Thursday 9 June 2011

KEPEMILIKAN

UNIT 6
KEPEMILIKAN

Standar Kompetensi
Memahami hukum Islam tentang kepemilikan

Kompetensi Dasar
6.1. Mengidentifikasi aturan Islam tentang kepemilikan
6.2. Menjelaskan ketentuan Islam tentang akad
6.3. Memperagakan aturan Islam tentang kepemilihan dan akad.

A. HAK MILIK
Hak kepemilikan merupakan suatu indikator yang digunakan oleh syara’ untuk menetapkan suatu kekuatan atau penguasaan terhadap sebuah obyek atau barang. Obyek atau barang bisa berupa benda bisa berupa manfaat . Ketika seseorang memiliki penguasaan atau kepemilikan yang sah terhadap suatu benda, maka ia bebas bertindak terhadap benda tersebut, apakah akan dijual, digadaikan, atau dipinjamkan, baik dilakukan sendiri atau perantara orang lain, selama ia tidak ada penghalang, misalnya masih belum cukup umur, dalam keadaan gila atau dibawah pengampuan .
Hak dalam bahasa Arab mempunyai beberapa pengertian, antara lain: tetap (tsabata), wajib (wajaba), jelas (yadhar). Kata hak bisa dipakai untuk bagian yang dibatasi, sebagaiman firman Allah:
وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَعْلُومٌ ﴿٢٤﴾ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ ﴿٢٥﴾
Artinya : “Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bgaian tertentu. Bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)” (Al Ma’aarij : 24-25)
Adapun definisi “Haq” adalah hukum yang sudah tetap menurut syara’. Lebih jelasnya menurut Prof. Musthofa Zarqo’, bahwa haq ialah ketentuan yang ditetapkan syara’ baik berbentuk kekuasaan maupun beban;
1. Yang berbentuk “sulthah” (kekuasaan), ada yang berhubungan dengan manusia seperti hak asuh, dan hak menguasai orang atau berhubungan dengan benda seperti hak milik.
2. Yang berbentuk “taklif” (beban), ialah beban pada manusia ada yang berbentuk harta sebagaimana membayar hutang, ada yang untuk menyatakan tujuan yang jelas seperti orang yang disewa untuk mengerjakan tugasnya.
Tujuan kepemilikan dalam Islam secara umum adalah pemindahan kekayaan dari seseorang kepada orang lain dan dari kelompok kepada kelompok lain. Sekurang-kurangnya ada sebelas bagian pemindahan kepemilikan ini; yakni bekerja, membeli, pemindahtanganan harta, mahar, khulu’, warisan, pemberian, shadaqoh, wasiat, waqaf, denda pembunuhan (aqilah). Adapun kekayaan yang dapat dimiliki secara perorangan atau kelompok ada lima, yakni iqtho’ (pengambilan paksa terhadap orang yang enggan memenuhi kewajibanya), ihya’ (merawat bumi yang semula mati), ghonimah (hasil rampasan perang), menguasai yang dimubahkan, luqhotoh (barang temuan) selama bukan milik seseorang.
Secara umum hak dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu hak mal dan ghoirul mal. Yang dimaksud hak mal ialah penguasaan terhadap sesuatu yang berkaitan dengan harta, seperti kepemilikan benda-benda atau hutang. Sedangkan yang dimaksud hak ghoirul mal ialah penguasaan terhadap sesuatu yang tidak berkaitan dengan harta. Hak ghoirul mal ini dibagi menjadi dua bagian; hak syakhsyi dan hak aini. Hak syakhsyi adalah suatu tuntutan yang ditetapkan syara’ dari seseorang kepada orang lain. Hak aini adalah hak orang dewasa dengan bendanya tanpa membutuhkan orang lain.

B. SEBAB-SEBAB KEPEMILIKAN
Adapun sebab-sebab yang bisa membuat orang memiliki hak kepemilikan terhadap suatu benda adalah:
1. Ikhraj al-mubahat, untuk harta yang mubah (belum dimiliki oleh seseorang), Ada dua syarat untuk memiliki benda-benda yang brsifat mubahat; pertama, benda mubahat belum dikuasai oleh orang lain. Misalnya, seseorang mengumoulkan air dalam satu wadah, kemudian air itu dibiarkan, maka orang lain tidak berhak mengambil air tersebut. Kedua, adanya niat atau maksud memiliki. Misalnya seorang petani menaruh jarring dipinggir sawah, kemudian ada burung yang tersangkut pada jarring tersebut. Apabila niat petani hanya ingin mengeringkan jarring maka ia tidak berhak memiliki burung tersebut.
2. Khalafiyah, yaitu bertempatnya seseorang atau sesuatu yang baru bertempat pada tempat lama yang telah hilang berbagai macam haknya. Khalafiyah terbagi dua macam: khalafiyah ‘an syakhsyin dan khalafiyah ‘an syai’in. Khalafiyah ‘an syakhsyin adalah ahli waris yang berhak atau memiliki warisan. Sementara khalafiyah ‘an syai’in apabila seseorang merugikan milik orang lain atau menyerobot barang orang lain, kemudian rusak atau hilang di tangannya, maka dia wajib membayar senilai harga barang kepada pemiliknya.
3. Tawallud min mamluk, yaitu segala yang muncul dari benda yang telah dimiliki sebelumnya sehingga menjadi hak bagi yang memiliki benda tersebut. Misalnya bulu domba menjadi milik orang yang memiliki domba tersebut.

C. TINGKATAN KEPEMILIKAN
Secara garis besar kepemilikan suatu benda dapat di klasifikasikan sebagai berikut:
1. Milk Tam; suatu kepemilikan yang sempurna, yakni memiliki benda sekaligus memanfaatkan benda tersebut. Contoh: jual beli, warisan, wasiat.
2. Milk Naqis; kepemilikanya tidak lengkap, memiliki benda saja atau memanfaatkanya saja. Misalnya seseorang menjajikan kepada orang lain untuk menempati rumahnya selama tiga tahun, orang lain itu hanya memiliki manfaat bertempat tinggal selama tiga tahun, ia tidak bisa menjualnya. Milik Naqis di bagi menjadi tiga;
a. Milik ain saja, ain hanya dimiliki seseorang tetapi manfaatnya untuk orang lain sebagaimana orang yang berwasiat pada orang lain untuk menanami kebunya. Dalam hal ini pemilik ain (benda) tidak dapat memanfaatkan benda itu.
b. Milik manfaat syakhsyi atau hak memanfaatkan. Dalam hal ini terdapat lima sebab yakni i’aroh (pinjaman), ijaroh (sewaan), waqaf, wasiat dan ibahah (izin untuk merusak atau menggunakan sesuatu.
c. Milik manfaat ain atau haq al-irtifaq yakni hak atas kebun untuk manfaat kebun lain seperti hak mengairi sawah lewat sawah orang lain.
Dari segi tempat, milik dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
1. Milk ain dapat juga disebut milk al raqabah, yaitu memiliki semua benda baik yang tetap (tidak bergerak) seperti rumah maupun yang tidak tetap (bergerak) misalnya mobil.
2. Milk al-manfaat, yaitu seseorang yang memiliki satu manfaat saja dari suatu benda, misalnya orang meminjam barang.
3. Milk al-dain yaitu pemilikan barang karena adanya hutang.
Dari segi cara yang berpautan antara milik dengan yang dimiliki di bagi dua:
1. Milk al-mutamayyiz yaitu sesuatu yang berpautan dengan yang lain, yang memiliki batasan-batasan yang dapat memisahkannya dari yang lain. Misalnya seekor kerbau berbeda dengan sebuah mobil.
2. Milkul syari’ atau milk al-musya’ yaitu milik yang berpautan dengan sesuatu yang nisbi dari kumpulan sesuatu, berapa besar atau berapa kecil kumpulan tersebut. Misalnya empat orang yang membeli sapi maka sapi itu milik bersama orang empat.

D. AKAD
Menurut bahasa akad berarti mengikat (al-ribthu) sambungan (aqdah), dan janji (al-ahdu). Akad wajib dilaksanakan, baik kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya, sebagaimana ditegaskan Allah dalam firmanya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
Artinya : “Hai orang-orang yang betiman, penuhilah akad-akad itu”. (Q.S. Al-Maidah:1)
Janji yang mengacu kepada pernyataan seseorang untuk mengerjakan sesuatu atau tidak mengerjakan sesuatu dan tidak ada sangkut pautnya dengan orang lain. Dalam al-quran disebut “al-ahdu”, sebagaimana firman Allah SWT;
بَلَىٰ مَنْ أَوْفَىٰ بِعَهْدِهِ وَاتَّقَىٰ فَإِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ
Artinya : “Ya, siapa yang menepati janji (yang dibuat) nya dan bertaqwa maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa.” (Q.S Ali Imron: 3/76)
Perjanjian yang dibuat seseorang dan memerlukan pihak lain, baik setuju maupun tidak setuju, wajib dilaksanakan. Serta janji yang memerlukan kerelaan (persetujuan) orang lain kedua-duanya selalu mengikat orang yang membuat/menyetujuinya.
Dalam istilah, terdapat dua makna akad, yakni makna am dan khas;
1. Akad dalam pebgertian am ialah:
كُلُّ مَا عَزَمَ الْمَرْءُ عَلىَ فِعْلِهِ سَوَاءٌ صَدَرَ بِاِرَادَةٍ مُنْفَرِدَةٍ كَالْوَقْفِ وَالاِبْرَاءِ وَالطَّلاَ قِ وَالْيَمِيْنِ اَمِ احْتَاجَ اِلَى اِرَادَتَيْنِ فِي اِنْشَاءِهِ كَالْبَيْعِ وَالاِيْجَارِ وَالتَّوْكِيْلِ وَالرَّهْنِ
Artinya : "Segala sesuatu dimana seseorang ingin bermaksud untuk melakukannya, baik timbul dari keinginan sendiri seperti wakaf, ibro’, tholaq, dan sumpah, atau membutuhkan dua kehendak untuk mewujudkannya seperti jual beli, sewa mwnyewa, mewakilkan dan menggadaikan.”
2. Akad menurut pengertian khas ialah:
اِرْتِبَاطُ اِيْجَابٍ بِقَبُوْلٍ عَلَى وَجْهٍ مَشْرُوْعٍ يَثْبُتُ اَثَرُهُ فِي مَحَالِهِ
Artinya : “Perikatan ijab qabul yang dibenarkan syara’ yang ditetapkan dampaknya pada tempatnya itu.”
Akad memiliki hubungan dengan iltizam dan tasharruf, iltizam lebih bersifat umum artinya setiap tasharruf yang menumbuhkan hak, mengubah, memindah, atau menyelesaikanya baik dari orang perorang maupun kedua belah pihak. Sedangkan tasharruf ialah ucapan atau perbuatan yang keluar dari kehendak orang.
Adapun rukun aqad dapat di sebutkan sebagai berikut:
1. Aqid (orang yang beraqad)
2. Ma’qud alaih (benda yang diakaqkan)
3. Shighot (ijab qabul dalam jual beli);
a. Ijab ialah ucapan yang keluar dari penjual.
b. Qabul ialah ucapan yang keluar dari pembeli, meskipun diucapkan pertamakali.
Ada yang mengatakan bahwa ijab ialah ucapan pertama meskipun dari pembeli, sedangkan qabul ialah ucapan kedua meskipun dari penjual.
Syarat-syarat akad yang harus dipenuhi diantaranya ialah:
1. Kedua orang yang melakukan akad adalah orang yang cakap (tidak sah orang gila)
2. Yang dijadikan obyek akad mampu menerima hukumnya.
3. Akad tersebut diijinkan oleh syara’ atau dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya.
4. Bukan akad yang dilarang oleh syara’
5. Akad dianggap sebagai faidah, sehingga tidak sah bila rahn (gadai) dianggap sebagai timbangan dari amanah.
6. Ijab itu berjalan terus tidak dicabut sebelum qabul, maka apabila ada orang yang menarik kembali ijabnya sebelum qabul maka ijabnya batal.
7. Ijab dan qabul mesti bersambungan sehingga apabila salah seorang telah berpisah sebelum adanya qabul maka ijab tersebut menjadi batal.
Akad dibagi menjadi tiga bagian;
1. “Aqad munjiz” yaitu akad yang dilaksanakan langsung pada waktu terjadinya akad. Pernyataan akad yang diikuti pelaksanaan akad ialah yang tidak disertai dengan syarat-syarat dan tidak pula ditentukan dengan waktu pelaksanaan setelah adanya akad.
2. “Aqad mu’allaq” yaitu akad yang di dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat yang telah ditentukan dalam akad.
3. “Aqad mudhof” yaitu akad yang dalam pelaksanaanya terdapat syarat-syarat yang mengenai penanggulangan pelaksanaan akad, pernyataan penanggulanganya dilaksanakan hingga waktu yang ditentukan.
E. ILZAM DAN ILTIZAM
Ilzam ialah pengaruh yang umum bagi setiap akad. Ada pula yang menyatakan bahwa Ilzam adalah ketidakmungkinan bagi yang melakukan akad untuk mencabut aqadnya secara sepihak tanpa adanya persetujuan pihak lain.
Iltizam ialah keharusan mengerjakan sesuatu atau tidak mengerjakan sesuatu untuk kepentingan orang lain. Ada juga yang menyatakan bahwa iltizam ialah seseorang yang dibebani menurut syara’ untuk mengerjakan sesuatu atau meninggalkan sesuatu untuk kemaslahatan orang lain. Ada juga yang menyatakan iltizam bermakna setiap tasharruf yang menumbuhkan, mengubah, memindah, bahkan menyelesaikan hak baik dari orang secara pribadi atau dua belah pihak. Sedangkan tasharruf merupakan ucapan atau perbuatan yang muncul dari niat (kehendak) seseorang.
Dengan adanya akad (transaksi) muncul iltizam sedangkan dari akad dan iltizam timbulah tasharruf.

F. HUTANG PIUTANG
1. Pengertian Hutang Piutang
Hutang adalah transaksi (akad) antara dua pihak, pihak pertama memberikan sejumlah uang atau barang, dan pihak yang lainnya menerima atau berjanji akan membayarnya dengan barang atau uang dalam jangka waktu dan jumlah tertentu sesuai perjanjian.
Orang yang diberi uang dinamakan orang yang berhutang dan orang yang memberi uang dinamakan orang yang berpiutang.
Hutang piutang ini bisa dalam bentuk jual beli dan bisa dalam bentuk pinjam-meminjam. Hutang dalam bentuk jual beli yaitu dalam bentuk jual beli yang tidak kontan, yang pembayarannya kemudian. Sedangkan hutang dalam bentuk pinjam-meminjam adalah apabila pinjaman tersebut menjadi milik yang meninjam. Misalnya meminjam uang, meminjam beras untuk dimasak dan lain-lain. Baik uang maupun beras pinjaman diatas, menjadi milik yang meminjam, sehingga menjadi hutang. Adapun jika pinjaman tidak menjadi milik si peminjam, maka ia termasuk utang tetapi ariyah. Misalnya seseorang meminjam motor sebentar, meminjam pulpen untuk menulis, dan lain-lain.

2. Hukum Hutang Piutang
Hutang piutang hukumnya mubah akan tetapi memberi utang hukumnya sunah, bahkan bisa menjadi wajib jika orang yang berhutang sangat membutuhkan untuk mempertahankan hidupnya atau karena terlantar. Allah berfirman:
إِنْ تُقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا يُضَاعِفْهُ لَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللَّهُ شَكُورٌ حَلِيمٌ
Artinya : Jika kamu meminjamkan karena Allah, pinjaman yang baik, niscaya Allah akan melipat gandakan (pembalasannya) kepadamu dan mengampuni kamu, Dan Allah maha pembalas jasa lagi maha penyayang.” (Q;Terj.1971,942)
Sebaliknya bisa menjadi haram jika tahu hutangnya untuk kebutuhan maksiat. Landasan untuk utang piutang ini sabda Rasulullah SAW:
عََنْ اَبِي مَسْعُوْدٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ النَبِيَ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمْ قَالَ مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنَ اِلاَّ كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً ﴿رواه ابن مجه ﴾
Artinya : “Dari Ibnu Mas’ud, sesungguhnya Nabi SAW bersabda; “Seorang Muslim yang mempiutangi orang Muslim lainnya sebanyak dua kali, sama halnya dengan bersedekah satu kali.” (H.R. Ibnu Majah)
Orang yang berhutang wajib membayar hutangnya, jika dengan sengaja tidak menbayarnya, maka akan ditagih diakhirat nanti sebagai suatu dosa. Bahkan Nabi SAW pernah memerintahkan, jika ada oang yang tidak mau membayar hutang dengan sengaja padahal ia mampu, maka boleh mengambil barang kepunyaan orang yang berhutang sebesar hutangnya.
Orang seperti ini tidak mau bersyukur atau berterima kasih atas bantuan orang lain. Bahkan ia adalah orang yang egois yang hanya memikirkan atau mementingkan kesenangan dirinya. Padahal Nabi SAW menganjurkan agar membayar hutang dengan yang lebih baik.

3. Rukun Hutang Piutang
Ada tiga rukun hutang piutang yaitu:
a. Lafadz yang diucapkan oleh orang yang mau berhutang, baik dengan lisan maupun dengan tulisan.
b. Orang yang berhutang dan yang berpiutang.
c. Uang atau barang yang dipiutangkan.

4. Menambah Jumlah Pengembalian Hutang
Menambah jumlah pengembalian hutang hukumnya boleh jika atas kehendak orang yang berhutang. Sedangkan jika atas kehendak orang yang berpiutang pada saat perjanjian, maka hukumnya haram karenasam dengan riba.
Orang yang berhutang sah mengambil tambahan dari orang yang berhutang, dan ini akan menjadi kebaikan bagi kedua belah pihak. Rasulullah sendiri memberikan anjuran dengan sabdanya bahwa sebaik-baiknya orang adalah apabila dapat membayar hutang dengan lebih baik. Sebagaimana sabdanya:
عَنْ اَِبي هُرَيْرَةً قَالَ اِسْتَقْرَضَ رسول الله صلى الله عليه وسلم سِناًّ فَاَعْطَاهُ سِناًّ خَيْرًا مِنْ سِنِّهِ وَقَالَ خَيْرُكُمْ اَحَاسِنُكُمْ قَضَاءً ﴿ رواه احمد والترميذي وصَحَّحَهُ ﴾
Artinya : “Dari Abi Hurairah; “Rasulullah SAW telah mengutang hewan, kemudian beliau bayar denga hewan yang lebih besar umurnya daripada hewan yang beliau hutang itu, Rasulullah bersabda: “Orang yang paling baik diantara kamu ialah orang yang dapat membayar hutangnya dengan yang lebih baik.” (H.R. Ahmad dan Tirmidzi lalu dishahihkannya)
Adapun tambahan jumlah pembayaran hutang yang diharuskan oleh orang yang berpiutang sama halnya dengan riba. Nabi SAW bersabda:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ وَجْهٌ مِنْ وُجُوْهِ الرِّ بَا ﴿اخرجه البيهقى﴾
Artinya : “Tiap piutang yang mengambil manfaat, adalah salah satu bentuk riba.” (H.R. Baihaqi)
Sedangakan riba itu diharamkan oleh Allah SWT.
وَأَحَلَّ اللهُ اْلبَيْعَ وَحَرَّمَ الّرِبَا
Artinya : “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”(Q.S. Al-Baqarah 2 : 275)

5. Memperlambat Pembayaran Hutang
Hutang wajib dibayar sesuai dengan perjanjian pada saat terjadinya akad (transaksi). Pembayaran tersebut baik karena sudah mampu maupun sampai batas waktu yang dijanjikan. Agar tidak lupa untuk kehati-hatian, sebaiknya perkara hutang piutang ini dicatat, terutama pihak yang berhutang. Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya.” (Q.S. Al-Baqarah 2 : 282)
Dengan demikian pembayaran uang dapat dilaksanakan dengan segera atau tepat pada waktunya. Sebab apabila sudah mampu membayar hutang lalu tidak segera membayarnya, maka termasuk perbuatan dzalim. Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مَطْلُ الْغَنِىِّ ظُلْمٌ ﴿رواه الدار قطتى والاربعة﴾
Artinya : “Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: “Penundaan bagi orang yang mampu membayar hutang adalah dzalim.” (H.R. Daruquhny dan Imam Empat)
Penundaan pembayaran hutang dengan sengaja, tidak saja berakibat buruk diakhirat nanti, tapi juga di dunia, antara lain bisa terjadinya keretakan di antara sesama manusia dan bisa berakibat buruk pada dirinya, yaitu hilangnya kepercayaan masyarakat. Jika suatu waktu membutuhkan pinjaman, maka sulit untuk mendapatkannya, karena telah hilang kepercayaan masyarakat.
Akan tetapi jika benar belum mampu untuk membyar, maka pihak yang berhutang meminta maaf atau meminta kelonggaran dalam pembayarannya. Maka sangatlah terpuji bila orang yang berpiutang memberikan keringanan kepada yang berhutang, terlebih bila mau melakukan pemotongan atau pengurangan. Sementara orang yang berpiutang memberikan kesempatan kepada orang yang berhutang. Allah SWT berfirman:
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya : “Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesulitan, maka berilah waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah 2 : 280)
Mengenai hutang-hutang yang belum dibayar sampai meninggal dunia maka hak pelunasannya dapat dipindahtangankan kepada ahli waris, sebagaiman sabda Nabi SAW:
مَنْ تَرَكَ حَقًّا اَوْ مَالاً فَلِوَرَثَتَهِ ﴿رواه احمد و بن ما جه عن ابى كريمه﴾
Artinya: “Barag siapa mati meninggalkan hak atau hutang maka pelunasan menjadi tanggung jawab ahli warisnya.”

6. Hikmah Hutang Piutang
Hutang piutang adalah salah satu bentuk tolong menolong antara sesama manusia dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya. Sedangkan Islam sangat menganjurkan tolong menolong dalam kehidupan manusia.
Banyak sekali hikmah atau manfaat dari transaksi hutang piutang, antara lain sebagaimana diungkapkan dibawah ini.
a. Bagi Orang yang Berhutang
a. Dengan hutang akan terpenuhi kebutuhan hidupnya. Pada umumnya seseorang berhutang karena terdesak oleh kebutuhan hidup yang berkaitan dengan materi.
b. Hutang dapat mencegah seseorang berbuat hal-hal yang menyimpang dari agama misalnya mencuri menipu dan lain-lain. Karena dengan terpenuhinya kebutuhan yang mendesak walaupun mempunyai hutang, ia akan terbebas atau jauh dari pikiran-pikiran yang tidak baik dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
c. Hutang dapat dijadikan modal usaha, bahkan dalam ukuran/skala besar masalah menghutang sudah menjadi mode untuk usaha misalnya para pengusaha besar pada umumnya mereka mengutang uang dari bank.
d. Hutang dapat menumbuhkan motivasi untuk bekerja keras karena dengan tuntutan untuk membayar hutang, seseorang termotivasi untuk bekerja keras agar hutangnya segera dapat dibayar.
b. Bagi Orang yang Berpiutang
1) Membantu orang yang lemah atau membantu memenuhi kebutuhan hidup seseorang yang sangat mendesak.
2) Memberi hutang sebagai bentuk rasa cinta terhadap sesama. Karena memberikan hutang kepada orang yang membutuhkan menunjukkan adanya rasa iba, cinta dan kasih sayang terhadap sesama. Jika tidak ia tidak akan memberikan hutang.
3) Menumbuhkan kebiasaan untuk bersedekah dan menolong orang lain. Juga kebiasaan memberikan hutang akan terhindar dari sifat kikir/pelit.
4) Semakin terjalinnya rasa persaudaraan antara orang yang berhutang dengan orang yang memberikan hutang.




G. HIWALAH
1. Pengertian Hiwalah
Hiwalah (حوالة) artinya “pemindahan”. Sinonimnya adalah “al-intiqal”. Sedangkan menurut istilah syara’ yaitu: “pemindahan tanggung jawab pembayaran hutang kepada orang lain dengan persetujuan”
Misalnya A mempunyai hutang kepada B sebesar Rp. 200.000, - secara kebetulan C mempunyai hutang kepada A Rp. 200.000, -. Karena sesuatu hal, A mengadakan persetujuan dengan B, bahwa hutangnya tidak akan dibayar kepada dirinya, tetapi dilimpahkan kepada C untuk membayar hutang A kepada B, karena kebetulan C berhutang juga kepada A dengan jumlah yang sama.

2. Hukum Hiwalah
Mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain (hiwalah) hukumnya boleh (mubah) asal memenuhi syarat dan rukunnya. Landasan hukum hiwalah antara lain sabda Nabi SAW:
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رضي الله عنه اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ وَإِذا اَتْبَعَ اَحَدُكُمْ عَلى مَلِئٍ فَلْيَتْبَعْ ﴿متفق عليه﴾
Artinya : “Dari Abi Hurairah Nabi SAW bersabda: “perpanjangan waktu untuk (pembayaran utang) bagi orang yang mampu adalah merupakan perbuatan yang dzalim. Dan apabilah salah seorang dari kamu menyerahkan (tanggung jawab hutangnya) kepada seseorang yang mampu hendaklah ia menerima.” (H.R. Muttafaq alaih)

3. Syarat-syarat Hiwalah
a. Kerelaan orang yang mengalihkan hutang.
b. Persetujuan orang yang berpiutang.
c. Keadaan hutang (yang dipindahkan) itu sudah tetap menjadi tanggungan. Artinya bukan piutang yang kemungkinan dapat gugur seperti piutang mas kawin dari perempuan yang belum berkumpul dengan suaminya.
d. Adanya persamaan orag yang menjadi tanggungan muhal dan muhal ‘alaih (yang orang menerima pemindaha hak dari muhal), baik dalam jenisnya maupun dalam waktu bayar dan waktu pengagguhannya.

4. Rukun Hiwalah
a. Orang yang berhutang (muhil)
b. Orang yang berpiutang (muhtal)
c. Orang yang mendapat tanggung jawab membayar hutang (muhal ‘alaih)
d. Utang muhil kepada muhal (dainan)
e. Perjanjian hiwalah (sighat)



5. Tanggung Jawab Hutang dalam Hiwalah
Apabila hiwalah berjalan sah sesuai dengan syarat dan rukunnya, maka dengan sendirinya, tanggung jawab muhil menjadi gugur. Apabila muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan misalnya, atau meninggal dunia atau mebantah hiwalah, maka muhal tidak boleh menagih piutangnya kepada muhil. Demikian menurut pendapat jumhur ulama.
Menurut madzhab Maliki, mereka mengatakan: “kecuali jika muhil telah menipu muhal dengan cara ia mengalihkan tanggung jawab kepada orang yang tidak memiliki apa-apa (fakir) makamuhil belum bebas hutangnya kepada muhal.”
Imam Malik berkata: “jika ternyata muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan, atau meninggal dunia dan ia belum membayar kewajiban itu, makamuhal tidak memiliki apa-apa terhadap orang yang dihiwalkan dan bahwa ia tidak kembali kepada pihak pertama (muhil).
Sedang menurut Abu Hanifah, Syarih dan Usman, “orang yang mengutangkan (muhal) kembali kepada muhil jika muhal ‘alaih meninggal dunia atau bangkrut atau membantah hiwalah.

6. Hikmah Hiwalah
a. Menanamkan rasa saling percaya dan kerjasama antara sesama umat. Sebab pengalihan pembayaran hutang hanya dapat dilakukan jika antara pihak yang berpiutang, yang berhutang, dan orang yang akan menanggung pembayaran dapat menyetujui perjanjian pemindahan tersebut.
b. Menolong orang yang sedang terbelit hutang. Sebab orang yang memberikan jaminan pembayaran hutang seseorang mungkin saja tidak ada kaitannya sama sekali dengan masalah hutang piutang seseorang. Tetapi karena adanya rasa iba atau kasihan, maka seseorang menyatakan sanggup untuk menagnggung hutang seseorang. Hal semacam ini sering terjadi pada masa Rasulullah SAW. Contoh lain, seseorang menagnggung hutang orang yang meninggal.
c. Mempermudah transaksi perdagangan atau mempermudah transaksi. Misalnya A membeli barang dalam jumlah yang banyak kepada B Karena A mempunyai rekening (nasabah bank), maka hanya memberikan cek (surat berharga) pada B selanjutnya B mencairkan/menagih uang ke bank dala rekening tersebut, maka termasuk muhal a’laih.

H. RIHANAH (GADAI)
1. Pengertian Rihanah
Rihanah (رِهَانَةْ) sering disebut juga dengan gadai, yaitu menjadikan barang atau benda berharga sebagai jaminan hutang, dan akan dijadikan alat pembayaran utangnya apabila utang tersebut tidak dapat dibayar sampai batas waktu yang telah ditentukan.
Barang-barang yang dijadikan jaminan biasanya barang yang berharga atau mempunyai nilai ekonomis serta dapat disimpan dan bertahan lama, misalnya emas, rumah, kendaraan, binatang dan lain-lain.

2. Hukum Rihanah
Gadai menggadai hukumnya boleh (mubah) sepanjang memenuhi syarat dan rukunnya. Pada masa Rasulullah gadai menggadai menjadi salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bahkan Rasulullah pernah melakukannya, sebagaimana hadits berikut:
عَنْ اَنَسٍ قَالَ لَقَدْ رَهَنَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم دِرْعَهُ عِنْدَ يَهُوْدِيٍّ بِالْمَدِيْنَةِ فَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيْرًا لِأَهْلِهِ ﴿رواه احمد والبخارى والنسائ وابن ماجه﴾
Artinya : “Dari Anas, katanya: “Rasulullah pernah menggadaikan baju besi beliau kepada orang Yahudi di Madinah, ketika beliau menghutangkan gandum darinya untuk keperluan keluarganya.” (H.R. Ahmad, Bukhari, Nasa’i, dan Ibnu Majah)
Sedang mengenahi kebolehannya, juga disebutkan di dalam Al-Qur’an:
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ
Artinya : “Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. (Q.S. Al-Baqarah 2 : 283)
3. Mengambil Manfaat Barang Gadai
Mengambil manfaat daripada barang gadaian dibolehkan, atas seizin yang punya dan tidak merusak atau tidak mengurangi nilai barangnya. Misalnya mobil atau motor boleh dikendarai, kerbau untuk membajak, kuda untuk menarik/pacuan, sapi/kambing untuk diperah susunya dan lain-lain selam mendapat izin orang lain. Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم اَلرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفََقَتِهِ اِذَا كَانَ مَرْهُوْنًا وَلَبَنُ الدُّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ اِذَا كَانَ مَرْهُوْنًا وَعَلى الَّذِيْ يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ ﴿رواه البخاري﴾
Artinya : “Dari Abi Hurairah berkata, bersabda Rasulullah SAW: Binatang tunggangan jika tergadai boleh ditunggangi karena memberi makan (binatang itu), dan juga susunya boleh diminum jika binatang itu tergadai, karena memberinya makanan. Dan wajib atas orang yang menunggang (binatang itu) dan yang meminum susunya memberi makan binatang tersebut.” (H.R. Bukhari)
Dalam hadits lain dikatakan:
اِذَارْتُهِنَ شَاةٌ شَرِبَ الْمُرْتَهِنُ مِنْ َلَبنِهَا بِقَدْرِ عَلَفِهَا فَاِنِ اْستَفْضَلَ مِنَ اللَبَنِ بَعَْد ثَمَنِ اْلعَلَفِ فَهُوَ الِّربَا ﴿رواه حماد بن سلمة﴾
Artinya : “Apabila digadaikan seekor kambing, maka orang yang menerima gadai boleh meminum susunya seimbang dengan sebanyak makanan yang diberikan kepada kambing itu, maka jika dilebihkannya dari sebanyak itu, lebihnya menjadi riba.” (H.R. Hamad bin Salamah)
Hadits-hadits di atas membolehkan memanfaatkan barang gadaian sebatas tidak merusak dan mengurangi nilai barang gadaian. Jika terjadi kerusakan, atau bahkan kehilangan, menjadi tanggung jawab orang yang menerima gadaian. Rasulullah SAW bersabda:
لَايُعَلَّقُ الرّهْنُ مِنْ صَاحِبِهِ الّذِيْ رَهَنَهُ لَهُ غَنِمَهُ وَعَلَيْهِ غَرَمُهُ ﴿رواه الدارقطني والحاكم﴾
Artinya : “Rasulullah SAW telah bersabda: Gadaian itu tidak terlepas dari pada tuannya yang menerima gadai, keuntunganya buat dia dan dia pula yang menanggung kerugiannya.” (H.R. Daruquthni dan Hakim)

4. Rukun Gadai
a. Orang yang melakukan akad gadai, yaitu orang yang menggadaikan dan yang menerima gadai.
b. Barang yang digadaikan dijadikan jaminan.
c. Barang atau uang yang dipinjam.
d. Sighat (perjanjian) gadai.

5. Syarat Gadai
a. Kedua belah pihak sah melakukan tindakan hukumseperti dalam jual beli. Anak kecil dan orang gila tidak sah melakukan akad gadai.
b. Barang yang digadaikan adalah sesuatu yang segera dapat diterima/dikuasai oleh yang menerima gadai, bukan barang yang berada dalam penguasaan orang lain.
c. Mamenuhi ketentuan administrasi apabila akad dilakukan dengan penggadaian yang dikelola instansi tertentu.

6. Hikmah Gadai
a. Mempermudah pihak yang sangat membutuhkan untuk mendapatkan uang tunai dengan jaminan barang. Sebagaimana perbuatan Nabi SAW ketika terdesak oleh kebutuhan. Beliau pernah menggadaikan barang miliknya seperti baju perangnya.
b. Adanya kepercayaan yang lebih besar dari orang yang menggadaikan barangnya. Karena dengan adanya jaminan, makao rang yang menerima gadaian tidak lagi merasa was-was atau ragu terhadap pinjaman uang yang diberikan kepada pihak yang menggadaikan. Adanya barang jaminan pun merupakan kesungguhan dari orang yang menggadaikan barang untuk mendapatkan uang. Sebab sangat sulit untuk mendapatkan pinjaman uang dengan begitu saja tanpa adanya jaminan.
c. Sebagai bukti adanya sistem perekonomian yang mudah dan praktis, dapat dilakukan oleh siapapun termasuk masyarakat awam. Seseorang membawa barang dipegadaian lalu ditaksir harganya dan segera ia dapat pulang dengan uang yang sangat dibutuhkannya.
d. Adanya kepuasan di antara dua belah pihak. Pihak yang menggadaikan merasa puas karena memperoleh uang, pihak yang menerima gadaian mendapatkan rasa aman terhadap uangnya yang dipinjam dengan adanya barang jaminan.

I. ARIYAH (PINJAM-MEMINJAM)
1. Pengertian ‘Ariyah
‘Ariyah menurut bahasa artinya “pinjaman”. Menurut istilah, ‘ariyah adalah mengambil manfaat barang kepunyaan orang lain secara halal dalm jangka waktu tertentu, tanpa mengurangi atau merusak pokok dan nilainya.
Yang dimaksud pinjam-meminjam disini adalah meminjam barang utuk jangka waktu tertentu dan bukan meminjam untuk dimiliki, kemudian diganti dengan yang lain. Demikian pula bukan meminjam uang untuk kemudian dibayar pada waktu tertentu. Meminjam untuk dimiliki dan dibayar/diganti pada waktu yang lain tidak termasuk ‘ariyah tapi termasuk hutang-piutang.
Contoh ‘ariyah misalnya meminjam motor untuk beberapa waktu, meminjam pulpen untuk menulis, meminjam pakaian seragam dan lain-lain.

2. Hukum ‘Ariyah
Hukum ‘ariyah adalah boleh (mubah) dan bisa menjadi sunnah, wajib, maupun haram. Tergantung pada tingkat keperluan dan tujuannya memberi pinjaman hukumnya sunnah jika pinjaman tersebut memberi manfaat dan terkandung unsur tolong menolong di antara sesama. Misalnya meminjam baju, pensil, dan lain-lain. Wajib meminjamkan sesuatu bila untuk kebutuhan yang mendesak dan bisa menimbulkan mudharat bila tidak segera dipenuhi. Mislanya meminjamkan kendaraan untuk mengangkut orang yang sakit parah untuk segera mendapatkan pertolongan medis. Haram meminjamkan sesuatu bila orang yang meminjamkan tahu untuk keperluan maksiat munkarat. Misalnya meminjamkan pistol untuk membunuh orang, meminjamkan pisau untuk menusuk orang dan lain-lain.
Landasan hukum ‘ariyah ini adalah sebuah hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW pernah meminjam sebuah baju besi:
عَنْ صَفْوَانَ بْنِ عُمَيَّةْ اَنَّ رَسُوْلَ الله صلى الله عليه وسلم اِسْتَعَارَ مِنْهُ دُرُوْعًا يَوْمَ حُنَيْنٍ فَقَالَ اَغَصْبٌ يَامُحَمَّدُ ؟ فَقَالَ بَلْ عَارِيَةٌ مَضْمُوْنَةٌ ﴿رواه ابوا داود و احمد و النسائي﴾
Artinya : “Dari Shofwan bin Umayah, bahwa Nabi SAW pernah meminjam beberapa baju besi dalam Perang Hunaen. Maka Shofwan bertanya: “Apakah sebagai barang rampasan?” “Tidak”, jawab Nabi. “Tetapi sebagai pinjaman yang dipertanggung jawabkan.” (H.R. Abu Daud, Ahmad, Nasa’I, dan disahkan oleh Hakim)

3. Rukun ‘Ariyah
a. Orang yang meminjam barang (musta’ir)
b. Orang yang memberi pinjaman (mu’ir)
c. Barang yang dipinjamkan (mu’ar)
d. Perjanjian pinjam-meminjam (sighat)
4. Syarat ‘ Ariyah
a. Orang yang meminjam dan yang memberi pinjaman hendaklah baligh, berakal dan dianggap sah dalam melakukan tidakan hukum.
b. Barang yang dipinjamkan hendaklah milik orang yang meminjamkan. Artinya tidak sah meminjamkan milik orang lain tanpa seizin yang punya.
c. Orang yang meminjam hanya boleh mengambil manfaat menurut apa yang diizinkan oleh orang yang meminjamkan barang.
d. Peminjam hendaklah mengembalikan barang pinjaman setelah habis masa pinjam.

5. Barang Pinjaman yang Hilang
Barang pinjaman wajib dikembalikan kepada orang yang memberi pinjaman. Nabi SAW bersabda:
عَنْ اَبِي اُمَامَةَ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ الْعَارِيَةُ ُﻣﺆَدَّاةٌ وَالزَّعِيْمُ غَارِمٌ وَالدَّيْنُ مَقْضِيٌّ ﴿رواه الترميذ ي و ابو داود﴾
Artinya : “Dari Abi Umamah r.a. ia berkata: saya mendengar Nabi SAW bersabda: “pinjaman itu wajib dikembalikan dan orang yang menanggung/menjamin dialah yang berhutang, dan utang wajib dibayar.” (H.R. Tirmidzi dan Abu Daud)
Jika terjadi kerusakan atau hilanh maka harus mrmperbaiki atau menggantinya kecuali jika yang punya barang merelakannya. Nabi SAW bersabda:
عَنْ صَفْوَانَ بْنِ عُمَيَّةَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِسْتَعَارَ مِنْهُ دُرُوْعًا يَوْمَ حُنَيْنٍ فَقَالَ اَغَصْبٌ يَامُحَمَّدُ؟ فَقَالَ بَلْ عَارِيَةٌ مَضْمُوْنَةٌ قَالَ فَضَاعَ بَعْضُهَا فَعَرَضَ عَلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ اَنْ يَضْمَنُهَا له فَقَالَ اَنَااْليَوْمَ يَا رَسُوْلَ الله فِي الاِسْلاَمِ اَرْغَبُ ﴿رواه احمد والنسائ﴾
Artinya : “Dari Shofwan bin Umayah: Sesungguhnya Nabi SAW telah meminjam beberapa baju perang dari Shofwan pada waktu perang Khaibar, Shofwan bertanya kepada Rasulullah SAW “Apakah sebagai barang rampasan?” Jawab Rasulullah: “Bukan, tetapi pinjaman yang dijamin”. Kemudian bilang sebagian, maka Rasulullah mengemukakan kepada Shofwan bahwa akan menggantinya. Shofwan berkata: “Saya sekarang telah mendapat kepuasan dalam Islam.” (H.R. Ahmad dan Nasa’i)

6. Hikmah Pinjam-Meminjam
a. Pihak yang Meminjam
1) Dapat memenuhi kebutuhan seseorang terhadap manfaat suatu barang yang tidak dimilikinya. Atau dengan kata lain dapat merasakan manfaat barang orang lain yang tidak ia miliki.
2) Adanya kepercayaan terhadap dirinya untuk dapat memanfaatkan sesuatu yang ia sendiri tidak memilikinya.

b. Pihak yang Memberi Pinjaman
1) Membagi nikmat Allah yang diberikan kepada dirinya, atau sebagai manifestasi rasa syukur kepada Allah SWT atas nikmat yang dianugerahkan kepadanya.
2) Allah akan menambahkan nikmat kepada orang yang pandai bersyukur kepada-Nya, meskipun hanya meminjamkan sesuatu kepada orang lain. Allah SWT berfirman:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأََ َزِيْدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Artinya : “Niscaya Allah akan menambah (nikmat) kepadamu tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka pasti azab-Ku sangat berat.” (Q.S Ibrahim [14] : 7)
3) Membantu orang yang sangat membutuhkan. Karena pada umumnya orang yang meminjam itu sangat membutuhkan sesuatu, sedangkan ia tidak mampu memenuhinya sendiri. Misalnya orang yang meminjam mobil kepada tetangga atau saudaranya untuk membawa anggota keluarganya yang sakit parah.
4) Dapat meringankan penderitaan orang lain. Karena meskipun untuk sementara waktu pinjaman dapat meringankan atau menolong orang lain.

7. Hikmah Jaminan
a. Jaminan atau dhaman dapat mendidik manusia, selain harus bisa bertanggung jawab pada dirinya juga bertanggung jawab atas nasib orang lain, tidak boleh membiarkan orang lain sengsara, apalagi sengsara. Contohnya Abu Qatada didepan Rasullullah akan menjamin pembayaran hutang orang lain yang meninggal dunia. Ini bentuk tanggung jawab/pertolongan seseorang kepada orang lain. Sebab hutang almarhum yang belum terlunasi, akan menyebabkan celaka di akhirat.
b. Sebagai suatu bentuk hubungan kerjasama yang baik untuk menyelesaikan suatu masalah di masyarakat.
c. Mempermudah proses atau mekanisme kerja. Misalnya seseorang telah menjamin akan mendatangkan saksi yang ia kenal dengan baik, maka sebenarnya jaminan seseorang tersebut akan dapat memperlancar/mempermudah proses pengadilan. Atau seseorang yang menjamin akan membantu mengembalikan barang yang dipinjam orang lain karena kenal dengan orang yang meminjamnya, maka iapun berarti membantu menyelesaikan masalah.
d. Bentuk tolong-menolong terhadap orang lain yang sangat membutuhkan pertolongan.

J. WADIAH (TITIPAN)
1. Pengertian Wadi’ah
Wadi’ah ialah menitipkan suatu barang kepada orang lain agar dijaga dan dipelihara sebagaimana mestinya. Misalnya menitipkan rumah seisinya kepada tetangga, menitipkan kendaraan dan lain-lain.


2. Hukum Wadi’ah
Asal hukum wadi’ah adalah boleh (mubah). Sedangkan bagi orang yang diberi titipan hukumnya bisa menjadi wajib, sunah, makruh, bahkan bisa menjadi haram. Disebutkan dalam sebuah kaidah ushul fiqih:
اَلحُكْمُ يَدُوْرُ مَعَ عِلَّتِهِ وُجُوْدًا وَعَدَمًا
Artinya : “Hukum itu berlaku menurut illatnya, ada dan tidak adanya.”
Jadi secara rinci hukum wadi’ah sebagai berikut:
a. Wajib menerima titipan jika tidak ada orang lain yang bisa menerima titipan dan orang yang menitipkan sifatnya mendesak atau terpaksa.
b. Sunah menerima titipan bagi orang yang sanggup menjaga dan memelihara titipan.
c. Makruh menerima titipan bagi orang yang menjaga tetapi tidak percaya pada dirinya kemungkinan berbuat hianat.
d. Haram menerima titipan bagi orang yang sama sekali tidak mampu menerima titipan dan menjaganya atau mempunyai kecenderungan menggunakan kesempatan untuk berbuat kejahatan.


3. Rukun Wadi’ah
a. Barang yang ditipkan.
b. Orang yang menitipkan barang yang diberi titipan.
c. Akad kedua belah pihak yang menunjukan adanya saling mempercayai.

4. Syarat-syarat Wadi’ah
a. Barang yang dititipkan hendaklah jelas ukuran, sifat, jumlah dan barngnya dapat dilihat/dijangkau oleh yang menerima titipan.
b. Orang yang memberi dan menerima titipan mampu melakukan tindakan hukum.
c. Masing-masing pihak tidak saling menghianati.

5. Resiko Barang Titipan yang Rusak dan Hilang
Barang yang sudah dititipkan tanggung jawab pemeliharaan dan penjagaanya berada di tangan orang yang diberi titipan. Namun karena sesuatu hal bisa saja barang yang dititipkan mengalami kerusakan bahkan mungkin hilang.
Pada dasarnya jika orang yang diberi titipan telah berusaha untuk memelihara dan menjaganya maka resiko yang terjadi tidak menjadi tanggungannya. Sebagaiman sabda Nabi SAW:
عَنْ عُمَرَ بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ جَدِّهِ قَالَ, قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ اَوْدَعَ وَدِ يْعَةً فَلاَ ضَمَانَ عَلَيْهِ ﴿رواه بن ماجه﴾
Artinya : “Dari Amr bin Syuaib dari kakeknya, Nabi SAW bersabda: “Barang siapa yang menerima titipan maka ia tidak wajib memiliki jaminan.” (H.R. Ibnu Majah)
Kecuali disebabkan oleh kelalaian dan kecerobohannya maka segala resiko menjadi tanggung jawab orang yang dititipi, misalnya:
a. Tidak disimpan ditempat yang semestinaya.
b. Dititipkan pada orang lain tanpa seizin orang yang menitipkan.
c. Dipakai tanpa seizin orang yang menitipkan sehingga mengalami kerusakan atau hilang.

6. Hikmah Titipan (Wadi’ah)
a. Adanya sikap saling percaya mempercayai di antara sesama manusia terutama orang yang menitipkan, berarti ia percaya terhadap orang yang diberi titipan.
b. Dapat menjaga atau mengamankan barang agar terhindar dari bahaya atau pencurian. Misalnya karena pemilik barang itu akan pergi jauh, sedangkan barang tersebut perlu pengamanan, maka ia titipkan kepada pihak yang diperkirakan mampu menerima titipan tersebut. Contoh lain misalnya sebagian penduduk Jakarta disaat hari Idul Fitri pulang kampung, sedangkan rumah dan segala isinya ditinggalkan. Maka untuk keamanan, dia titipkan kepada tetangganya atau kepada petugas keamanan.
c. Dapat memelihara barang yang dititipkan. Di kota-kota besar ada tempat penitipan bayi. Disitu keamanan bayi dijaga dan dipelihara selama dalam masa penitipan. Hal seperti itu menjadi tradisi pada masa pra Islam orang-orang Makah dan Madinah menitipkan bayinya kepada orang-orang pedalaman. Termasuk Rasulullah semasih bayi dititipkan kepada Halimatus Sa’diyah.

LEMBAR KERJA
A. Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan memberi tanda silang (x) pada jawaban yang paling benar.
1. Haq ialah ketentuan yang ditetapkan syara’ dan dapat berbentuk :
a. Sulthah (kekuasaan) d. Jawaban a dan b benar
b. Taklif (beban) e. Jawaban a dan c benar
c. Tajrid (menyendiri)
2. Akan menurut bahasa berarti :
a. Mengikat
b. Sumbangan (aqdah)
c. Janji (al-Ahdu)
d. Jawaban a, b dan c benar
e. Jawaban a, b dan c salah.
3. Akan dibagi menjadi 3 bagian, yaitu :
a. Akan Mujiz d. Akan Majrur
b. Akad Muallaq e. Jawaban a, b dan c benar
c. Akan Mudhof
4. Setiap piutang yang mengambil manfaat adalah :
a. Riba d. Hiwalah
b. Riya e. Syafah
c. Rihanah
5. Di bawah ini adalah beberapa rukun gadai, kecuali :
a. Orang yang melakukan akan gadai
b. Barang yang digadaikan
c. Barang atau uang yang dipinjam
d. Sighot (perjanjian) gadai.

B. Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan singkat dan benar !
1. Jelaskan makna akan menurut bahasa dan istilah !
2. Tuliskan dasar hukum tentang hutang piutang !
3. Bagaimanakah hukum orang yang memperhambat pembayaran hutang?
4. Sebutkan hikmah hutang piutang
5. Apa yang kamu ketahui tentang hiwalah, ariyah dan wadiah?

No comments:

Post a Comment