Thursday 9 June 2011

Pertentangan Dalil Syar’i dan Kaidah Penyelesaiannya

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Ushul fiqh merupakan komponen utama dalam menghasilkan produk hukum fiqh, karena ushul fiqh adalah ketentuan atau kaidah yang harus digunakan oleh para mujtahid dalam menghasilkan hukum fiqh.
Al-qur’an sebagai petunjuk bagi umat mengandung dasar-dasar akidah, akhlak, dan hukum. Penjelasan lebih lanjut diberikan oleh Rasulullah SAW dengan sunnahnya sehingga sepanjang hidup beliau, hukum setiap kasus dapat diketahui berdasarkan nash al-Qur’an atau al-Sunnah, namun pada masa berikutnya, masyarakat mengalami perkembangan pesat. Wilayah kekuasaan islam semakin luas dan para sahabat pun tersebar ke berbagai daerah seiring dengan arus ekspansi yang berhasil dengan gemilang.
Kontak antara bangsa arab dan bangsa lain diluar jazirah arab dengan corak budayanya yang beragam sehingga menimbulkan berbagai kasus baru yang tidak terselesaikan dengan rujukan lahir nash semata-mata. Untuk menghadapi hal itu para sahabat terpaksa melakukan ijtihad. Tentu saja mereka tetap mempedomani nash- nash al-Qur’an atau Hadist dan hanya melakukan ijtihad secara terbatas, sesuai dengan tuntutan kasus yang dihadapi.
Karena ijtihad merupakan upaya memahami serta menjabarkan al-Qur’an dengan sunnah dengan mempertimbangkan seluruh makna serta nilai- nilai yang terkandung didalamnya. Maka tugas ini hanya dapat dilakukan oleh sahabat- sahabat terkemuka. Pada masa berikutnya, tanggung jawab itu beralih pada para tokoh tabi’in dan selanjutnya kepada para ulama mujtahid dari generasi berikutnya.
B. TUJUAN MAKALAH
1. Menjelaskan devinisi ta’arudl dan tarjih.
2. Menjelaskaan alternatif peenyelesaian ta’arudl.
3. Menjelaskan prosedur tarjih.
C. RUMUSAN MASALAH
1. Apa devinisi dari Ta’arudl dan Tarjih?
2. Bagaimana penyelesaian ta’arudl?
3. Bagaimana prosedur tarjih?

BAB II
PEMBAHASAN
Pertentangan Dalil Syar’i dan Kaidah Penyelesaiannya
A. Pengertian Tarjih dan Ta’arudh
1. Tarjih
Secara bahasa (etimologi), Tarjîh adalah masdâr dari rajjaha-yurrajihu, yang artinya mengukur sesuatu dengan tangan dan melihat sesuatu yang memberatkannya. Bila ada kalimat yang berbunyi; arjahul mizân, itu artinya yang paling berat dalam timbangan. Kata tarjîh sendiri sebenarnya bermakna al-mail (kecendrungan) dan al-tsaql (bobot). Secara istilah (terminologi), ada perbedaan pendapat para ulama. Imam Syaukani mendefinisikan tarjîh sebagai menetapkan satu pilihan dari dua opsi yang tersedia dan ta'ârudh (saling bertolak belakang) satu sama lainnya. Sedangkan ulama mazhab Hanafi mendefinisikan tarjîh sebagai usaha melebihkan satu dari dua dalil yang sama kuat. Jadi, menurut mereka, tarjîh hanya terjadi bila dua dalilnya sama kuat. Bila dalilnya tidak sama kuat (contohya al-Quran dengan Hadis, atau Hadis sahih dengan Hadis dha'if), tidak dinamakan tarjîh. Ulama mazhab Syafi'i mendefinisikan tarjîh sebagai menguatkan salah satu dari dua dalil yang zhanni untuk kemudian diamalkan. Dalam perspektif mazhab ini, tarjîh hanya terjadi bila ada dua dalil yang sama-sama zhanniy. Maka, tidak ada tarjîh antara dua dalil yang sama-sama qath'iy, atau antara dalil qath'i dan dalil zhanniy.
Pada dasarnya definisi dari ulama Hanafi dengan Syafi'i hampir sama. Bedanya, ulama Hanafi menggunakan redaksi ‘dua dalil yang sama kuat’, sementara ulama Syafi'i menggunakan redaksi zanniy dan qath`iy. Penulis lebih sepakat untuk memakai definisi yang digunakan oleh Imam Syaukani, karena lebih umum dan lebih mencakup. Karena, menurut penulis, ta'ârudh bisa saja terjadi antara dalil yang berbeda kekuatannya, dikarenakan ketidaktahuan akan derajat dalil tersebut.
Sebagian besar ulama bersepakat untuk menggunakan metode tarjîh ini ketika terjadi ta'ârudh antar beberapa dalil. Sebagian lain menolaknya dan lebih mendahulukan takhyîr (memilih) atau pun tawaqquf. Bedanya tarjîh dengan takhyîr adalah, dalam amal tarjîh, seorang mujtahid akan sampai pada lahirnya dua kesimpulan; adanya dalil yang râjih dan yang marjuh. Sementara, dalam takhyîr, seorang mujtahid hanya memilih tanpa diikuti oleh dua hal di atas.



2. Ta’arudh
Ta’arudh menurut arti bahasa adalah pertentangan satu dengan yang lainnya. Sementara kata Al-Adillah adalah bentuk Plural dari kata dalil, yang berarti Argumen, alasan dan dalil.
Secara Istilah Ta’arudh al- Adillah diartikan sebagai perlawanan antara kandungan salah satu dari dua dalil yang sama derajatnya dengan kandungan dalil yang lain. Sehingga dalam implikasinya kedua dalil yang berlawanan tersebut tidak mungkin dipakai pada satu waktu. Perlawanan itu dapat terjadi antara Ayat Al-Qur’an dengan Al-Qur’an yang lain, Hadits Mutawatir dengan Hadits Mutawatir yang lain, Hadits Ahad dengan Hadits Ahad yang lain. Sebaliknya perlawanan tersebut tidak akan terjadi apabila kedua dalil tersebut berbeda kekuatannya, kaerna pada hakikaktnya dalil yang lebih kuatlah yang diamalkan.
Diantara beberapa definisi Ta’arudh al- Adillah menurut beberapa ahli ushul fiqh diantaranya yang dikemukakan oleh Amir Syarifudin mena’rifkan ta’arudh dengan berlawanannya dua dalil hukum yang salah satu diantara dua dalil itu meniadakan hukum yang ditunjuk oleh dalil lainnya.
Abdul Wahab Khalaf mendifinisikan ta’arudh secara singkat, yaitu kontradiksi antara dua nash atau dalil yang sama kekuatannya. Dari beberapa definisi tersebut memberi titik penekanan yang berbeda, namun dapat disimpulkan bahwa ta’arud itu merupakan pembahasan dua dalil yang saling bertentangan.
B. Bentuk-bentuk Dalil yang Kontradiktif
Pengertian dalil yang kontradiktif mencakup dalil yang naqli (dalil yang memang telah termaktub dalam Al-Qur’an atau hadist nabi secara tekstual) dan dalil aqli (dalil dimana rasionalitas menjadi penentunya) seperti qiyas, bahkan juga mencakup dalil yang qath’i dan juga zhanni.
Para ulama berbeda pendapat mengenai bentuk dalil apa saja yang memungkinkan adanya kontra antara satu dengan yang lain. Perbedaan itu antara lain :
1. Menurut jumhur ulama mengatakan bahwa antara dua dalil yang qath’i tidak mungkin terjadi kontradiksi secara makna dhahir karena setiap dalil qath’i mengharuskan adanya madlul (hukum). Bila dua dalil yang qath’i berbenturan berarti setiap dalil itu mengharuskan adanya hukum yang saling berbenturan. Dengan demikian maka akan terjadi dua hal yang saling meniadakan pihak lain, hal ini sangat mustahil terjadi. Sebagian ulama berpendapat memungkinkan adanya dua dalil yang qath’i yang saling meniadakan
2. Segolongan ulama menolak terjadinya perbenturan antara dua dalil yang zhanni sebagaimana tidak boleh terjadi perbenturan antara dua dalil yang qath’i, dengan tujuan untuk menghindarkan perbenturan dalam firman pembuat hukum syar’i. sedangkan sebagian ulama yang lain membolehkan terjadinya perbenturan dua dalil yang zhanni karena tidak ada halangan bagi perbenturan tersebut selama terbatas pada dalil yang tidak qath’i, seperti yang terjadi pada qiyas. Jika kontradiksi antara dua dalil yang bukan nash seperti dua qiyas yang saling bertentangan, maka ini mungkin saja kontradiksi yang hakiki atau sebenarnya. Karena kadang-kadang dari salah satu dari keduanya salah, maka jika mungkin memenangkan salah satu dari dua qiyas tersebut, yang menang itulah yang diamalkan.
Kedua golongan yang berbeda pendapat itu semuanya sepakat bahwa terjadinya kontradiksi dalil tersebut hanya dalam pemikiran para mujtahid saja, sedangkan dalam dalil itu sendiri tidak ada benturan. Dengan kesimpulan dari dua pendapat itu bahwa kontradiksi antara dua dalil ini tidak akan terjadi kecuali apabila kedua dalil itu sama kekuatannya. Maka jika salah satu dari kedua dalil itu lebih kuat dari yang lainnya, maka yang diikuti adalah hukum yang dikehendaki oleh dalil yang lebih kuat. Dengan demikian tidak akan terjadi kontradiksi antara nash yang qath’i dan nash yang zhanni. Contohnya sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an QS. Al-Baqarah ayat 180 yang berbunyi sebagai berikut:
        •         
“Diwajibkan atas kamu apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) mati, jika ia meninggalkan harta yang banyak berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf.” (QS. Al-Baqarah: 180)
Ayat di atas secara dhahir maknanya mengalami kontradiksi dengan ayat sebagai berikut:
          ………………… 
“Allah mensyari’tkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian orang laki-laki sama dengan dua orang anak perempuan.” (QS. An-Nisa’: 11)
Ayat pertama mewajibkan kepada yang telah merasa mendekati ajalnya agar mewasiatkan harta pusakanya kepada orang tua dan sanak kerabatnya secara baik. Dan ayat kedua menetapkan masing-masing orang tua anak-anak dan sanak kerabat mendapat hak dari harta pusaka lantaran wasiat Allah bukan wasiat yang mewariskan. Berarti kedua ayat tersebut kontradiksi secara makna lahirnya dan mungkin bisa mengkompromikan keduanya, yaitu jika yang dimaksud dalam surat al-Baqarah ayat 180 itu kedua orang tua dan sanak kerabat, maka itu merupakan ketentuan tentang mereka yang terhalang mendapat warisan oleh suatu penghalang seperti perbedaan agama.
C. Macam-macam Ta’arudh al-Adillah
Ada empat macam Ta’arudh al-Adillah yaitu
1. Ta’arudh antara Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Seperti firman Allah SWT yang terdapat pada QS.Al-Maidah :3 yaitu
       •       •                                                •    

Artinya: Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, … (QS.Al-Maidah :3).
Ayat ini nampaknya ta’arudh (bertentangan) dengan firman Allah SWT dalam QS.Al-An’am :145) yaitu
       •          ••        •           •    
Artinya: Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir…(QS.Al-An’am : 145).
2. Ta’arudh antara As-Sunnah dengan As-Sunnah
Dibawah ini adalah dua Hadits yang bertentangan yaitu
“Dari Siti ‘Aisyah dan Ummi Salamah RA bahwa Nabi masuk waktu subuh dalam keadaan junub karena melakukan jimak kemudian mandi dan menjalankan puasa. (HR.Mutafaqun Alaih).”
Hadits ini bertentangan dengan hadits berikut ini:
“Bila telah dipanggil untuk sembahyang subuh,sedang salah satu di antaramu dalam keadaan junub maka jangan puasa hari itu (HR.Imam Ahmad dan Ibnu Hibban )”.
3. Ta’arudh antara As-Sunnah dengan Al- Qiyas
Ta’arudh kedua dalil ini bisa dikemukakan antara sunnah dengan qiyas dalam menetapkan hukum kebolehan bagaimana halnya bila seseorang mengadakan jual beli unta atau kambing yang diikat putik susunya agar kelihatan besar,sedang setelah dibeli dan diperah susunya terbukti adanya gharar.
Seperti sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya: “Janganlah hendaknya anda mengikat susu unta ataupun kambing (agar kelihatan besar),barangsiapa membelinya sesudah terjadi demikian,maka boleh memilih di antara dua pandangan yang dianggap baik,bila menghendaki boleh melangsungkan jual beli itu atau mengembalikannya dengan membayar satu sha’ dari tamar.(HR.Mutafaqun ‘alaih dari Abi Hurairah).
Dalam Hadits ini disebutkan bahwa bila memilih pengembalian (untuk kambing) maka pembeli harus membayar satu sha’ dari tamar. Hal ini merupakan pendapat Jumhur Ulama’.Sedangkan Ulama’ Hadawiyah, berpendapat bahwa lebih sesuai dengan mengembalikan perahan susu itu bila masih dan bila telah habis dengan mengganti harga susu itu,hal ini diqiyaskan pada tanggungan bila menghabiskan atau merusak barang orang lain,maka pihak yang menggunakan barang orang lain tersebut harus mengganti sejumlah atau senilai dengan barang yang telah dipergunakan.
4. Ta’arudh antara Qiyas dengan Qiyas
Ta’arudh ini bisa dicontohkan dari pengqiasan terhadap masalah perkawinan Nabi Muhammad SAW terhadap Siti ’Aisyah .
Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits yaitu Artinya:”Dari ‘Aisyah ,beliau berkata: Rasulullah mengawini saya ketika saya berumur enam tahun dan mengumpuliku ketika saya sebagai gadis yang telah berumur sembilan tahun .(H.R.Muslim dari ‘Aisyah).
Atas dasar hadits, diambil hukum kebolehan (boleh) orang tua mengawinkan anaknya yang belum dewasa (masih di bawah umur) tanpa izin yang bersangkutan. Hal ini merupakan pendapat Ulama’ Hanafiyah, sedang Ulama’ Syafi’iyah menganggap karena kegadisannya. Dengan demikian kalau telah tsayyib sekalipun masih belum dewasa orang tua tak mempunyai hak ijbar.
D. Cara Penyelesaian Ta’arudh Al-Adillah
Apabila ditemukan dua dalil yang kontradiksi secara lahirnya, maka harus diadakan pembahasan untuk memadukan keduanya dengan cara-cara memadukan yang telah diatur dalam ushul fiqh. Dan apabila dua dalil tersebut telah diusahakan perpaduannya, namun tetap tidak menemukan jalan keluar, maka pelaksaannya dihentikan dan mencari dalil yang lain. Para ulama ushul telah merumuskan tahapan-tahapan penyelesaian dalil-dalil yang kontradiksi yang bertolak pada suatu prinsip yang tertuang dalam kaidah sebagai berikut:
“Mengamalkan dua dalil yang berbenturan itu lebih baik daripada meninggalkan keduanya“
Dari kaidah di atas dapat dirumuskan tahapan penyelesaian dalil-dalil yang berbenturan serta cara-caranya sebagai berikut:
1. Mengamalkan dua dalil yang kontradiksi
2. Mengamalkan satu diantara dua dalil yang kontradiksi
3. Meninggalkan dua dalil yang kontradiksi
Adapun pembahasan dari tahapan-tahapan di atas adalah sebagai berikut:
a. Mengamalkan dua dalil yang kontradiksi (Al-Jam’u wa al-Taufiq), dapat ditempuh dengan cara:
1) Taufiq (kompromi). Maksudnya adalah mempertemukan dan mendekatkan dalil-dalil yang diperkirakan berbenturan atau menjelaskan kedudukan hukum yang ditunjuk oleh kedua dalil tersebut, sehingga tidak terlihat lagi adanya kontradiksi.
Contoh:
       ••                 •     
“Orang-orang yang meninggal diantaramu dan meninggalkan istri-istri hendaklah berwasiat bagi istri-istri mereka untuk bersenang –senang selama satu tahun.” (QS. Al-Baqarah: 240)
Dengan ayat yang berbunyi:
                           
“Orang-orang yang meninggal diantaramu dan meninggalkan istri-istri hendaklah istri-istri itu menahan diri selama empat bulan sepuluh hari.”
Kedua ayat di atas secara lahir memang berbenturan karena ayat yang pertama menetapkan iddah selama satu tahun, sedangkan ayat yang kedua menetapkan iddah selama empat bulan sepuluh hari.
Usaha kompromi dalam kasus ini adalah dengan menjelaskan bahwa yang dimaksud bersenang-senang selama satu tahun pada ayat pertama adalah hak mantan istri untuk tinggal di rumah mantan suaminya selama satu tahun (jika tidak menikah lagi). Sedangkan masa iddah selama empat bulan sepuluh hari dalam ayat yang kedua maksudnya adalah sebagai batas minimal untuk tidak menikah lagi selama masa itu.
2) Takhsis, yaitu jika dua dalil yang secara zhahir berbenturan dan tidak mungkin dilakukan usaha kompromi, namun satu diantara dalil tersebut bersifat umum dan yang lain bersifat khusus, maka dalil yang khusus itulah yang diamalkan untuk mengatur hal yang khusus. Sedangkan dalil yang umum diamalkan menurut keumumannya sesudah dikurangi dengan ketentuan yang khusus.
Contoh firman Allah QS. Al-Baqarah:228 yang berbunyi:
     …….. 
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menungu) tagi kali sesuci.” (QS. Al-Baqarah:228)
Dan pada ayat lain sebagai berikut:
…..       …….. 
“Perempuan-perempuan hamil (yang dicerai suami) waktu iddah mereka adalah sampai melahirkan kandungannya.”
Perbenturan secara zhahir kedua ayat di atas bahwa iddah istri yang ditalak suami adalah tiga kali sesuci, sedangkan istri yang dicerai suami dalam keadaan mengandung, maka iddahnya adalah sampai melahirkan anaknya.
Usaha penyelesaian malalui takhsis dalam dua dalil di atas yaitu memberlakukan batas melahirkan anak, khusus bagi istri yang dicerai suaminya dalam keadaan hamil. Dengan usaha takhsis ini ketentuan bagi istri yang hamil dikeluarkan dari keumumannya.
b. Mengamalkan satu dalil diantara dua dalil yang berbenturan
Bila dua dalil yang berbenturan tidak dapat dikompromikan atau ditakhsis, maka kedua dalil tersebut tidak dapat diamalkan keduanya. Dengan demikian hanya satu dalil yang dapat diamalkan. Usaha penyelesaian dalam bentuk ini dapat ditempuh dengan 3 cara:
1) Nasakh . Maksudnya apabila dapat diketahui secara pasti bahwa satu diantara dua dalil yang kontradiksi itu lebih dahulu turun atau lebih dahulu berlakunya, sedangkan dalil yang satu lagi belakangan turunnya, maka dalil yang datang belakangan itu dinyatakan berlaku untuk seterusnya, sedangkan dalil yang lebih dulu dengan sendirinya dinyatakan tidak berlaku lagi.
Contoh:
“Sesungguhnya saya telah melarangmu berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah.”
Keterangan waktu yang menjelaskan berlakunya dua nash yang berbeda adalah apabila dua dalil hukum berbenturan dan tidak mungkin diselesaikan dengan cara apapun, tetapi dapat diketahui bahwa yang satu lebih dahulu datangnya dari pada yang satunya, maka yang terakhir ini menasakh yang lebih dahulu datang, sebagaimana yang terjadi pada hadist di atas, dan juga hadits di bawah ini yang berbunyi:
“Sesungguhnya saya telah melarangmu menyimpan daging kurban lebih dari keperluan tiga hari, maka sekarang makanlah dan simpanlah.”
2) Tarjih. Maksudnya adalah apabila diantara dua dalil yang diduga berbenturan tidak diketahui mana yang belakangan turun atau berlakunya, sehingga tidak dapat diselesaikan dengan nasakh, namun ditemukan banyak petunjuk yang menyatakan bahwa salah satu diantaranya lebih kuat dari pada yang lain, maka diamalkanlah dalil yang disertai petunjuk yang menguatkan itu, dan dalil yang lain ditinggalkan.
Contoh: Seperti mendahulukan khabar dari Aisyah ra. tentang wajibnya mandi bila terjadi persetubuhan dari pada khabar Abu Hurairah yang mewajibkan mandi hanya apabila keluar mani.
3) Takhyir. Maksudnya bila dua dalil yang berbenturan tidak dapat ditempuh secara nasakh dan tarjih, namun kedua dalil itu masih mungkin untuk diamalkan, maka penyelesaiannya ditempuh dengan cara memilih salah satu diantara dua dalil itu untuk diamalkan, sedangkan yang lain tidak diamalkan.
c. Meninggalkan dua dalil yang berbenturan
Bila penyelesaian dua dalil yang dipandang berbenturan itu tidak mampu diselesaikan dengan dua cara di atas, maka ditempuh dengan cara ketiga, yaitu dengan meninggalkan dua dalil tersebut. Adapun cara meninggalkan kedua dalil yang berbenturan itu ada dua bentuk, yaitu:
1) Tawaquf (menangguhkan), menangguhkan pengamalan dalil tersebut sambil menunggu kemungkinan adanya petunjuk lain untuk mengamalkan salah satu diantara keduanya.
2) Tasaquth (saling berguguran), meninggalkan kedua dalil tersebut dan mencari dalil yang lain untuk diamalkan.












BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Imam Syaukani mendefinisikan tarjîh sebagai menetapkan satu pilihan dari dua opsi yang tersedia dan ta'ârudh (saling bertolak belakang) satu sama lainnya. Sedangkan ulama mazhab Hanafi mendefinisikan tarjîh sebagai usaha melebihkan satu dari dua dalil yang sama kuat. Jadi, menurut mereka, tarjîh hanya terjadi bila dua dalilnya sama kuat. Bila dalilnya tidak sama kuat (contohya al-Quran dengan Hadis, atau Hadis sahih dengan Hadis dha'if), tidak dinamakan tarjîh. Ulama mazhab Syafi'i mendefinisikan tarjîh sebagai menguatkan salah satu dari dua dalil yang zhanni untuk kemudian diamalkan. Dalam perspektif mazhab ini, tarjîh hanya terjadi bila ada dua dalil yang sama-sama zhanniy. Maka, tidak ada tarjîh antara dua dalil yang sama-sama qath'iy, atau antara dalil qath'i dan dalil zhanniy.
Ta’arudh al- Adillah diartikan sebagai perlawanan antara kandungan salah satu dari dua dalil yang sama derajatnya dengan kandungan dalil yang lain.
Ada empat macam Ta’arudh al-Adillah yaitu
1) Ta’arudh antara Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
2) Ta’arudh antara As-Sunnah dengan As-Sunnah
3) Ta’arudh antara As-Sunnah dengan Al-Qiyas
4) Ta’arudh antara Al-Qiyas dengan Al-Qiyas
Para ulama ushul telah merumuskan tahapan-tahapan penyelesaian dalil-dalil yang kontradiksi yang bertolak pada suatu prinsip yang tertuang dalam kaidah sebagai berikut:
“Mengamalkan dua dalil yang berbenturan itu lebih baik daripada meninggalkan keduanya“
Dari kaidah di atas dapat dirumuskan tahapan penyelesaian dalil-dalil yang berbenturan serta cara-caranya sebagai berikut:
1. Mengamalkan dua dalil yang kontradiksi
a. Taufiq (kompromi)
b. Takhsis
2. Mengamalkan satu diantara dua dalil yang kontradiksi
a. Nasakh
b. Tarjih
c. Takhyir
3. Meninggalkan dua dalil yang kontradiksi
a. Tawaquf (menangguhkan)
b. Tasaquth (saling berguguran)
B. KRITIK DAN SARAN
Demikian makalah ini kami buat, sebagai acuan menambah pengetahuan mengenai ijma dan qiyas dalam hukum islam. Semoga bisa bermanfaat bagi kita semua. Dan dari kami menyampaikan permohonan maaf atas kekurangan makalah ini.



















DAFTAR PUSTAKA
1. Al-Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, 2001, Beirut: Dar al-Fikr, Cet.ke-2
2. Firdaus. Ushul Fiqh (metode mengkaji dan memahami hukum islam secara komprehensif. 2004, Jakarta: Zikrul Hakim,
3. Khalaf, Abdul Wahab, 1997, Ilmu ushulul Fiqh, Terj. Prof. Drs. KH. Masdar Helmy, Bandung: Gema Risalah Press
4. Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid 1,1997, Jakarta: Logos Wacana Ilmu
5. Yahya, Mukhtar.,dan Fatchurrahman, 1993, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islami. Bandung :Al-Ma’rif
6. http//:http://www.diyya.wordpress.com/ushulfiqh/htm

No comments:

Post a Comment