Thursday 9 June 2011

WAKĀLAH DAN SULHU

UNIT 9
WAKĀLAH DAN SULHU


Standar Kompetensi
Memahami hukum Islam tentang wakalah dan sulhu beserta hikmahnya

Kompetensi Dasar
9.1 Menjelaskan ketentuan Islam tentang wakaalah dan hikmahnya
9.2 Menjelaskan ketentuan Islam tentang sulhu dan hikmahnya
9.3 Menerapkan cara wakaalah dan sulhu


A. WAKALAH
1. Pengertian Wakālah
Kata wakālah, boleh dibaca wakālah atau wikālah , menurut bahasa Arab berarti tafwīd (memberi kuasa), al-murāāt (perhatian) dan hifz (penjagaan).
Sedangkan menurut istilah syara’ : Seseorang menguasakan urusannya kepada orang lain –di dalam hal-hal yang boleh digantikan- agar urusannya itu dikerjakannya ketika ia masih hidup.
Hal-hal yang boleh digantikan pengerjaannya oleh orang lain, antara lain:
a) Semua akad, seperti jual beli, nikah, hibah, gadai dan talak.
b) Semua hal pembatalan akad, seperti pembatalan pembelian barang karena adanya cacat.
c) Menerima dan menyerahkan hutang atau barang.
Hal-hal yang tidak boleh diwakilkan adalah seperti ibadah (kecuali haji), ujian dan lain-lain.

2. Hukum Wakālah
a. Dasar Hukum
Dasar hukum ditetapkannya wakālah adalah berdasarkan al-Qur’an, as-Sunnah, al-Ijma’, dan al-Qiyas. Kebanyakan ulama mendasarkan kepada firman Allah :
فَابْعَثُوْا حَكَمًا مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِّنْ أَهْلِهَآ إِنْ يُرِيْدَآ إِصْلاَحًا يُوَفِّقِ اللهُ بَيْنَهُمَآ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيْمًا خَبِيْرًا ﴿۳٥﴾
Artinya : Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakamdari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. hakam ialah juru pendamai (QS. An-Nisa’ : 35)
Menurut pendapat yang muktamad yang dimaksud hakam ini adalah wakil, bukan hakim.
Ada juga yang mendasarkannya kepada QS. Yusuf : 93 berikut:
إذْهَبُوْا بِقَمِيصِى هَذَا فَأَلْقُوهُ عَلَى وَجْهِ أَبِى يَأْتِِ بَصِيرًا وَأْتُونِى بِأَهْلِكُمْ أَجْمَعِينَ ﴿۹۳﴾
Artinya : Pergilah kamu dengan membawa baju gamisku ini, lalu letakkanlah dia kewajah ayahku, nanti ia akan melihat kembali; dan bawalah keluargamu semuanya kepadaku" (QS. Yusuf: 93)
Khitab ayat ini ditujukan kepada saudara-saudaranya Yusuf, mereka ditugasi oleh Yusuf untuk membawa baju gamisnya, agar baju itu diletakkan di wajah ayahnya. Berarti ini adalah syariat orang-orang sebelum kita (syar’u man qablanā). Namun di dalam syari’at kita ada nas yang menetapkannya (yang sesuai denagn syari’at kita) sehingga menjadi syari’at kita. Ini merupakan tariqah yang lemah, namun dalam maz۟hab Malik dipegangi. Yang muktamad bahwa syar’u man qablanā bukan syari’at kita ada yang menetapkannya. Sedangkan dalil yang kita pakai adalah QS. An-Nisa’ : 35
فَابْعَثُوْا حَكَمًا مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِّنْ أَهْلِهَآ
Dasar kedua adalah :
خبرالصحيحين : اِنَّهُ صلى الله عليه وسلم بَعَثَ السَّعَاةِ ِلاَخَذَ الزَّ كَاةِ
Artinya : Hadis al-Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah SAW mengutus orang-orang sebagai wakil untuk memungut zakat.
Juga hadis bahwa Rasul SAW mewakilkan kepada Amr bin Umayyah ad-Damri di dalam nikahnya Ummu Habibah, dan mewakilkan kepada Abu Rafi di dalam nikahnya Maimunah, dan mewakilkan kepada Urwah al-Bariqi untuk membeli seekor kambing dengan uang satu dinar.

b. Hukum Wakālah
Hukum menerima wakālah adalah sunnah, karena menjalankan perbuatan untuk kepentingan (maslahat) orang lain. Hukum itu dapat berubah menjadi haram kalau ada unsur membantu atas perbuatan haram, dan dapat berubah menjadi makruh bila ada unsur membantu atas perbuatan makruh, dan bisa menjadi wajib jika ada unsur mrnghindarkan bahaya (darar) terhadap muwakkil, seperti mewakili orang yang ada dalam kondisi bahaya untuk membelikannya makanan di mana dia tidak mampu membeli sendiri.

3. Rukun Wakālah
Rukun Wakālah ada empat :
a. Muwakkil (orang yang mewakilkan)
b. Muwakkil Fīh (urusan / perkara yang diwakilkan)
c. Wākil (orang yang mewakili atau orang yang diberi kuasa)
d. Sigat


4. Syarat-syarat Wakālah
a. Syarat Muwakkil
Muwakkil disyaratkan orang yang sah melakukan (menangani) apa yang ia wakilkan kepada orang lain, yaitu karena ia memiliki hak kepemilikan atau kekuasaan (wilayah). Bila ia bukan orang yang sah melakukan apa yang ia wakilkan, karena tidak memiliki hak kepemilikan atau kekuasaan atas sesuatu yang diwakilkan itu maka tidak sah taukilnya karena ia tidak memiliki kekuasaan untuk bertindak atas nama dirinya sendiri, apalagi mewakilkannya kepada orang lain.
Jadi tidak sah taukilnya orang yang tidak mukallaf di dalam tasarruf, kecuali orang pemabuk yang melampaui batas. Demikian juga tidak sah taukilnya kuratele (safīh) di dalam hal-hal yang tidak boleh bertindak sendiri meskipun dengan seizin walinya. Demikian juga taukilnya seorang yang fasik.
Ada perkacualian bagi orang yang buta sah taukilnya di dalam hal-hal seperti jual beli, sewa-menyewa dan hibah, meskipun tidak sah bila ia sendiri melakukan hal itu.

b. Syarat Wākil
Bagi wākil disyaratkan hendaklah orang yang sah menjalankan apa yang diwakilkan. Karena bila ia bukan orang yang sah untuk bertindak untuk dirinya sendiri, maka untuk bertindak atas nama orang lain sudah barang tentu lebih tidak sah. Oleh karenanya maka tidak sahlah mewakilkan kepada anak kecil, orang gila dan orang yang tidak sadar. Juga tidak sah mewakilkan kepada seorang perempuan di dalam hal menikahkan, dan juga tidak sah mewakilkan kepada seorang yang sedang ihram di dalam hal menikahkan, agar melakukan akad nikah di kala ia sedang ihram.

c. Syarat Muwakkil Fih (urusan / Sesuatu yang diwakilkan)
Pekerjaan yang diwakilkan (Muwakkil Fih) disyaratkan:
1) Sesuatu pekerjaan / urusan yang bisa digantikan oleh orang lain. Oleh karena itu tidak sah mewakilkan suatu urusan atau pekerjaan yang tidak boleh digantikan oleh orang lain, yaitu : taukil dalam hal ibadah badaniyah, seperti salat, puasa dan wudu’, karena ibadah itu dimaksudkan sebagai ujian diri sehingga tidak sah dikerjakan oleh orang lain. Kecuali ibadah haji atau umrah, yaitu bagi orang yang sudah meninggal atau tidak mampu secara fisik, termasuk di dalamnya semua yang terkait seperti salat dua rakaat setelah tawaf. Termasuk yang dikecualikan adalah pembagian zakat, menyembelih kurban dan akikah. Juga yang termasuk yang tidak boleh taukil adalah syahādah (menjadi saksi) dan sumpah.
2) Sesuatu yang dimiliki oleh muwakkil pada waktu taukil. Jadi tidak sah mewakilkan untuk menjual sesuatu yang akan dimiliki, atau mentalak seorang perempuan yang akan dinikahi.
3) Sesuatu yang diketahui dengan jelas walau dari satu sisi, seperti aku wakilkan kepadamu untuk menjualkan hartaku, tidak sah seperti berkata saya wakilkan kepadamu semua urusanku.


d. Syarat Sigat
Disyaratkan berupa kalimat dari muwakkil yang memberi pengertian kerelaannya, seperti aku wakilkan kepadamu (dalam sesuatu hal) atau aku kuasakan kepadamu (dalam sesuatu hal) baik itu secara lisan, tertulis, atau surat menyurat.
Beberapa contoh perwakilan :
1. Seorang wali nikah boleh mewakilkan kepada orang lain (penghulu, kyai, usta۟z) untuk menikahkan putrinya.
2. Seorang yang berkurban boleh mewakilkan kepada orang lain untuk menyembelih hewan kurbannya.
عَن جَابِرِرَضِيَ اللَّهُ عَنهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َنَحْوَ ثَلاَثاً وَسِتِّيْنَ وَاَمَرَعَلِيًّا اَنْ يَذْبَحَ اْلباَقِي ﴿رواه مسلم﴾
Artinya : Dari Jabir r.a. bahwa Nabi SAW menyembelih kurban sebanyak 63 ekor hewan dan Ali r.a. disuruh menyembelih hewan selebihnya. H.R. Muslim.
3. Seseorang boleh mewakilkan kepada orang lain untuk membeli sesuatu, sesuai dengan hadis:
قَدْ وَكَّلَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم عُرْوَةَ اْلبَارِقِي فيِ شِرَاءِ شَاةٍ بِدِيْنَارٍ
Artinya: Bahwa Rasul SAW telah mewakilkan kepada Urwah al-Bariqi untuk membelikan seekor kambing dengan harga satu dinar.


e. Berakhirnya Wakālah
1. Wakālah adalah suatu akad yang sifatnya mubah, oleh karena itu bagi kedua belah pihak (muwakkil dan wākil) boleh membatalkannya bila dikehendaki karena adanya kepentingan tertentu. Umpamanya muwakkil memandang ada orang lain yang lebih kompeten. Atau umpamanya dalam masalah jual beli, muwakkil memandang sudah tidak perlu lagi untuk menjual atau membeli, atau pihal wakil membatalkannya karena dia tidak memiliki lagi waktu atau tenaga untuk melaksanakan tugas itu, sekiranya dipaksakan akan terjadi darar (sesuatu yang tidak diinginkan).
2. Akad wakālah menjadi batal karena matinya salah seorang di antara kedua belah pihak (muwakkil atau wākil) karena dengan adanya kematian maka hilanglah ahliyyat at-tasarruf (kemampuan menjalankan pekerjaan).
3. Demikian pula wakālah menjadi batal bila salah satu di antara kedua belah pihak menjadi gila.
4. Demikian pula wakālah menjadi batal bila benda atau barang yang diwakilkan untuk diurusi sudah tidak menjadi hak milik muwakkil, seperti telah dijual atau diwakafkan.





B. SULHU
1. Pengertian Sulhu
Secara bahasa, Sulhu memiliki makna: قطع المنازعة atau قطع النزاع, yang artinya memutus perselisihan atau persengketaan. Adapun secara istilah, sulhu adalah: ذلك عقد يحصل به (akad yang dengan akad itu terputuslah (berakhirnya) perselisihan atau persengketaan) atauالعقد الذي ينقطع به خصومةالمتخاصمين (Akad yang dengan akad itu terputuslah (berakhirlah) perselisihan di antara dua belah pihak yang bersengketa).

2. Dasar Hukum
Firman Allah :
وَالصُّلْحُ خَيْرٌ
Artinya : Dan perdamaian itu lebih baik.(QS. An-Nisa’: 128).

ِلاَنَّهُ اِنْ كاَنَ اْلمُرَادُ بِهِ مُطْلَقَ الصُّلْحُ كَمَا يَدُلُّ عَلَيْهِ اْلاِتْياَنِ بِاْلاِسْمِ الظَّاهِرِ دُوْنَ الضَّمِيْرِ فَاْلاَمْرُ ظاَهِرٌ وَ اِنْ كاَنَ اْلمُرَادُ الصُّلْحَ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ كَمَا يَدُلُّ عَلَيْهِ السِّيَاقُ فَغَيْرُهُ بِاْلقِيَاسِ عَلَيْهِ.
Karena jika yang dikehendaki oleh ayat ini adalah sulhu secara mutlak sebagaimana ditunjukkan oleh penggunaan isim zahir bukan isim damir maka masalahnya adalah jelas. Dan jika yang dikehendali adalah perdamaian antara suami istri, sebagaimana ditunjukkan oleh konteks ayat ini, maka sulhu (perdamaian) perkara yang lain dianalogkan dengannya.
Hadis Nabi :
اَلصُّلْحُ جَائِـزٌبَيْنَ اْلمُسْلِمِيْنَ اِلاَّ صُلْحًا اَحَلَّ حَرَامًا اَوْ حَرَّمَ حَلاَلاً
Artinya : Perdamaian itu boleh dilakukan oleh orang Islam kecuali perdamaian yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.. HR. Ibn Hibban.

3. Rukun Sulhu
1. Musālih, yaitu pihak-pihak yang melakukan akad perdamaian
2. Musālah ‘anhu, yaitu persoalan yang diperselisihkan
3. Musālah ‘alaih, hal-hal yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap lawannya untuk memutuskan perselisihan
4. Sigat, yaitu ijab dan qabul di antara dua pihak yang melakukan perdamaian .

4. Syarat-syarat Sulhu
1. Orang-orang yang menyepakati perdamaian sama-sama sah bertindak dalam masalah hukum
2. Tidak ada paksaan terhadap kedua belah pihak
3. Masalah-masalah yang didamaikan tidak bertentangan dengan prinsip Islam
4. Jika perdamaian tidak bisa dilakukan hanya oleh kedua belah pihak yang bersengketa, maka penyelesaiannya dapat dibantu oleh pihak ketiga sebagai penengah.

5. Macam-macam Sulhu
Perdamaian dapat dilakukan antara berbagai kalangan yang bersengketa, berselisih dan bermusuhan. Hal itu dapat terjadi antara seorang muslim dengan non muslim, atau antara sesama muslim.
Perdamaian antara muslim dengan non muslim dapat dilakukan dengan cara hudnah (gencatan senjata), memberi jizyah dan perjanjian keamanan.
Perdamaian antara muslim dengan muslim bisa terjadi antara suami istri (umpama dalam masalah pembagian nafkah atau salah satu pihak meninggalkan kewajiban dalam kehidupan rumah tangga.
Perdamaian juga dapat dilakukan antara pemerintah (kepala Negara) dengan pihak pemberontak (bugāt). Perdamaian juga dapat terjadi antara dua pihak yang bersengketa dalam bidang muamalah, umpamanya dalam masalah jual beli, sewa-menyewa, dan lain-lain.
Dilihat dari aspek Musālah ‘alaih, ada dua bentuk Sulhu, yaitu :
1. Sulhu dalam bentuk ibrak, yaitu berdamai dengan cara membebaskan sebagian dari keseluruhan yang harus ditanggung. Seperti yang dilakukan oleh orang yang berutang piutang. Misalnya orang yang berpiutang berkata: aku berdamai denganmu, aku bebaskan 25% dari hutangmu, asal kau bayar yang 75%. Jika pihak yang berhutang menyetujui, maka perdamaian seperti ini sah.
2. Sulhu dalam bentuk muawadah, yaitu berdamai dengan cara mengganti onjek yang disengketakan dalam bentuk lain, seperti si A mengklaim kepada B, bahwa rumah dan tanah yang ditempati B adalah hak milik A dengan membawa bukti sertifikat tanah kemudian B berdamai dengan cara mengganti rumah itu dengan sebuah mobil. Jadi ini hukumnya seperti hukum jual beli.


LEMBAR KERJA
a. Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan memberi tanda silang (x) pada jawaban yang paling benar.
1. Dibawah ini rukun wakalah, kecuali :
a. Muwakkil d. Sighat
b. Muwakkil fih e. Tawakkal
c. Wakil
2. Wakalah akan berakhir jika disebabkan oleh hal-hal di bawah ini, kecuali :
a. Muwakkil memandang ada orang lain yang lebih kompeten
b. Salah seorang dari muwakkil atau wakil meninggal
c. Salah seorang dari muwakkil atau wakil menjadi gila
d. Bila benda atau barang yang diwakilkan untuk diurusi sudah tidak menjadi hak milik muwakkil.
e. Jawaban a, b, c dan d salah.
3. Sulhu menurut bahasa berarti :
a. Memutus perselisihan atau persengketaan
b. Anak shalih
c. Pedang
d. Permusuhan
e. Perselisihan
4. Diantara rukun-rukun sulhu adalah di bawah ini, kecuali :
a. Mushalih
b. Mushalah ’anhu
c. Mushalah ’alaih
d. Shighat
e. Problematika masalah.
5. Perdamaian antara muslim dengan non muslim dapat dilakukan dengan cara :
a. Hudnah (genjatan senjata)
b. Memberi jizyah
c. Perjanjian keamanan
d. Tukar menukar agama
e. Jawaban a, b dan c semua benar.

b. Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan singkat dan benar !
1. Jelaskan makna wakalah menurut bahasa dan istilah syara’!
2. Tuliskan dasar hukum wakalah lengkap dengan terjemahnya!
3. Kapan berakhirnya wakalah ?
4. Jelaskan makna sulhu dilengkapi dengan dasar hukumnya!
5. Sebut dan jelaskan macam-macam sulhu!

No comments:

Post a Comment