Monday 13 June 2011

Kajian Dalalah dalam ushul fiqh

Kajian Dalalah dalam Ushul Fiqh
BAB I
I. Latar Belakang

Ushuliyyah adalah Dalil syara’ yang bersifat menyeluruh, universal, dan global (kulli dan mujmal). Jika objek bahasan ushul fiqih antara lain adalah qaidah penggalian hukum dari sumbernya, dengan demikian yang dimaksud dengan qaidah ushuliyyah adalah sejumlah peraturan untuk menggali hukum. Qaidah ushuliyyah itu umumnya berkaitan dengan ketentuan dalalah lafadz atau kebahasaan.
Sumber hukum dalam qaidah ushuliyah adalah wahyu yang berupa bahasa, sementara qaidah ushuliyyah itu berkaitan dengan bahasa. Dengan demikian qaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk menggali ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa (wahyu) itu. Menguasai qaidah ushuliyyah dapat mempermudah fakih untuk mengetahui hukum Allah dalam setiap peristiwa hukum yang dihadapinya. Dalam hal ini Qaidah fiqhiyah pun berfungsi sama dengan qaidah ushuliyyah, sehingga terkadang ada suatu qaidah yang dapat disebut qaidah ushuliyyah dan qaidah fiqkiyah.
Salah satu unsur penting yang digunakan sebagai pendekatan dalam mengkaji hukum Islam adalah Ilmu Ushul Fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum-hukum syari'at yang bersifat amaliyah yang diperoleh melalui dalil-dalil yang rinci. Melalui kaidah-kaidah Ushul Fiqh akan diketahui nash-nash syara' dan hukum-hukum yang ditunjukkannya.
Diantara kaidah-kaidah Ushul Fiqh yang penting diketahui adalah Istinbath hukum dari segi kebahasaan.
Istinbath hukum dari segi kebahsaan sangat penting, karena tidak mungkin bagi seorang faqih dapat mengambil suatu hukum tanpa mengetahui ushlub bahasa dari bahasa ( wahyu) yang akan diambilnya . Karena bahasa (wahyu) yang ada dalam al-quran itu berbahasa arab, maka sudah tentu bagi seorang ahli ushul atau faqih harus bisa memahami dan mengerti ushlub bahasa tersebut.
Kita tahu bahwa nash-nash Al-Qur'an dan Sunah adalah dalam bahasa Arab. Maka pemahaman hukum dari nash hanyalah menjadi satu pemahaman yang benar apabila diperhatikan konotasi uslub dalam bahasa Arab dan cara-cara dalalahnya, serta apa yang ditunjuki lafazh-lafazhnya, baik dalam bentuk mufrad maupun murakkab (susunan). Oleh karena inilah, maka ulama ushul fiqh menaruh perhatian serius pada penelitian tentang uslub Arab, susunan-nya, dan kata-kata mufradnya, serta mengambil kesimpulan dari penelitian tersebut. Di antara yang ditetapkan oleh ulama bahasa ini ialah : Kaid-kaidah dan ketentuan-ketentuan (dhabith), yang dengan memperhatikannya dapat sampai kepada pemahaman hukum dari nash-nash syar'iyyah dengan suatu pemahaman yang benar, sesuai dengan apa yang difahami oleh bahasa Arab yang nash-nash tersebut datang dengan bahasanya, dan juga menjadi sarana untuk memperjelas nash yang mengandung kesamaran, menghilangkan kontradiksi yang kelihatan di antara nash-nIash itu, dan mentakwilkan sesuatu yang menunjukkan untuk pentakwilannya, serta lainnya yang berhubungan dengan pengambilan hukum dari berbagai nashnya.
Kaidah-kaidah dan dhabit-dhabit tersebut adalah kebahasaan (lugha-wiyyah) yang diambil dari penelitian uslub bahasa Arab, ia bukanlah suatu pembentukan keagamaan. la merupakan berbagai kaidah untuk memahami susunan kalimat dengan suatu pemahaman yang benar. Maka memahami makna dan hukum daripadanya menempuh jalan bangsa Arab dalam memahami susunan bahasa, mufradat dan uslubnya.
Pembahasan ini dibahas oleh Dr. Wahbah zuhaili dengan judul Dalalah atau cara istinbath hukum dari nash-nash .
Pemahaman terhadap dalalah memiliki babarapa metode, tergantung dari segi mana akan dipahami dalalah tersebut. Namun dalam pembahasan makalah ini hanya yang berhubungan dengan penunjukan nash terhadap makna (دَلَالَةُ النَّصِ عَلَى المَعْنَى) yang ada dalam lafadz nash. Dalalah nash terhadap makna pun juga masih di bagi empat antara lain sebagai berikut :
1. Dilihat dari segi bentuk lafadznya
(‘am, khas, musytarok, muawwal)
2. Dilihat dari segi penggunaan lafadznya
(hakiki, majaz, shorikh, kinayah)
3. Dilihat dari segi tingkat kejelasan dan kesamaran lafadznya
(tingkat kejelasan : dhohir, nash, mufassar, muhakkam) dan ( tingkat kesamaran : khofi, musykil, mujmal, mutasyabih)
4. Dilihat dari segi cara penunjukkan suatu makna (maksud yang terkandung dalam lafadz itu sendiri)
(ibarat nash, isyarat nash, dilalah nash, iqtidlo’ nash)

Dari beberapa pembagian diatas, kita akan terfokus kepada pembahasan yang ke empat yaitu dalalah nash terhadap makna ditinjau dari cara penunjukkan suatu makna terhadap lafadz itu sendiri.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Urgensi Dalalah dalam Ilmu Ushul Fiqh

Memahami dalalah dalam hal ini menjadi suatu keharusan, mengingat nash syar'i atau perundang-undangan wajib diamalkan sesuai dengan sesuatu yang difahami dari ibaratnya (susunan kalimatnya), atau isyaratnya, atau dalalahnya, atau juga iqtidha'nya. Karena segala sesuatu yang difahami dari nash dengan salah satu jalan dari empat jalan tersebut, maka ia termasuk di antara madlul (yang ditunjuki) oleh nash, sedangkan nash adalah hujjah atasnya, "Apabila pengertian yang difahami dengan salah satu jalan tersebut bertentangan dengan pengertian lainnya yang difahami melalui jalan dari jalan-jalan tersebut, maka makna yang difahami dari ibarat dimenangkan atas makna yang difahami melalui isyarat; dan makna yang difahami melalui salah satu dari dua jalan tersebut dimenangkan atas makna yang difahami melalui dalalah ".
Makna yang bersifat garis besar bagi kaidah ini ialah : Bahwasanya nash syar'i atau perundang-undangan terkadang menunjukkan beberapa makna yang beragam melalui cara dalalah tersebut. Dalalah nash tersebut tidaklah terbatas pada makna yang difahami dari ibaratnya dan huruf-huruf-nya, akan tetapi terkadang pula ia menunjukkan berbagai makna yang difahami dari isyaratnya, dari dalalahnya, dan dari iqtidha'nya, Setiap makna dari makna-maknanya yang difahami dengan salah satu dari cara-cara tersebut maka ia termasuk di antara madlul (yang ditunjuki) oleh nash. Nash adalah dalil dan hujjah atas dirinya, dan ia wajib mengamalkannya. Karena seseorang yang dibebani dengan nash (teks) perundang-undangan juga dibebani untuk melaksanakan makna yang ditunjuki oleh nash tersebut, dengan salah satu cara yang diakui menurut bahasa. Apabila seorang mukallaf mengamalkan madlul (yang ditunjuki) oleh nash dari sebagian cara dalalahnya dan tidak mengabaikan pengamalan terhadap madlul nash dari cara yang lain, maka sesungguhnya ia telah menyia-nyiakan nash dari sebagian segi. Oleh karena itulah, maka para ahli ilmu ushul fiqh berkata : "Wajib mengamalkan apa yang ditunjuki oleh ibarat nash dan apa yang ditunjuki oleh jiwa dan penalaran nash tersebut”.
Untuk mengetahui dan mengamalkan apa yang terkandung dalam lafadz nash, baik secara harfiyah maupun secara maknawiyah maka sebagai seorang faqih harus mengerti tata cara pemahaman lafadz itu, yaitu dengan cara mempelajari konsep dalalah yang telah disusun oleh ulama ushuliyah.
Pembahasan tentang dalalah ini juga termasuk dalam salah satu cara mempertajam system berpikir. Menurut Amir Syarifuddin , bahwa untuk mengetahui sesuatu tidak mesti melihat atau mengamati sesuatu itu secara langsung tetapi cukup dengan menggunakan petunjuk yang ada. Berpikir dengan menggunakan petunjuk dan isyarat disebut dengan berpikir secara dalalah.

B. Makna dalalah

Dalalah berasal Secara bahasa kata “دلالـة” adalah bentuk mashdar (kata dasar) dari kata “دَلَّ- يَـدُلُّ” yang berarti menunjukkan dan kata dalalah sendiri berarti petunjuk atau penunjukkan dalalah
Sedangkan dalalah menurut istilah adalah penunjukkan suatu lafadz nash kepada pengertian yang dapat dipahami, sehingga dengan pengertian tersebut kita dapat mengambil kesimpulan hukum dari sesuatu dalil nash. Tegasnya, dalalah lafadz itu ialah makna atau pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafadz nash dan atas dasar pengertian tersebut kita dapat mengetahui ketentuan hukum yang dikandung oleh sesuatu dalil nash.
Nash Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah merupakan kumpulan lafadz-lafadz yang dalam ushul fiqh disebut pula dengan dalil dan setiap dalil memiliki dalalah atau dilalah tersendiri. Yang dimaksud dengan dalil di sini, sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Wahab Khalaf adalah sebagai berikut;
مـايـُسْـتَـدَ لُّ بِالـنَّـظْرِالصَّحِيْحِ فِـيْـهِ عَـلَى حُكْمِ شَـرْعِي عَـمَلِي عَـلَى سَــبِـيْـلِ ا لـقَـطْعِ أَوِالـظَنِّ
Artinya; “segala sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk dengan menggunakan pemikiran yang benar untuk menetapkan (menemukan) hukum syara’ yang bersifat amali, baik sifatnya qoth’iy maupun zhanniy.”

Oleh karena itu dapat dipahami bahwa, pada dasarnya, yang disebut dengan dalil atau dalil hukum itu ialah segala sesuatu yang dapat dijadikan alasan atau pijakan dalam usaha menemukan dan menetapkan hukum syara’ atas dasar pertimbangan yang benar dan tepat.
Sementara itu, yang dimaksud dengan dilalah, seperti dijelaskan oleh Dr.wahbah Zuhaili dalam kitab ushulnya Dalalah adalah :
كَـيْـفِـيَّةُ دَلَالَـةِ اللَّـفْــظِ عَـلَى الْمَـعْـنَى atau كَيْفِيَّةُ دَلَالَتِهِ عَلَى المُرَادِ المُتَكَلِّمِ
Yaitu; cara penunjukkan lafaz atas sesuatu makna atau penunjukan suatu lafadz atas sesuatu yang dimaksud oleh mutakallim

Atas dasar ini dapat disimpulkan bahwa dalil adalah yang memberi petunjuk dan dalalah ialah sesuatu yang ditunjukkan. Menyangkut dalalah lafadz nash ini di kalang ulama ushul memang terdapat perbedaan.
Kalangan ulama Hanafiyah membagi cara penunjukkan dalalah lafal nash itu kepada empat macam, yaitu , Ibarat Nash, Isyarat nash, Dalalah nash, dan Iqtidla’ al-Nash.
1. Ibarat Nash
Yang dimaksud dengan Ibarat nash adalah :
عِبَارَةُ النَّصِ : هِيَ دَلَالَةُ الكَلَامِ عَلَى المَعْنَى المَقْصُوْدِ مِنْهُ اِمَّا اِصَالَةً او تِبْعًا .
Artinya : ibarat nash adalah penunjukan lafadz pada suatu makna yang dimaksud dari lafadz itu sendiri, baik yang tersurat maupun yang tersirat.

Dari pengertian di atas dapat diartikan bahwa makna yang terkandung dalam lafadz dapat difahami langsung dari bentuk sighatnya, baik yang di fahami secara asli dari lafadz itu atau secara tersirat dalam lafadz itu, dan makna tersebut adalah yang dimaksudkan dari susunan kalimatnya, sepanjang makna itu zhahir pemahamannya dari shighat nash. Sedangkan nash disusun untuk menjelaskan dan menetapkannya, maka ia adalah yang ditunjuki oleh ibarat nash, yang juga disebut dengan makna literal bagi nash.
Contoh dari ibarat nash : firman Allah :
وَاَحَـلَّ اللهُ البَــيْـعَ وَحَـرَّمَ الـرِّبَـا ...
Artinya ; Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riaba’…
Menurut Dr. Wahbah Zuhaili , bahwa ayat ini arti asalnya adalah menjelaskan perbedaan antara jual – beli dan riba’, bahwa jual-beli itu tidak sama. Kemudian ayat ini diartikan pula bahwa jual – beli itu boleh dan riba’ itu haram. Kedua pengertian ini dipahami atau diperoleh dari petunjuk susunan lafal yang terdapat dalam ayat. Hanya makna yang pertama adalah yang asal, karena ayat ini turun untuk menyangkal penyataan bahwa jual beli sama dengan riba.((اِنَّمَاالبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا.
Dalam contoh lain misalnya :
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ
Artinya : Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat..

Ibarat dari Lafadz ini memiliki dua makna, pertama Bolehnya nikah atas wanita yang disenangi, kedua batasan jumlah maksimal nikah atas empat istri. Makna asal dari lafadz ini adalah makna yang kedua, dan yang pertama adalah makna yang ikut dari makna yang asal. Sebab ayat tersebut disusun untuk menyesuaikan orang-orang yang menjadi washiy terhadap orang-orang yang membatasi diri yang keberatan untuk menerima wasiat anak yatim, karena merasa khawatir untuk berlaku tidak adil terhadap harta benda anak-anak yatim. Kekhawatiran berlaku dzalim/tidak adil ini menghalangi kamu untuk memperbanyak isteri kepada jumlah yang tak terbatas dan tanpa suatu ikatan. Oleh karena itu, mereka haruslah mencukupkan dua orang atau tiga orang atau empat orang isteri saja. Makna inilah yang dimaksudkan secara asli dari-susunan ayat tersebut. Makna ini diikuti lagi dengan penjelasan mengenai kebolehan perkawinan. Pembolehan perkawinan dimaksudkan secara pengikutan bukan secara asli, sedangkan yang dimaksudkan secara asli adalah pembatasan jumlah isteri sebanyak empat orang, atau satu orang saja.
2. Isyarat Nash
Yang dimaksud dari isyarat nash adalah :
اِشَارَةُ النَّصِ : هِيَ دَلَالَةُ الكَلَامِ عَلَى مَعْنَى غَيْرِ مَقْصُوْدٍ اِصَالَةً وَلَا تَبْعًا. لَكِنَّهُ لَازِمٌ لِلْمَعْنَى اَلَّذِى سِيْقَ الكَلَامَ لِاِفَادَتِهِ
Artinya : isyarat nash adalah penunjukan lafadz pada suatu makna yang tidak dimaksud secara langsung dari lafadznya tidak pula secara susunanya, tetapi merupakan kelaziman bagi arti yang diucapkan diungkapkan untuk itu.

Jadi yang dimaksud isyarat nash adalah suatu dalalah yang didapat bukan dari makna secara lafadznya atau pemahaman yang diambil dari isyarah nash (bersumber dari isensial makna) yang dipahami dari ungkapan yang ada, dengan kata lain maknanya tersirat bukan tersurat.
Contoh :
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ... (البقـرة / ۲ : ۲۳۳)
Artinya; “Dan kewajiban Ayah (suami) memberi nafkah dan pakaian dengan layak kepada isteri …”
Secara ibarat Nash pengertian yang dapat ditangkap dari ayat ini adalah bahwa Ayah (suami) wajib mengayomi isteri-isteri mereka berupa pemberian nafkah dan pakaian, bahkan tempat tinggal secara layak dan patut (ma’ruf). Menurut Amir Syarifuddin , bahwa ungkapan “المولودلـه” yang diartikan denga ayah adalah sebagai pengganti kata “الاب” dalam ayat di atas. Akan tetapi mengapa Allah menggunakan kata “المولود له” dalam ayat ini. Dalam pandangan para Mujtahid tentu ada maksud yang tidak dapat dipahami oleh orang biasa. Ungkapan “المولود له” adalah terdiri dua unsur kata, yaitu “المولود”yang arti dasarnya adalah “anak yang dilahirkan, dan kata “له” yang berarti “untuknya” dan kata “له” itu sendiri dimaksud-kan di sini adalah ayah. Sehingga “ungkapan” “المولود له” arti asalnya “anak untuk ayah” . Oleh karena itu, ungkapan lafal “المولود له” mengandung arti lain. Selain dari arti yang disebutkan, yaitu anak adalah milik ayah dan oleh karenanya anak- anak yang lahir dinasabkan kepada ayahnya bukan kepada ibunya. Pengertian yang disebut terakhir ini merupakan “Isyarat” yang dapat ditangkap dibalik susunan lafal nash.hal ini juga sesuai dengan sabda nabi yang berbunyi : اَنْتَ وَمَالِكَ لِاَبِيْكَ
3. Dilalah Nash
Dr. Wahbah zuhaili memberi perngertian bahwa Dilalah nash adalah :
دَلَالَـةُ الـنَّصِ هِـىَ دَلَالَـةُ اللَفْظِ عَـلَـى ثُـبُـوْتِ حُـكْـمِ المَنْطُوْقِ بِهِ لِلْمَـسْـكُـوْتِ عَـنْـهُ, لاِشْـتِــرَاكِهِـمَا فِى عِـلَّـةِ الحُكْمِ اَلَّتِى يُـمْكِـنُ فَـهْـمُهَـا عَنْ طَرِيْقِ اللُـغَـةِ ,مِـنْ غَـيْـرِ حَاجَةٍ اِلَى الِاجْـتِـهَـادِ الشَّرْعِيِ

Artinya : dilalah nash adalah petunjuk lafal atas suatu ketetapan hukum yang disebutkan nashnya berlaku pula atas sesuatu yang tidak disebutkan (maskut ‘anhu), karena antara kedua -- yang disebutkan dan yang tidak disebutkan -- terdapat pertautan ‘illat hukum, dimana dimungkinkan pemahaman atas keduanya dapat dilakukan dengan analisa kebahasaan dan tidak memerlukan Ijtihad dengan mengerahkan segala kemampuan daya nalar.

Jadi apabila terdapat suatu perkara yang tidak diketahui hukumnya, maka ia diberlakukan sama dengan perkara yang ada hukumnya, tetapi yang memiliki kesamaan illat diantara kedua perkara tersebut.
Contoh : firman Allah QS, al-Isra’ :23 :

فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا
Artinya : “Maka janganlah kamu mengucapkan kata “ah” kepada kedua orang tuamu dan jangan pula kamu hardik mereka berdua…”

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa kita “tidak boleh” atau “dilarang” mengucapkan kata-kata “ah” atau “cis” dan menghardik kedua orang tua (ibu-bapak) yang telah melahirkan dan membesarkan kita. Hal ini tidak lain karena perbuatan ini adalah “menyakitkan” perasaan kedua orang tua. Ketentuan hukum larangan ini juga dapat diberlakukan kepada perbuatan misalnya “memukul” atau perbuatan-perbuatan yang sejenisnya - yang pada dasarnya membawa akibat yang sama yaitu menyakitkan orang tua baik perasaan maupun fisik. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa apapun perbuatan atau tindakan yang dilakukan - selain ucapan “ah” atau hardikan - yang dapat menyakiti kedua orang tua adalah dilarang dan mengakibatkan seseorang berdosa kepada Allah SWT.
Tentang dilalat al-nash ini dalam pandangan Syafe’i , disebut dengan mafhum muwafaqah atau qiyas jali. Disebut dengan mafhum muwafaqah, ialah apa yang tidak disebutkan oleh nash sejalan dengan apa yang dituturkan oleh nash. Dengan kata lain, ketentuan hukum yang tidak disebutkan oleh nash sesuai dengan ketentuan hukum yang disebutkan oleh lafal nash. Disebut dengan qiyas jali ialah karena ketentuan hukum terhadap sesuatu yang tidak disebutkan itu lebih kuat dibandingkan dengan yang disebutkan oleh Nash. Sebagaimana contoh di atas bahwa “memukul” orang tua adalah lebih berat dan lebih menyakitkan jika dibandingkan dengan mengucapkan ucapan “ah” atau “uf” kepada kedua orang tua

4. Iqtidlo’ Nash
Yang dimaksud dengan Iqtidlo’ nash adalah :
اِقْـتِـضَاءُ الـنَّـصِ هِىَ دَلَالَـةُ الكَلَامِ عَـلَى مَـسْـكُوْتِ عَـنْـهُ يَـتَـوَ قَّــفُ صِـدْقُ الكَلآمِ اَوْ صِحَّتِهِ شَرْعاً عَلَى تَقْدِيْرِهِ
Artinya ; Iqtidla’ al-nash ialah penunjukkan lafal nash kepada sesuatu makna yang tidak disebutkan, akan tetapi kebenaran lafadznya dapat dikira-kirakan atas makna dimaksud secara syara’

Dr. Wahbah Zuhaili memberi alasan kenapa dalalah ini dinamakan Iqtidlo’, karna iqtidlo’ itu sendiri mengandung arti (thalab) meminta, sedangkan yang dimaksud dalam lafadz adalah meminta makna sebenarnya . Oleh karenanya maka harus mengira-ngira makna yang yang terkandung dalam lafadz itu.

Sedangkan menurut abdul wahab khallab dimaksud dengan Iqtidlo’ nash adalah :

اَلْمُرَادُ بِمَا يُفْهَمُ مِنْ اِقْتِضَاءِ النَّصِ المَعْنَى اَلَّذِي لَا يَسْتَـقِـيْمُ الكَلَامُ اِلَّا بِتَـقْـدِيْرِهِ
Artinya : yang dimaksud dengan iqtidlo’ nash adalah pemahaman makna yang hanya didapat dengan mengira-ngiranya.

Contoh :
Hadits nabi :
رُفِعَ عَنْ أُمَّتِي الخَطَأُ والنِّسْيَانُ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ

Kalimat ini secara dhahir seakan-akan menyimpan lafadz “رفع فعل” yang berarti bahwa bebasnya suatu perbuatan apabila terjadi kesalahan atau lupa, padahal makna ini tidak sesuai, karna suatu perbuatan yang sudah terjadi tidaklah dibebaskan, sehingga pemaknaan yang benar dalam kalimat ini harus mengira-ngira lafadz yang tersimpan di dalamnya, yaitu mengira-ngira lafadz “ الاثمرفع” jadi yang dimaksud dalam pembebasan dalam suatu kesalahan, lupa, atau terpaksa adalah dosanya bukan perbuatannya. Dan ini adalah maksud yang benar menurut susunan lafadznya.

Contoh lain dalam al-Quran : surat yusuf : 82

وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ الَّتِي كُنَّا فِيهَا

Kalimat ini tidak dapat difahami secara akal, karna tidak mungkin orang bertanya pada kampung, sehingga disini mengira-ngira lafadz yang tersimpan yaitu “ واسأل اهل القرية “ jadi yang maksud adalah bertanya pada penduduk yang ada dalam kampung tersebut.

C. Urutan Hukum dalam metode dalalah

Sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwa istinbath hukum dengan metode kajian dalalah dalam lafadz ini terdapat empat cara yaitu Ibarat, Isyarat, dilalah, dan iqtidlo’, dan ini ditetapkan secara qath’i dan yaqin, kecuali apabila terdapat sesuatu yang membuatnya takhsis, atau dhanni, karna petunjuk ibarat dan isyarat itu di ambil sesuai apa yang ada dalam lafadz itu sendiri. Dan petunjuk dilalah nash menetapkan hukum sesuai dengan kesamaan illat yang difahami dalam lafadz, kemudian dalalah iqtidlo’ menuntutnya pada penyesuaian makna dari lafadz yang tersimpan. Sehingga dikatakan dalalah ini adalah qath’i “الدلالة قطعي “
Penetapan metode kajian dalalah dalam lafadz ini dilakukan sesuai dengan urutan dalam dalalah yaitu Ibarat nash dilakukan lebih awal, lalu Isyarat, dilalah, kemudian terakhir iqtidlo’, karna ibarat nash lebih kuat dari isyarat, dan isyarat lebih kuat dari dalalah, kemudian dalalah lebih kuat dari iqtidlo’

D. Kontradiksi antar Ibarat, Isyarat, Dalalah, dan Iqtidla al-Nash

Setelah kita telah memahami pengertian tentang Ibarat nash, Isyarat nash, Dalalah nash, dan Iqtidla al-Nash. Sekarang kita akan membahas pemahaman yang lebih mendalam tentang kekuatan penunjukan dalil-dalilnya serta jika terjadi kontradiksi antara keduanya. Hal ini penting mengingat bahwa, seseorang yang memutuskan hukum harus menggunakan dalil yang paling rajih (kuat).
Sebagaimana pada pembahasan sub sebel umnya bahwa urutan dalalah adalah Ibarat nash, Isyarat nash, Dalalah nash, dan Iqtidla al-Nash, jika pengertian yang diambil dengan salah satu teori tersebut diatas bertentangan dengan pengertian lain yang diambil dengan teori yang lain, maka yang di menangkan adalah pengertian Ibarat dari ungkapan isyarat. Dan pengertian dari salah satu keduanya dimenangkan dari pengertian yang berdasarkan petunjuk (dalalah),

اِذَا تَعَارَضَتْ هَذِهِ الدَّلَالَاتُ فِى الاَحْكَامِ الثَّابِتَةِ بِهَا يُرَجَّحُ الثَّابِتُ بِالْعِبَارَةِ, ثُمَّ الِاشَارَةُ, ثُمَّ الدَّلَالَةُ, ثُمَّ اِقْتِضَاءُ

Hal ini juga sama dengan pendapat yang di ungkapkan dalam kitab abdul wabah khallab, dengan alasan bahwa karena ibarat nash adalah makna yang seharusnya segera diambil dalam memahami sususan lafadz, makna ibarat adalah makna yang sebenarnya dalam dalil, sedangkan isyarat nash adalah kelaziman untuk suatu makna, dan pengambilan hukum dalam hal ini yaitu dengan kebiasaan (iltizam)

Contoh Ta’arud

1. Ta’arud antara ibarat dan isyarat
Firman Allah Swt:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى . ( البقرة : 178(
Artinya : Di wajibkan atas kamu qishos berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. (Qs.al- Baqarah: 178).
Dengan firman Allah Swt:
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا. (النساء : 93(
Artinya : Dan barang siapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah jahannam .( Qs.al-Nisa’: 93).

Pada ayat pertama, Ibarat lafadz menunjukkan bahwa wajibnya qishas bagi pembunuh secara sengaja. Sedangkan ayat kedua menjelaskan bahwa pembunuh secara sengaja balasannya adalah jahannam, disini menunjukkan adanya isyarat bahwa pembunuh secara sengaja tidak harus qishas, karena dianggap cukup dengan balasan jahannam. Dari pemahaman ini, ada kontradiksi antara ibarat dan isyarat nash. Maka yang di menangkan adalah ibarat nash.
Hadits Nabi

أَقَلُّ الْحَيْضِ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ وَأَكْثَرُهُ عَشَرَةُ أَيَّامٍ
Artinya : Masa haid minimal tiga hari dan maksimal sepuluh hari.
تَقْعُدُ إحْدَاهُنَّ شَطْرَ عُمْرِهَا لَا تَصُومُ وَلَا تُصَلِّي
Artinya : Separoh umur wanita itu sia-sia karena tidak shalat.
Hadis pertama, ibarat nash menunjukkan bahwa maksimal waktu haid adalah 10 hari. Sedangkan hadis kedua, secara isyarat menunjukkan bahwa maksimal waktu haid adalah 15 hari. Dari sini di ambil pengertian bahwa maksimal masa haid adalah setengah bulan untuk membuktikan pengertian setengah umurnya tidak shalat. Ketika terjadi pertentangan dari makna ibarat nash hadis pertama dengan makna isyarat nash hadis kedua maka pemahaman dari ibarat lebih dimenangkan, yaitu mengira-ngirakan maksimal masa haid adalah 10 hari .
2. Ta’arud antara isyarat dan dalalah

Firman Allah SWT :

وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا
Artinyab : Dan barang siapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasanya adalah neraka jahannam, kekal didalamnya…( Qs. al-Nisa’ 93).

وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ
Artinya : Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya. …( Qs. al-Nisa’ 92).

Ayat pertama, menurut isyaratnya dapat diambil pengertian bahwa pembunuh sengaja tidak wajib memerdekakan budak, karena pada ayat tersebut telah dikatakan bahwa balasan bagi pembunuh dengan sengaja adalah kekal di neraka jahannam, tidak yang lain. Ayat tersebut juga memberikan isyarat bahwa tidak ada penebusan dosa bagi sipembunuh di dunia.
Sedangkan ayat kedua, menurut ibaratnya menunjukkan adanya kewajiban kafarat bagi pembunuh yang tidak sengaja, hal ini juga berarti adanya dalalah (pentunjuk) bahwa pembunuh yang sengaja juga harus membayar kafarat, karena pembunuhan sengaja lebih berat kriminalitasnya dibanding dengan pembunuh yang tidak sengaja. Sehingga kalau pembunuh tidak sengaja saja harus membayar kafarat apalagi yang sengaja, ini menurut dalalah nashnya. Akan tetapi dalam hal ini yang dimenangkan adalah isyarat nash dari pada dalalah nash, karena isyarat lebih kuat dari pada dalalah. Maka pembunuh sengaja tidak wajib membayar kafarat .
E. Konsep Mafhum Mukhalafah

Yang dimaksud mafhum mukhalafah yaitu hukum yang menunjukkan bahwa hukum yang tidak disebutkan berbeda dengan hukum yang disebutkan, atau juga bisa diartikan : hukum yang berlaku berdasarkan mafhum yang berlawanan dengan hukum yang berlaku dengan mafhum manthuq .
Mahfhum mukhallafah terbagi dalam beberapa bentuk di antaranya :
1. Mafhum Shifat ( مفهم الصفة )
Yaitu penunjukan hukum pada suatu lafadz yang berkaitan dengan suatu sifat tertentu, atau dengan kata lain adalah berlakunya hukum pada suatu lafadz selama ada sifat, tetapi bila sifat itu tidak ada maka berlaku hukum sebaliknya, contoh firman Allah surat an-Nisa’ : 25


Artinya : Dan barangsiapa diantara kamu yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki.

Apa yang tersurat dari ayat ini adalah bolehnya menikahi hamba sahaya yang mukmin bila tidak mampu menikahi perempuan merdeka yang mukmin, mafhum mukhalafah dari ayat tersebut adalah tidak boleh menikah dengan hamba sahaya yang tidak mukmin.

2. Mafhum Syarat (مفهم الشرط )
Yaitu penunjukan hukum pada suatu lafadz yang berkaitan dengan suatu syarat tertentu, atau dengan kata lain bila syarat terpenuhi maka berlaku hukum, tapi apabila syarat tidak terpenuhi maka akan berlaku hukum sebaliknya. contoh firman Allah surat at-Thalaq 6

Artinya : dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka melahirkan.

Manthuq dari nash di atas menunjukan wajibnya memberi nafkah kepada istri yang telah dicerai dengan syarat dalam keadaan hamil, mafhum mukhallafah dari ayat di atas adalah tidak wajib memberi nafkah kepada istri yang dicerai bila tidak dalam keadaan hamil.
3. Mafhum al-Ghoyah (مفهم الغاية )
Yaitu penunjukan hukum yang berlaku sesuai batas dengan batas tertentu, sehingga bila waktu habis maka berlaku hukum sebaliknya. Dengan kata lain jika waktu yang ditentukan masih berlaku maka hukum juga berlaku sebagaimana lafadz, tetapi bila waktu telah habis maka hukum berlaku sebaliknya
Contoh firman Allah surat al-Baqarah : 230

Artinya : Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.

Lafadz ini menunjukan tidak bolehnya menikahi isteri yang telah di thalaq bain hingga ia di nikahi oleh laki-laki lain,
Akan tetapi mafhum ghayah dari ayat ini yaitu bila istri itu telah dinikahi oleh laki-laki lain dan telah dicerai, maka setelah masa iddahnya selesai boleh menikahi wanita itu kembali.


4. Mafhum al-Adad (مفهم العدد )
Yaitu penunjukan sautu lafadz yang mejelaskan berlakunya hukum dengan bilangan tertentu.
Contoh dalam firman Allah surat al-Nur : 2


Artinya : Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.

Manthuq dari lafadz di atas menunjukan bahwa pelaku zina laki/perempuan, maka harus di dera 100 kali cambukan, mafhum adad dari lafadz tersebut adalah tidak syah sanksi dera jika kurang atau lebih dari 100 cambukan.
5. Mafhum al-Laqab (مفهم اللقب )
Yaitu penunjukan suatu lafadz yang menjelaskan berlakunya hukum untuk suatu nama atau sebutan tertentu, kebalikan dari hal itu adalah tidak berlakunya hukum untuk selain nama yang tersebut.
Suatu contoh ucapan “ Muhammad adalah utusan Allah” manthuq dari lafadz itu adalah bahwa utusan Allah hanya berlaku pada Muhammad bin Abdullah bin abdul muthallib. Dan tidak berlaku pada nama selain itu.

Syarat berhujjah dengan mafhum mukhallafah

Ulama yang memperbolehkan berhujjah dengan mafhum mukhallah mengemukakan beberapa syarat dalam menggunakan mafhum mukhallah sebagai hujjah, adapun syarat sebagai berikut :
1. Mafhum mukhallafah itu tidak boleh bertentangan dengan dalil manthuq atau mafhum muwafaqah, karena keduanya lebih kuat untuk digunakan dalam istidlal-nya.
Contoh yang berlawanan dengan manthuq firman Allah QS al-Isra’ 31

Artinya : Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu Karena takut kemiskinan.

Mafhumnya, kalau bukan karena takut kemiskinan di¬bunuh, tetapi mafhum mukhalafah ini berlawanan dengan dalil manthuq, ialah:
Firman Allah yang berbunyi :
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَق
Artinya : “Jangan kamu membunuh manusia yang dilarang Allah kecuali dengan kebenaran (Q.S Isra’ ayat 33)”

2. Yang disebutkan (manthuq) bukan suatu hal yang biasanya terjadi. Contoh dalam al-Quran surat an Nisa’ 23

Artinya : anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri

Secara tersurat (mantuq) ayat di atas menerangkan bahwa anak tiri yang ikut dipelihara bersama tidak boleh dinikah. Itu berarti dapat difahami secara berbeda (mukhalafah) bahwa "anak tiri yang tidak dipelihara bersama boleh dinikahi". Pemahaman berbeda seperti ini tidak diperbolehkan sebab Allah mengatakan "yang kamu pelihara" hanya berlaku pada umumnya dimana anak tiri biasanya dipelihara ayah tiri karena mengikuti ibunya
3. Lafadz yang disebutkan (manthuq) bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan. Contoh sabda Nabi
حدثنا أبو نعيم حدثنا زكرياء عن عامر قال سمعت عبد الله بن عمرو يقول : قال النبي صلى الله عليه و سلم المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده (رواه البحارى)
Artinya : “Seorang muslim ialah orang yang mana muslim lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya". (HR. Bukhari)

Secara tersurat bahwa seorang muslim tidak diperbolehkan menyakiti "muslim" lainnya baik dengan lisan maupun tanganya. Dari mantuq tersebut tidak diperbolehkan mengambil hukum berdasarkan kefahaman berbeda (mafhum mukhalafah) yaitu "diperbolehkan mengganggu orang bukan muslim". Sebab perkataan "muslimun" hanya sebagai penguat bahwa sesama orang muslim seharusnya lebih manjalin kerukunan.

4. Dalil yang di sebutkan harus berdiri sendiri tidak boleh mengikuti lain. Seperti contoh firman Allah dalam Al-Baqarah;187:
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِد
Artinya : “Janganlah kamu campuri mereka (isteri-isterimu) padahal kamu sedang beritikaf di mesjid”. (Q.S Al-Baqarah ayat 187)

Dalil di atas tidak boleh dipahamkan, kalau tidak beritikaf dimasjid, boleh mencampuri istrinya. Sebab dia dalam keadaan berpuasa, baik dalam keadaan iktikaf atau tidak tetap tidak diperbolehkan mencampuri istrinya.


BAB III
PENU TUP
A. Kesimpulan

Pada dasarnya kajian dilalah (petunjuk) dalam ilmu ushul fiqh adalah kajian teks yang bersumber dari al-Qu’an dan hadits, kajian ini dimaksudkan untuk menemukan maksud yang sebenarnya dari teks, baik yang tersurat maupun yang tersirat.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan bahasa yang nantinya dikaji dan ditinjau relasi antara lafadz dan makna sesuai dengan kaidah bahasa arab dan pendekatan lainnya dengan pendekatan syara’.
Penunjukkan lafadz menurut Ulama hanafiah terbagi menjadi empat macam: ibarah nash, isyarah nash, dilalah nash, dan iqtidha nash. Apabila dua yang pertama berusaha menemukan maksud pembicara baik yang tersurat (ibarah) maupun yang tersirat (isyarah) dari makna secara langsung, maka dua yang terakhir berusaha menemukan tujuan syar’i yang tidak tertulis dalam teks baik melalui perluasan makna teks (dilalah nash) maupun penyisipan (iqtidha).
Adapun penunjukkan lafadz menurut Ulama mutakallimin dibagi menjadi dua: mantuq dan mafhum. Yakni berusaha menemukan maksud pembicara baik yang tersurat (manthuq) maupun yang tersirat (mafhum).

B. Saran

Penulis yaqin Bahwa dalam penulisan ini terdapat banyak kekurangan bahkan kesalahan, oleh karenanya kepada pembaca yang budiman, penulis berharap kritik dan saran yang membangun dalam rangka penyempurnaan penulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Dr. Wahbah Zuhaili, Ushul fiqh al-Islami, Darl fikr, dimsiq, 1986
Abdul Wahab Khalaf. ‘Ilm Ushul al-Fiqh. ; darul hadits,2003 Cet. I
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, Jakarta ; PT. Logos Wacana Ilmu, 2005, Cet. II
Abdul Aziz Dahlan (Edit), 2000, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta ; PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, cet VI
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir kamus arab indonesia, Pustaka Progresif, Surabaya, 2002
Shohih Bukhori, juz 5 (MAKTABAH SYAMILAH)

No comments:

Post a Comment