif, bila ada kemampuan pada masing-masing personalia sekolah untuk menganalis diri sendiri, Syarat ini sulit dicapai mengingat keterbatasan-keterbatasan individu, tidak semua individu mempunyai kemampuan melaksanakan hal itu pada dirinya.
F. Supervisi pada zaman sekarang
Supervisi ini mempunyai ciri-ciri dinamis dan demokratis yang merefleksikan vitalitas pemahaman kepemimpinan yang berbobot (Neagly, 1980 hal.1). Lebih jauh karakteristik supervisi modern dikatakan sebagai berikut.
Pertama, menciptakan dan mempertahankan antar hubungan yang memuaskan diantara semua anggota staf. Kondisi seperti ini merupakan dasar yang paling utama dalam melaksanakan supervisi. Sebab supervisi adalah merupakan suatu proses yang menyangkut aktivitas-aktivas individu didasari oleh pengenalan dan hubungan yang akrab.
Kedua ialah demokratis, istilah demokratis dikatakan mencerminkan dinamika, dapat mengerti dan memahami, sensitif, dan memegang peranan kepemimpinan.
Supervisi yang dinamis ialah supervis yang aktif, kreatif, dan banyak inisiatif dalam melaksanakan fungsinya. Suatu supervisi yang tidak hanya mengamati, mengontrol, mengeritik dan menilai saja tetapi jauh lebih luas dari pada itu. Supervisi seperti ini ikut merencanakan agar proses belajar mengajar memberi hasil yang baik, membantu menciptakan kondisi belajar yang baik, memonitoring guru-guru agar tidak sampai terlanjur jauh berbuat salah, mencari sebab sebuah kesalahan, memberi saran dan membimbing. Supervisor tidak hanya mencari kesalahan guru, tidak pula hanya memperbaiki kesalahan guru, tetapi juga berusaha mengadakan preventif agar guru-guru sedikit mungkin berbuat salah. Hal ini dilakukan dengan bermacam-macam cara sesuai problem yang dihadapi, itulah sebabnya mengapa supervisor itu perlu aktif, kreatif dan berinisiatif.
Untuk mempermudah pelaksanaan tugas, supervisor perlu mengerti atau memahami kepribadian setiap guru. Setiap guru dan personalia sekolah memiliki kepribadian yang unik. Supervisor harus memahami keunikan setiap individu yang dibinannya. Pemahaman terhadap individu merupakan strategi bagi supervisor dalam aksinya mempengaruhi, mengarahkan dan memotivasi individu tersebut. Setiap guru membutuhkan teknik pembinaan tersendiri sesuai keunikan mereka masing-masing.
Supervisor juga membutuhkan kesensitivan dalam berkomonikasi dengan guru dan juga harus peka agar cepat tahu apa permasalahan yang dihadapi oleh guru. Pengetahuan ini memberikan jalan baginya untuk mengatur strategi lebih lanjut.
Supervisor dengan kepemimpinannya akan berusaha mengadakan kerjasama dengan guru-guru dan personalia sekolah lainnya dalam usaha meningkatkan proses belajar mengajar disekolah. Supervisor berusaha menciptakan suasana kondusif, sehingga memungkinkan saling memberi dan saling menerima. Dalam situasi seperti ini tidak ada satupun yang mendominasi kelompok. Setiap anggota kelompok merasa berharga bisa dihargai dan diperhatikan. Situasi dan perasaan seperti ini memungkinkan penyelesaian suatu masalah atau diskusi bisa berjalan lancar.
Supervisi secara demokratis tersebut di atas tidak mudah dipraktekkan. Dalam pertemuan-pertemuan pendidikan antara atasan sebagai supervisor dengan bawahan di Indonesia sangat langkah dijumpai proses demokrasi. Pada umumnya kelompok masih didominasi oleh pemimpin. Hal ini dibenarkan oleh hasil penelitian Beeby (1979, Hal. 86) yang mengatakan bahwa sikap guru–guru di Indonesia bersifat tradisional yang otoriter, yaitu menunggu instruksi atasan untuk mengadakan perubahan.
Ketiga adalah komprehensif. Suatu yang supervisi berlangsung dari taman kanak-kanak sampai dengan sekolah menengah tingkat atas yang mencangkup beberapa sekolah untuk wilayah tertentu. Bentuk dan isi supervisi untuk tingkat-tingkat sekolah itu tidak boleh berbeda-beda. Kesamaan ini dimaksudkan untuk menjamin kontinuitas kurikulum sekolah dari taman kanak-kanak sampai dengan sekolah menengah tingkat atas. Hal ini akan memudahkan para siswa mengembangkan diri melalui kurikulum tersebut. Cukup sulit bagi siswa kalau ia sudah biasa belajar dengan cara bervariasi beralih ke cara yang monoton misalnya. Itulah sebabnya perlu diusahakan kesamaan metode belajar mengajar dari tingkat sekolah yang paling rendah sampai tingkat yang paling tinggi.
Kesamaan metode belajar mengajar disini tidak sama persis untuk semua tingkat sekolah dan semua bidang studi melainkan yang sama adalah prinsipnya. Misalnya semua menggunakan prinsip Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Sehingga belajar dari siswa dari tingkat sekolah ke tingkat yang lain menjadi lancar karena sudah biasa dengan KTSP. Begitu pula materi yang dipelajari secara prinsip sama yaitu dapat menunjang pembentukan manusia seutunya, hanya tingkat kesukaran yang perlu berbeda. Selain komprehensif ditujukan kepada kurikukulum, juga komprehensif terhadap personalia sekolah mencangkup kepalah sekolah, para guru, para pegawai tatausaha dan para siswa diarahkan dalam pencapaian tujuan pendidikan.
Mark membuat perbandingan supervisi tradisional dengan supervisi modern yang ia kutip dari Burton dan Brueckner (1978 hal. 12) yaitu supervisi tradisional adalah (1) meginspeksi, (2) terpusat pada guru , (3) berkunjung dan berdiskusi, (4) perencanaan yang sederhana, (5) memergoki dan otoriter dan (6) biasanya satu orang. Sedangkan supervise modern ialah (1) pragmatis dan menganalisis, (2) terpusat pada tujuan, materi, teknik, guru, siswa, dan lingkungan, (3) melaksanakan beraneka ragam fungsi, (4) Perencanaan dan organisasi yang jelas dengan tujuan yang khas, (5)memotivasi dan bekerja sama, dan (6) oleh orang banyak. Perbandingan ini memperjelas apa yang dimaksud dengan supervisi yang bersifat komprehensif. Ini merupakan karakteristik terakhir dari supervisi modern menurut pandangan Neagley.
Sergiovani membedakan supervisi tradisional dengan supervisi modern dari segi perlakuan terhadap personalia sekolah yang dia sebut sebagai variable perantara (mediating variables). Supervisi tradisional tidak memakai variable ini sebaliknya supervisi modern menggunakannya dan lebih berhasil.
Ada tiga variable dalam hubungan dengan supervisi pendidikan. Variabel-variabel tersebut ialah variable awal (initiating variables) yang mencangkup:
1. Supervisor yang memegang referensi untuk teman-temannya, para bawahan dan dirinya sendiri.
2. Pola-pola perilaku administrasi dan supervisi
3. Elemen-elemen struktur organisasi
4. Sistem otoritas
5. Tujuan sekolah dengan pola untuk mencapainya
Variabel kedua ialah variable perantara yang mencangkup:
1. Sikap guru dan personalia sekolah lainnya terhadap jabatan dan antar hubungan mereka.
2. Tingkat kepuasan bekerja.
3. Komitmen staf terhadap tujuan sekolah.
4. Gambaran tujuan sekolah yang dimiliki oleh guru-guru.
5. Tingkat kesetian guru-guru.
6. Kepercayaan dan keakraban antar personalia sekolah.
7. Kemauan untuk mengontrol kepercayaan tersendiri.
8. Fasilitas untuk berkomunikasi.
Variabel yang ketiga ialah variable kesuksesan sekolah yang mencakup:
1. Tingkat performan guru-guru dan personalia sekolah lainnya.
2. Tingkat performan para siswa.
3. Tingkat perkembangan dan pertunbuhan para siswa.
4. Peningkatan organisasi personalia sekolah.
5. Laju presensi dan absensi staf.
6. Laju absensi dan drop out para siswa.
7. Kualitas hubungan sekolah dengan masyarakat.
8. Kualitas hubungan personalia sekolah.
Dikatakan lebih lanjut bahwa supervisi tradisional hanya mengejar kesuksesan jangka pendek saja, dengan bertitik tolak pada variable awal tanpa mengihiraukan variable perantara. Itulah sebabnya kesuksesan mudah lenyap sebab semangat pelaksana-pelaksananya mudah pudar.
Menyadari kelemahan supervisi tradisional tersebut, maka supervisi modern meletakkan kunci pengeraknya pada organisasi personaliannya yaitu para pelaksana yang dikatakan sebagai variable perantara, walaupun diakui bahwa variable ini juga dipengaruhi dan ditentukan oleh variable awal. Variable yang terdiri dari sikap, kepuasan bekerja, komitmen, kesetiaan dan sebagainya merupakan dasar dedikasi seorang guru dalam melaksanakan tugasnya di sekolah. Menyadari hal ini, yang pertama-tama ditangani oleh supervisor modern adalah organisasi personalia sekolah yaitu orang-orang yang melaksanakan pendidikan itu. Dengan cara ini mungkin kesuksesan pendidikan tidak segera akan nampak tetapi secara berangsur-angsur dalam jangka panjang sangat mungkin akan tercapai. Lagi pula kesuksesan seperti itu akan lama bertahan bahkan cara ini dapat dipandang sebagai strategi untuk melestarikan kesuksesan pendidikan.
Lucio menyebutkan cara mengembangkan proses belajar mengajar sendiri sebagai metode intelegensi praktis (1979 hal. 13-18). Suatu metode sendiri yang dicari dilapangan dengan penelitian-penelitian dan diskusi-diskusi dengan teman guru. Kebenaran metode ini harus ditest untuk membantu siswa belajar secara efektif. Metode ini dia pertentangkan dengan metode rasional, yang bertitik tolak pada logika bukan pada fenomena empiris yang ada di lapangan. Metode kedua ini memandang ilmu yang membicarakan proses belajar mengajar sudah siap pakai, tidak perlu direvisi. Guru yang akan memakainya tinggal memasangkan medan tempat belajar dan materi yang dipelajari siswa dengan salah satu metode yang sudah ada. Alat yang dipandang paling ampuh untuk mencocokkan medan dengan metode itu adalah logika guru.
Bila metode intelegensi praktis yang akan dipilih untuk menimbulkan kegairahan guru mengajar, konsekuensinya ialah para supervisor harus mampu membimbing para guru cara menentukan metode-metode belajar mengajar yang baru. Cara itu mengikuti metode analisis ilmiah yang dipelopori oleh Jhon Dewey, yaitu dengan mengajukan hipotesis dan menginterprestasikan, akhirnya merumuskan metode baru.
Misalnya guru ingin menemukan metode belajar mengajar lingkungan hidup yang efektif, yang dapat membuat para siswa sadar akan pentingnya memelihara lingkungan hidup, paham akan caranya, dan mau melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini supervisor akan memberi kesempatan dan mendorong guru yang bersangkutan untuk mengadakan studi literature untuk membentuk hipotesis, kemudian membuat rancangan eksperimen kecil-kecilan, mengobservasi dan menilai fakta, kemudian menentukan keberhasilan eksperimen tersebut. hasil ini yang akan menentukan apakah metode belajar mengajar yang baru itu bisa dipakai atau tidak.
Dari uraian dapat disimpulkan bahwa supervisi modern adalah supervisi yang memperhatikan antara hubungan personalia sekolah, menghargai dan menghayati kepribadian, bakat dan kemampuan mereka masing-masing. Penghargaan dan pengetahuan ini merupakan suatu strategi dalam membina profesi mereka sebagai pendidik, yang dilakukan dengan metode intelegensi praktis yang bersifat demokratis. Supervisi dilakukan dengan cara komprehensif, yaitu dengan cara menyamakan prinsip-prinsip yang dipakai dalam proses belajar mengajar dan prinsip-prinsip materi dengan baik secara vertical maupun secara horizontal.
Teori supervisi modern tersebut mungkin mengundang pertanyaan, apakah teori itu dapat diterapkan di lapangan dalam arti cocok dengan situasi dan kondisi pada zaman sekarang yang dikatakan sebagai zaman modern ?, Apakah guru-guru bisa dimanfaatkan untuk mengintervensi kemajuan pendidikan ?, apakah semua guru aktif, dinamis, mau bekerja keras tanpa pamri ? Apakah semua besikap professional dalam arti bertekat meningkatkan profesinya setinggi-tingginya ? berapa banyak gurukah yang dapat melepaskan dari adat tradisional otoriter seperti dikemukakan Beeby dalam hasil penelitiannya di Indonesia? berapa banyakkah pemimpin pendidikan mampu melaksanakan prisip demokrasi secara murni dalam rapat-rapat kerja dilingkungan masing-masing?.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu dijawab melalui observasi di lapangan sebelum melaksanakan supervisi modern itu. Jawaban pertanyaan-pertanyaan itulah yang akan menentukan apakah supervisi itu bisa dilaksanakan atau tidak. Atau dapat dibentuk model supervisi yang khusus untuk Indonesia. Nampaknya yang dikatakan oleh Robbins bahwa kita atau supervisor tida perlu ketat bercermin kepada teori dalam melaksanakan tugas-tugasnya (1982 hal.102) memang benar. Manfaatkanlah realita yang ada sekarang untuk mencapai hasil yang sebesar-besarnya, yaitu kesuksesan dalam bidang pendidikan.
Bila guru-guru dan personalia sekolah lainnya belum siap melaksanakan prinsip-prinsip demokrasi karena masih terikat kepada tradisi, bila mereka belum siap brdiri sendiri mengembangkan profesinya, supervisor masih dibenarkan melaksanakan tugas yang bersifat semi otoriter, yang terpenting adalah tujuan pendidikan harus tercapai. Dikatakan semi otoriter sebab secara perlahan-lahan para supervisor perlu menegakkan demokrasi di sekolah-sekolah yang belum menunjukan demokrasinya. Sebab dengan tegaknya demokrasi lebih mudah membina guru mengembangkan profesinya secara mandiri.
G. Kecenderungan supervisi pada masa mendatang
Ada beberapa ramalan tentang bagaimana kemungkinan supervisi pada masa yang akan dating, yakni meninjau supervisi dari sudut professional guru, dan dari sudut politik negara. Atau yang satu melihat kecenderungan supervisi terpusat pada pengembangan profesi pendidik, yang lain melihat kecenderungan itu bertitik pusat pada politik negara.
Kecenderungan-kecenderungan supervisi yang baru dan mungkin akan terus berkembang pada masa akan datang dalam membina para guru disebabkan oleh perkembangan ilmu dan teknologi yang begitu pesat. Perkembangan seperti ini akan membuat dunia beserta masyarakatnya akan berubah dengan cepat pula.
Untuk mencapai maksud di atas membutuhkan tipe supervisi yang baru (Marks, 1978, h. 94). Supervisi tersebut lebih mememusatkan dari pada pengembangan profesi dan bakat guru serta memanfaatkannya untuk kepentingan kemajuan pendidikan daripada memberi konsultasi langsung kepada guru-guru, membina agar mereka bisa memimpin diri sendiri, tidak bergantung kepada pengarahan dari luar, dan percaya kepada sumber-sumber pendidikan yang diperoleh sendiri. Supervisor juga menanamkan pengertian program sekolah yang baru kepada guru-guru dalam usaha menyiapkan para siswa menghadapi kehidupan yang semakin keras.
Sementara Marks (1979, h.18) nampak membatasi diri pada dunia pendidikan yang menghubungkan pendidikan dengan situasi dunia sekarang, khususnya dalam bidang politik, Lucia melihat kecenderungan-kecenderungan sekolah pada masa yang akan datang lebih banyak dikontrol oleh negara. Negara memandang pendidikan merupakan suatu alat yang vital untuk menegakkan serta memajukan nusa dan bangsa. Hal ini memang penting bila dihubungkan dengan situasi dunia yang penuh dengan usaha merebut pengaruh dan persaingan kekuatan diantara dua negara raksasa. Pemerintah memandang perlu untuk mengawasi usaha-usaha sekolah agar anggota masyarakat yang diproduksi mampu mempertahankan kedaulatan negara, berdiri sendiri, dan tidak hanyut oleh pengaruh negara lain.
Bila demikian halnya, maka supervisor akan berada diantara sebagian alat Negara dan sebagai professional. Karena itu disarankan peranan supervisor sebagai berikut:
1. Sebagai perantara dalam menyampaikan minat para siswa, orang tua dan program sekolah kepada pemerintah dan badan-badan lain
2. Memonitor penggunaan dan hasil-hasil sumber belajar.
3. Merencanakan program untuk populasi pendidikan yang baru.
4. Mengembagkan program yang baru untuk jabatan baru yang mungkin muncul
5. Mengkombinasikan program yang diajukan pemerintah, perdagangan dan industri
6. Menilai dan meningkatkan pengertian gaya kehidupan
7. Memilih inovasi yang konsisten dengan masa yang akan datang.
Ramalan yang sifatnya menjangkau terlalu jauh kepada masa yang akan datang seringkali tidak tepat. Pengajaran dengan mesin yang diramalkan pada tahun 1960-an akan menguasai dunia pendidikan, ternyata hal itu tidak terjadi sampai sekarang (Robbins, 1982 hal.152). Oleh sebab itu membuat ramalan dalam bidang supervisi pendidikan, khususnya di Indonesia, tidak perlu menjangkau terlalu kedepan. Cukup setiap awal pelita (pembangunan lima tahun) merumuskan model supervisi yang baru atau diperbaharui berdasarkan pengalaman-pengalaman yang lampau dan antisipasi satu pelita. Model ini pula dapat direvisi.




BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Perkembangan Supervisi sudah ada pada sebelum abad 18 dan 19. Tugas para supervisor pada abad 18 hanya menitikberatkan pada mengawasi sekolah saja. Akan tetapi pada abad 19 tugas para supervisor sudah meningkat, yaitu tidak hanya mengontro; dan mencatat kesalahan guru, tidak lagi bersikap otoriter dan otokratis akan tetapi juga memperhatikan karakteristik individualitas masing-masing guru .
Supervisi modern adalah supervisi yang memperhatikan antara hubungan personalia sekolah, menghargai dan menghayati kepribadian, bakat dan kemampuan mereka masing-masing. Penghargaan dan pengetahuan ini merupakan suatu strategi dalam membina profesi mereka sebagai pendidik, yang dilakukan dengan metode intelegensi praktis yang bersifat demokratis. Supervisi dilakukan dengan cara komprehensif, yaitu dengan cara menyamakan prinsip-prinsip yang di pakai dalam proses belajar mengajar dan prinsip-prinsip materi dengan baik secara vertical maupun secara horizontal.
Perbandingan supervisi tradisional dengan supervisi modern yang ia kutip dari Burton dan Brueckner (1978 hal. 12) supervisi tradisional adalah :
(1) meginspeksi,
(2) terpusat pada guru ,
(3) berkunjung dan berdiskusi,
(4) perencanaan yang sederhana,
(5) memergoki dan otoriter
(6) biasanya satu orang.
Sedangkan supervise modern ialah
(1) pragmatis dan menganalisis,
(2) terpusat pada tujuan, materi, teknik, guru, siswa, dan lingkungan,
(3) melaksanakan beraneka ragam fungsi,
(4) Perencanaan dan organisasi yang jelas dengan tujuan yang khas,
(5) memotivasi dan bekerja sama,
(6) oleh orang banyak.


Karakteristik supervisi modern ada 3 macam, yaitu :
1. menciptakan dan mempertahankan antar hubungan yang memuaskan diantara semua anggota staf.
2. Demokratis
3. Komprehensif.
Perkembangan supervisi mendatang dipengaruhi oleh 2 sudut pandang, yaitu sudut pandang professional guru yang terpusat pada perkembangan pada pendidik dan sudut politik negara.
Bila demikian halnya, maka supervisor akan berada diantara sebagian alat Negara dan sebagai professional. Karena itu disarankan peranan supervisor sebagai berikut:
1. Sebagai perantara dalam menyampaikan minat para siswa, orang tua dan program sekolah kepada pemerintah dan badan-badan lain
2. Memonitor penggunaan dan hasil-hasil sumber belajar.
3. Merencanakan program untuk populasi pendidikan yang baru.
4. Mengembagkan program yang baru untuk jabatan baru yang mungkin muncul
5. mengkombinasikan program yang di ajukan pemerintah, perdagangan dan industri
6. menilai dan meningkatkan pengertian gaya kehidupan
7. Memilih inovasi yang konsisten dengan masa yang akan datang.
B. KRITIK DAN SARAN
Dalam makalah ini tentunya banyak kesalahan dan kekurangan, baik dalam segi penulisan dan pemilihan kata-kata. Maka kami sebagai manusia biasa meminta kepada para pembaca agar tidak segan-segan memberikan saran dan kritik yang tentunya bisa menambah kemajuan kami dalam hal menuntut ilmu pengetahuan demi kemajuan bangsa dan Negara Indonesia. Semoga makalah ini menambah wawasan para pembaca dan juga bermanfaat bagi kita semua.






DAFTAR PUSTAKA
1. Alipandie, Imansjah, Didaktik Metodik Pendidikan Umum, Surabaya: Usaha Nasional,1984,cet.1
2. Ismail SM., Strategi Pembelajaran Agama Islam Berbasis PAIKEM, Semarang : RaSAIL Media Group, 2009, cet.4
3. Ngalim, Purwanto, Drs.M, 1987, Administrasi dan Supervisi Pendidikan, PT Remaja Rosdakarya, Bandung
4. Sagala, Syaiful, Administrasi Pendidikan Kontemporer, Bandung : CV. ALFABETA, 2008, cet. 4.
5. Sahertian, Piet A., Konsep Dasar & Teknik Supervisi Pendidikan dalam Rangka Pengembangan Sumberdaya Manusia, Jakarta : PT RINEKA CIPTA, 2008, Cet. 4.
6. http://denovoidea.wordpress.com/2009/02/23/supervisi-pengajaran-antara-konsep-dan-praktik/
7. http:// Chenly Waworuntu.Blogspot.com/2011/04/01/Pola-Supervisi-Pendidikan- Sejarah-Perkembangan-Supervisi.htm