Saturday 2 October 2010

wahdatul wujud

Antara Wahdatulwujud dan Tasawuf Falsafi
ANTARA 'WAHDATUL WUJUD' DAN 'TASAWUF FALSAFI'
Manunggaling Kawulo Gusti adalah ungkapan yang sempat membuat geger di zaman Wali Songo, Syekh Siti Jenar divonis mati oleh para Wali gara-gara ungkapannya itu, mereka menilai bahwa Siti Jenar telah keluar dari Islam karena mempunyai keyakinan yang dikenal dengan istilah Wahdatul Wujud. Kejadian seperti ini pernah terjadi pada al-Hallaj yang dipancung gara-gara ucapannya ”Ana al-Haq”. Syahrawardi , penggagas filsafat aliran isyraq juga tidak lepas dari vonis mati gara-gara pemikirannya yang dinilai telah mengarah pada konsep Wahdatul Wujud.
Wahdatul Wujud adalah sebuah ajaran yang meyakini penyatuan wujudnya Tuhan dengan wujud makhluk, aliran ini berkeyakinan bahwa wujud Allah dan makhluknya satu, istilah lain dari kesatuan wujud adalah hulul hanya saja kerangkanya agak berbeda namun pada subtansinya sama. Ajaran ini dinisbatkan pada beberapa sufi terkenal seperti Muhyyidin Ibn Arabi, Umar Ibn al-Farid, al-Hallaj dan Abu Yazid al-Busthami, bahkan Imam al-Ghazali dan al-Junaid tidak lepas dari tuduhan bahwa keduanya juga mendukung dan mengiyakan ajaran ini.
Beberapa waktu yang lalu penulis sempat berdialog dengan seorang pemuda asal Indonesia yang mengujungi Tarim dalam rangka menyelesaikan tesisnya, penulis sempat tercengang ketika pemuda intelek ini berkata ”saya Tasawuf Amali atau Tasawuf Sunni namun saya ingin belajar banyak tentang Tasawuf Falsafi, yaitu ajaran pemikiran tasawuf yang membenarkan ajaran Wahdatul Wujud, Imam Ghazali sendiri dalam kitab Misykat al-Anwar juga mensuport ajaran ini, bahkan tidak sedikit dari tokoh Thariqah Alawiyah yang mengikuti ajaran ini”.
Ini bukan satu-satunya pemuda yang mempunyai jalan fikiran seperti itu, di Indonesia tidak sedikit para pemuda yang menelan mentah-mentah ajaran ini tanpa mengkajinya secara detail. Embel-embel intelektual, filsafat dan pemikiran lebih berpengaruh pada sebagian pelajar atau mahasiswa dibandingkan hasil kajiannya sendiri. Disinilah penulis akan mencoba mengkaji hakekat konsep Wahdatul Wujud dengan arti kesatuan wujud dan hubungannya dengan filsafat.
Tasawuf Falsafi ???
Wahdatul Wujud menurut sebagian orang adalah subtansi dari ajaran Tasawuf Falsafi, padahal istilah Wahdatul Wujud dan istilah filsafat adalah dua istilah yang kontradiksi, tidak seorangpun dari para Filusuf baik itu yang sufi ataupun yang bukan, yang mengatakan adanya Wahdatul Wujud, para filusuf modern dan filusuf klasikpun tidak ada yang membenarkan ajaran ini. Karena para filusuf adalah orang yang sangat getol dalam menjauhkan Dzat Tuhan dari hal-hal yang bersifat materi dan yang mendekati materi, dan oleh sebab itulah Imam Ghazali menganggap Aristoteles kafir, Aristoteles berlebihan dalam menjauhkan Tuhan dari materi. Dia berpendapat bahwa Tuhan itu hanya mengetahui sesuatu secara global (Kulliyat), Tuhan tidak mengetahi sesuatu secara terperinci (Juz’iyat), karena juziyat itu selalu berubah dan apabila Tuhan mengetahuinya maka pengetahuan Tuhan itu juga berubah. Aristoteles juga berkata bahwa Allah itu sama sekali tidak berhubungan dengan alam dan bahkan tidak mendekatinya karena Allah itu Mutlak (Absolut) dan alam terbatas, sedangkan suatu yang absolut tidak mungkin disatukan .
Filsafat sendiri tidak jauh berbeda dengan ajaran tasawuf, yaitu mencari hakekat kebenaran dan sampai pada puncak ma’rifah, dan hal ini tentu tidakhanya dicapai dengan pemikiran belaka, namun harus dengan Riadhoh dan menjauhi hal-hal yang bersifat materi, meski dalam dunia filsafat ada aliran filsafat Hegel yang dikenal dengan Filsafat Dialektika. kemudian timbul sebuah sekte baru dalam aliran ini yang disebut dengan aliran Dialektika Matrealism yang terkesan merasionalkan materi, namun aliran ini sangat rapuh dalam konsep pemikirannya, DR. Muhammad Said Ramadhan al-Bhuti telah mematahkan pemikiran ini dalam bukunya Naqd al-Jadaliyah. Penulis tidak sedang membicarakan masalah ini, namun penulis hanya ingin menjelaskan bahwa definisi filasafat menurut para pakar filsafat klasik itu sendiri tidak jauh berbeda dengan definisi tasawuf menurut para ’Arifin. Sehingga pembaca bisa faham bahwa konsep Tasawuf Falsafi yang selama ini dikenal sebagai kerangka dari pemikiran Wahdatul Wujud sama sekali jauh dari realitas ilmiah.
Berikut ini adalah definisi menurut filusuf klasik Plato. Menurutnya filsafat adalah berakhlak dengan akhlak Allah SWT., kata-kata ini sama dengan definisi tasawuf menurut kebanyakan Sufi. Selanjutnya Plato berkata ”pemilik jiwa falsafi (fitrah falsafi) adalah orang-orang yang yang haus dengan berbagai macam ilmu pengetahuan untuk mengetahui hakekat wujud yang kekal, wujud yang tidak berubah dengan perputaran waktu dan kondisi, mereka sangat merindukan hakekat wujud yang abadi ini, mereka tidak rela dengan pengganti apapun” Plato juga berkata ”para filusuf terjaga dan tidak dikotori oleh sifat tamak, karena mereka adalah penghuni bumi yang paling menjauhkan diri dari hal-hal yang membawa pada cinta harta” begitulah komentar Plato tentang filsafat dan membawa pada cinta harta” begitulah komentar Plato tentang filsafat dan filusuf, dimana kita juga akan menemukan definisi yang sama tentang tasawuf dalam dunia sufi. Lantas dari mana pemikiran bahwa Tasawuf Falsafi adalah tasawuf yang menganut faham Wahdatul Wujud? Dan kalau memang arti tasawuf dan filsafat tidak jauh berbeda maka istilah Tasawuf Falsafi adalah istilah kabur yang menimbulkan 'Tahsilul Hasil'.
Tidak sedikit dari para pemikir yang berpendapat bahwa banyak dari kalangan kaum sufi yang mempunyai jiwa filusufis seperti pendapat Abul Wafa al-Ghunaimi yang berkata ”tasawuf keagamaan kadangkala beraduk dengan filsafat sebagaimana keadaan sebagian rohaniyin nasrani dan para sufi muslim” selanjutnya dia berkata ”para tokoh filsafat sejak dahulu sangat membutuhkan pada masing-masing dari ilmu pengetahuan dan tasawuf, karena jiwa sufiah itulah yang menjadi sumber ilham paling agung terhadap manusia” kemudian dia menyebutkan beberapa tokoh filsafat seperti Herceltees, Plato dan Barmendis. Dari sini istilah Tasawuf Falsafi perlu dikaji kembali, baik dengan arti Wahdatul Wujud atau dengan arti hikmah dan isyraq.
Wahdatus Syuhud bukan Wahdatul Wujud
Wahdatul Wujud dengan arti Falsafi adalah meyakini adanya Allah dan wujudnya makhluk satu, disitu bila ada pencipta maka suatu yang diciptakan juga ada, dengan arti, wujudnya makhluk adalah bagian dari wujudnya Khaliq (Pencipta), karena apabila yang wujud itu hanya Pencipta saja tanpa adanya yang diciptakan maka wujudnya Pencipta tadi tidak sempurna. Falsafah semacam ini memberi pengertian bahwa wujudnya makhluk itu Qodim (terdahulu), sebab kalau memang wujudnya makhluk itu sama dengan wujudnya Allah maka disaat Dzat-Nya Allah Qodim maka dzatnya makhluk juga qodim. Dan hal ini tidak bisa diterima oleh akal dan tidak dapat dicerna oleh logika ilmiah.
Pemikiran yang logis dalam masalah ini adalah kita mengetahui bahwa wujud yang sesungguhnya hanyalah wujudnya Dzat Allah, kemudian dengan kehendak dan kekuasaan-Nya, Allah menciptakan dunia dan seisinya ini wujud sesuai batasan dan ukurannya, jadi wujud yang Azali dan Qadim itu hanya wujud-Nya Allah, sedangkan wujudnya makhluk itu hanya sekadar wujud Majazi yang oleh ulama diistilahkan dengan wujud Dzilli (bayangan) atau Tabi’i. Bayangan itu mempunyai wujud tersendiri dari benda aslinya hanya saja kalau benda itu tiada maka bayangan itu tiada, jadi wujudnya bayangan itu adalah buah atau hasil dari benda itu. Contoh lebih jelasnya ibarat seseorang yang memegang anaknya yang masih kecil agar bisa berdiri di telapak kakinya, berdirinya anak tadi tentu bukan berdirinya si bapak akan tetapi kekuatan dia berdiri berasal dari kekauatan bapaknya, begitu pula dahan dan ranting pepohonan dengan batang dan akarnya, jelas wujudnya ranting bukan wujudnya batang akan tetapi wujudnya ranting tadi berasal dari wujudnya batang.
Adapun yang dimaksud wahdatul wujud menurut para sufi itu adalah istilah lain dari wahdatu shuhud, yaitu tidak memandang sesuatu selain Allah dan itulah puncak dari tawakkal dan tsiqah seseorang pada Allah, dia tidak mengharap kecuali pada Allah dan dia tidak takut kecuali pada Allah, dia menganggap bahwa Allahlah yang wujud sedangkan wujud selain Allah adalah wujud yang fatamorgana. Hal ini sama dengan kata-kata labib yang dibenarkan oleh Rasulullah SAW. Adakalanya sebagian sufi mengartikan wahdatul wujud atau wahdatu syuhud dengan arti penyatuan cinta antara muhib dan mahbub, sehingga yang ada dalam benaknya hanya sang kekasih, sang pecinta tidak mengenal apapun selain kekasihnya termasuk dirinya sendiri seperti yang terjadi dalam kisah cinta abadi Laila Majnun, disaat seseorang memanggil nama Qais dia tidak menghiraukannya dan bahkan dia berkata ”aku laila”. Begitupula seorang hamba yang hatinya diliputi oleh rasa cinta pada sang pencipta maka dia lupa pada segala sesuatu termasuk dirinya sendiri, itulah yang dalam istilah tasawuf disebut Fana’. Dan hal ini bukan dalam kekuasaan akal, akan tetapi dapat dirasakan oleh jiwa atau ruh. Inilah yang oleh Imam al-Ghazali disitilahkan dengan ilmu Dzauq.
Bersama al-Ghazali dan al-Hallaj.
Akan tetapi kadang masih ada pertanyaan kenapa al-Hallaj dipancung? Dan Imam Abu Hamid al-Ghazali sendiri sebagai tokoh tasawuf sunni malah terkesan mengamini ajaran wahdaul wujud dengan arti falsafi tadi?
Al-Hallaj sebagaimana kebanyakan para sufi telah menjadi tumpuhan masyarakat, ketulusannya membuat orang-orang banyak yang simpati. Sedangkan sikap politik al-Hallaj waktu itu sebagaimana para sufi lainnya lebih cendrung pada Ahlu Bait. Dan Ahlu Bait sendiri waktu itu sedang berusaha melakukan aksi politik terhadap penguasa dinasti Abbasiah. Hal itulah yang membuat al-Hallaj harus disingkirkan menurut pandangan para penguasa, sebab pengaruh al-Hallaj telah mengancam kekuasaannya. Itulah yang memotivasi dipancungnya al-Hallaj.
Dari kata-kata al-Hallaj sendiri sangat jelas masalah itu, disaat beliau dihadapkan pada hakim dengan tuduhan akidahnya yang wahdatul wujud beliau menjawab ”apakah kalian masih mau mendebatku tentang Allah dan dijubbah ini tidak ada selain Allah?!!!” beliau juga berkata ” sesembahan kalian berada dibawah telapak kakiku”, dengan kata-kata ini al-Hallaj bermaksud untuk mengejek mereka yang menjadi budak serta hamba penguasa.
Sedangkan Imam al-Ghazali yang dituduh beraliran Wahdatul Wujud gara-gara kata-katanya dalam kitab Misykat al-Anwar ” tidak ada wujud hakiki selain Allah dan sesuatu itu berasal dari Allah” ”alam wujud ini tidak ada selain Allah dan atsar-nya (bekasnya), dan dunia ini semuanya dari atsar-nya” itulah kata-kata Imam al-Ghazali yang dianggap bahwa dia telah mengamini ajaran Wahdatul Wujud, padahal dalam kitab itu sendiri beliau dengan jelas menafikan ajaran Wahdatul Wujud secara falsafi, beliau berkata dalam kitab tersebut ”Allah bersama sesuatu itu sama dengan cahaya bersama sesuatu” beliau juga berkata ”Allah itu bersama sesuatu, sebelum sesuatu, diatas segala sesuatu dan madzhar dari segala sesuatu” kata-kata al-Ghazali ini jelas bertentangan dengan logika ajaran Wahdatul Wujud.
Kesimpulan
Ajaran Wahdatul Wujud dengan arti falsafi yang pernah digembar-gemborkan para filusuf klasik kemudian diangkat kembali oleh Saren Carecajored dengan madzhab wujudinya di Barat sama sekali tidak ada hubungannya dengan tasawuf. Dan kata-kata sebagian para tokoh tasawuf yang mereka katakan dalam keadaan mengalami ekstase juga tidak bisa diambil dari dhahir kata-kata mereka. Oleh sebab itulah Dr. Abdul Halim Mahmud berkata, akal tidak bisa menerima disaat seorang insinyur berbicara masalah sastra sebagaiamana seorang sastrawan menghukumi para insinyur, begitu pula sangat tidak logis seseorang yang masih belum mencapai derajat al-Hallaj, Ibnu Arabi, dan Ibnu Farid kemudian memvonis yang bukan-bukan pada mereka. Wallahu a’lam.
http://zakimtp.blogspot.com/2008/06/antara-wahdatulwujud-dan-tasawuf.html
METAFISIKA WAHDATUL WUJUD
Posted in METAFISIKA WAHDATUL WUJUD with tags ah hallaj, kesatuan tuhan, metafisika islam, mulla sadra, siti jenar, wahdatul wujud on 24 May 2009 by wongalus
PROBLEM seputar masalah YANG ADA merupakan problem yang berat. Artikel ini bersandar pada teori YANG ADA dari khasanah Metafisika Islam yaitu Mulla Sadra. Meskipun pendek, diharapkan agar bisa menjadi titik pijak untuk memahami metafisika KESATUAN TUHAN atau WAHDATUL WUJUD yang terkenal dengan tokoh-tokoh sufinya seperti Al Hallaj maupun Syeh Siti Jenar.
Dasar dari Filsafat adalah Metafisika. Metafisika dibagi menjadi METAFISIKA UMUM disebut dengan ONTOLOGI, dan METAFISIKA KHUSUS yang terdiri dari KOSMOLOGI, FILSAFAT MANUSIA atau ANTROPOLOGI METAFISIK dan FILSAFAT KETUHANAN atau TEODICEA.
Di antara tema-tema METAFISIKA UMUM yang paling banyak melahirkan kontroversi adalah problema YANG ADA. Sebab hakikatnya terasa ribet dan ruwet. Hal ini lantaran YANG ADA merupakan sesuatu yang repot bila didefinisikan, mengingat untuk mendefinisikan suatu objek, kita butuh sesuatu yang lain yang lebih jelas dari objek itu sendiri. Sementara YANG ADA itu adalah obyek sekaligus juga subyek karena kita ada didalam YANG ADA.
Menurut para filsuf, konsepsi YANG ADA sedemikian terangnya, sehingga ia persis menyerupai matahari. Dan karena sedemikian terangnya, ia tak mungkin bisa dilihat manusia. Demikianlah YANG ADA. Begitu jelasnya YANG ADA, maka ia tak mungkin bisa didefinisikan lewat genus dan diferensia, yang secara otomatis berarti harus lebih terang ketimbang YANG ADA itu sendiri.
Secara historis, tema YANG ADA menjadi tema fundamental metafisika yang didiskusikan oleh hampir seluruh filsuf klasik sejak Thales di era Yunani Kuno sampai Josiah Royce di era Modern. Namun harus digarisbawahi di sini bahwa mereka masih sekadar menempatkan problematika YANG ADA sebagai bagian dari tema-tema universalitas saja, sama seperti masalah-masalah universalitas yang lain seperti problematika substansi dan aksidensi, unitas dan pluralitas, dan sebagainya.
Sejak kehadiran Mulla sadra, lahirlah mazhab filsafat EKSISTENSIalisme dalam komunitas Muslim. Namun, EKSISTENSIalisme Sadra sangat berbeda dengan mazhab EKSISTENSIalisme seperti Kierkegaard, Jean Paul Sartre, atau Heidegger.
EKSISTENSIalisme Islam adalah sebuah mazhab filsafat metafisis yang murni. Tujuan utamanya adalah ingin mencari tahu dan bahkan ingin sampai kepada YANG ADA SEBAGAIMANA YANG ADA yang sebenarnya (the Ultimate Reality). Dengan demikian, nuansa metafisika YANG ADA dalam Islam lebih bersifat teistik bahkan sufistik; sementara aliran filsafat EKSISTENSIalisme barat sebagiannya condong pada ATEISME.
Untuk bisa memahami metafisika YANG ADA, ada baiknya kita batasi pembahasan hanya pada teori Mulla Sadra tentang YANG ADA. Konsep Sadra berdiri di atas tiga prinsip dasar yang sangat fundamental. Dengan memahami ketiga prinsip ini, diharapkan kita akan dengan mudah memahami teori-teori filsafatnya yang lain, baik yang berkaitan dengan kosmologi, epistimologi, dan bahkan teologinya. Ketiga prinsip tersebut adalah sebagai berikut: WAHDATUL WUJUD (KESATUAN YANG ADA), TASYKIKUL WUJUD dan ASALATUL WUJUD. Kita akan mengelaborasi ketiga prinsip ini secara sederhana.
Secara historis, teori WAHDATUL WUJUD pada mulanya adalah teori yang disusun Ibnu Arabi. Ia lebih bernuansa sufistik ketimbang filsafat. Banyak penafsiran telah diberikan tentang teori ini, dari yang sangat ekstrem sampai moderat. Mungkin yang paling ekstrem adalah Ibnu Sab’in yang menyatakan bahwa hanya TUHAN YANG EKSIS sementara selain Tuhan tak ada yang eksis. Ada lagi yang ekstrem yang menyatakan bahwa SELURUH YANG BERWUJUD SELAIN TUHAN HANYALAH TAJALLIYAT (MANIFESTASI) DARI ASMA’ DAN SIFAT-SIFAT TUHAN.
Namun Sadra melihat bahwa YANG ADA SEBAGAI YANG ADA meskipun SATU, namun ia memiliki intensitas yang membentang dari yang nama YANG ADA. Sifat YANG ADA-nya TUHAN MUTLAK, sementara yang ada lain hanya bersifat YANG ADA DALAM KEMUNGKINAN. Ia persis seperti matahari dan sinarnya. Matahari tentu berbeda dengan sinarnya. Namun dalam masa yang sama, sinar matahari tiada lain adalah matahari itu sendiri. YANG HARUS ADA berbeda dengan YANG MUNGKIN ADA.
Teori WAHDATUL WUJUD sebagai teori tentang YANG ADA menekankan pada KESATUAN YANG ADA yang hadir pada segala sesuatu. Tuhan MEMILIKI SIFAT YANG ADA, begitu juga dengan manusia, benda-benda mati. Apakah YANG ADA setiap satu dari mereka sifatnya berdiri sendiri (self-subsistence) atau justru ADA KARENA ADANYA YANG LAIN. Lalu kalau pilihannya adalah yang kedua, apa beda antara YANG ADA-NYA TUHAN dengan YANG ADA selainnya? Lalu bagaimana mungkin kita bisa membayangkan bahwa YANG ADA itu SATU, sementara di dunia YANG ADA kita menemukan entitas-entitas yang sepertinya berdiri sendiri. Lalu berapa jumlah YANG ADA?
Persoalan itu dalam metafisika dikenal dengan istilah problem antara YANG SATU DAN YANG BANYAK. Pertama, ada yang disebut dengan istilah composite existence dimana keberadaan entitas tersebut bergantung pada unsur-unsur pokoknya. Segala sesuatu yang termasuk dalam kategori ini maka YANG ADAnya pasti akan terbatas.
Kedua, the Simple Existent, di mana jenis YANG ADAnya tak pernah bergantung pada unsur-unsur. Karenanya ia tidak pernah terbatas. YANG ADA ini hanya milik TUHAN saja di mana YANG ADANYA merupakan WUJUD-Nya itu sendiri. Simplifikasi jenis YANG ADA TUHAN ini disebut Sadra dengan istilah basitul haqiqah kullu syaiy (bahwa YANG ADA yang bersifat sederhana adalah YANG ADA yang mencakup seluruh entitas yang disebut “sesuatu”.) Karenanya mengikut formula ini, YANG ADA manusia adalah bagian inheren dari YANG ADA TUHAN.
Prinsip WAHDATUL -WUJUD atau KESATUAN YANG ADA dalam filsafat Sadra ini yang melihat KESATUAN YANG ADA terbentang lebar pada segala apa yang disebut sebagai YANG ADA INDIVIDUAL sampai YANG MUNGKIN ADA yang beraneka ragam dan bervariasi, sehingga YANG ADA memiliki sistematisasi.
Menurut aliran filsafat ESENSIALISME, ESENSI tak mengalami perubahan. Yang berubah adalah instansi-instansi partikularnya. Ketika warna putih mengalami intensifikasi warna, itu berarti bahwa warna dahulu hilang dan lahir warna baru yang menggantikannya.
Sadra menolak teori ini. Mereka melihat bahwa suatu ESENSI tidak pernah mengalami perubahan. Suatu ESENSI bisa saja memiliki wilayah intensitas yang tak terbatas. Ketika warna putih mengalami intensifikasi, bukan hanya ke-putih-annya yang tetap, bahkan “putih”nya juga tetap. Jadi semua yang disebut ESENSI memiliki kapabilitas untuk menjadi “more or less”: semua manusia bisa jadi “lebih” atau “kurang” manusia dari manusia lain. “Manusia” dan “kemanusiaan” Muhammad saw lebih sempurna dari manusia dan kemanusiaan kita.
Ini adalah teori “MORE PERFECT AND LESS PERFECT” yang kemudian dimodifikasi oleh Sadra. Pertama, prinsip ambiguitas ini dirubahnya dari ambiguitas ESENSI menjadi ambiguitas dalam EKSISTENSI. Dengan kata lain, yang mengalami graditas bukan ESENSI, tapi justru EKSISTENSInya. Kedua, teori ambiguitas EKSISTENSI ini juga terjadi secara sistematis bukan sekadar ambiguitas. Itu berarti, EKSISTENSI adalah sama bagi seluruh EKSISTENSI, seperti EKSISTENSI Tuhan yang wajib dan makhluk yang mungkin, adalah sama apabila dilihat dari sisi predikat EKSISTENSInya.
Meskipun predikat EKSISTENSI di atas sama namun setiap EKSISTENSI tetap memiliki keunikannya tersendiri yang memisahkannya dari yang lain. Seluruh bentuk EKSISTENSI yang lebih tinggi pasti mengandung bentuk EKSISTENSI yang lebih rendah bahwa EKSISTENSI yang sederhana pasti mencakup secara inheren segala EKSISTENSI yang berada di level bawahnya.
Dengan dasar prinsip di atas KESATUAN YANG ADA terpelihara pada semua EKSISTENSI; namun keragamannya juga terpelihara. Ketika dua prinsip di atas tak terbantahkan secara common sense, maka lahirnya prinsip YANG ADA adalah sesuatu yang aksiomatis. YANG ADA berarti bahwa YANG ADA adalah prinsip dari segala wujud yang ada. Lawan darinya adalah prinsip bahwa YANG ADA sekadar asumsi akal. Perbedaan kedua prinsip ini secara historis telah lahir jauh sebelum munculnya Sadra, seperti yang dapat kita simak dari teori-teori Farabi, Ibnu Sina, bahkan Aristoteles.
Sesuatu memerlukan YANG ADA agar ia bisa eksis. Tanpa YANG ADA, suatu hal tidak akan pernah bisa berEKSISTENSI, suatu YANG ADA tidak akan bisa memperoleh partikularisasinya di dunia YANG ADA. Teori dualitas antara YANG ADA ini kemudian ditolak secara tegas oleh pekikir Islam lain, Suhrawardi. Menurut Suhrawardi, apa yang kita lihat sebagai EKSISTENSI di dunia YANG ADA adalah YANG ADA itu sendiri. Sebab, apabila kita terima teori itu, maka YANG ADA itu sendiri akan memerlukan YANG ADA lain yang bisa memberinya EKSISTENSI; demikianlah seterusnya sehingga ia tak akan berakhir atau mengalami regresi yang infinitum.
Lebih jauh ia mengatakan bahwa suatu YANG ADA yang konkrit tiada lain adalah sebuah fakta bahwa itu adalah YANG ADA itu sendiri. Sehingga kalimat YANG ADA tiada lain kecuali abstraksi akal semata-mata.
Sadra yang EKSISTENSIALIS dan yang berusaha maksimum untuk mensintesiskan kedua aliran ini menolak pendapat Suhrawardi. Baginya yang riil adalah YANG ADA, sementara ESENSI adalah abstraksi mental semata-mata. YANG ADA bukan hanya lebih prinsipiil atau sekadar fondasi bagi seluruh YANG ADA, namun ia adalah YANG ADA itu sendiri. Sebab sifat YANG ADA yang paling fundamental yakni SEDERHANA dan berkarakter MENYEBAR ke dalam seluruh celah-celah apa yang disebut sebagai EKSISTENSI.
Dan EKSISTENSI yang ada di hadapan kita tidak lebih pembatasan-pembatasan yang mempartikulasikan bentangan YANG ADA itu sendiri. Ketika kita melihat di dunia YANG ADA ini ADA, misalnya, kursi, meja, si Amir, kuda, dan sebagainya, maka entitas-entitas itu “membelah” dari bentangan YANG ADA.
Akhirnya, secara teologis, konsep YANG ADA dari Mulla Sadra di atas mengajak kita memahami makna the ULTIMATE REALITY di mana ADA-NYA TUHAN memiliki sifat partikular juga menyatu dalam maknanya yang sangat unik. Meskipun WAHDATUL WUJUD atau YANG ADA ITU MENYATU namun tidak terjebak pada teori PANTEISME, karena YANG ADA entitas-entitas selain-Nya juga tetap terpelihara. Itulah yang dimaksudkan firman Allah “AKU LEBIH DEKAT DENGANMU DARIPADA DIRIMU SENDIRI.”
http://wongalus.wordpress.com/category/metafisika-wahdatul-wujud/
Wahdatul Wujud
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Wahdatul Wujud mempunyai pengertian secara awam yaitu; bersatunya Tuhan dengan manusia yang telah mencapai hakiki atau dipercaya telah suci. Pengertian sebenarnya adalah merupakan penggambaran bahwa Tuhan-lah yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Allah adalah sang Khalik, Dia-lah yang telah menciptakan manusia, Dia-lah Tuhan dan kita adalah bayangannya. Dari pengertian yang hampir sama, terdapat pula kepercayaan selain wahdatul wujud. Yaitu Wahdatul Syuhud. Pengertiannya yaitu; Kita dan semuanya adalah bagian dari dzat Allah.
Jadi keduanya berpengertian, kita dapat bersatu dengan dzat Allah. Dalam penggambaran karya-karya suluk di jawa yang berisi mengkritik ajaran para wali sembilan, misalnya suluk karya Syekh Siti Jenar (contoh lainnya adalah serat gatholokoco, dinamakan serat karena penulis suluk ini, Gatholokoco berpendapat bahwa suluk lebih cenderung ke islam), manusia dianggap memiliki 20 sifat-sifat Allah. Contohnya di antaranya; dzat Allah terdapat pada diri kita, jadi kita tidak perlu salat karena dzat Allah sudah ada pada diri kita (Jawa: Islam Abangan). Hal-hal tersebut di atas dianggap sangat bertentangan dengan syariat islam menurut pengertian umum, dan Syekh Siti Jenar dihukum oleh para wali sembilan. (Sejarah Syekh Siti Jenar tidak terlalu jelas).
Wahdatul Wujud sebenarnya adalah suatu ilmu yang tidak disebarluaskan ke orang awam. Sekalipun demikian, para wali-lah yang mencetuskan hal tersebut. Karena sangat dikhawatirkan apabila ilmu wahdatul wujud disebarluaskan akan menimbulkan fitnah dan orang awam akan salah menerimanya. Wali yang mencetuskan tersebut contohnya adalah Al Hallaj dan Ibn Arabi. Meskipun demikian, para wali tersebut tidak pernah mengatakan dirinya adalah tuhan. Dan mereka tetap dikenal sebagai ulama alim.
Dalam dunia tasawuf, sering terdapat perbedaan antara ilmu syariat dan ilmu ma'rifat. Sebagai orang islam tentu saja diharuskan menguasai ilmu syariat. Dan ilmu ma'rifat atau ilmu tashawuf dengan kata lain ilmu hikmah, sangat ditekankan untuk mengambil sebuah hikmah. Hal tersebut telah diabadikan oleh Allah dalam Al-Qur'an Surat Al Kahfi tentang pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir. Hal tersebut menunjukan Ilmu Syariat yang dikuasai Nabi Musa dari kitabnya (Taurat) dan Nabi Khidir yang mendapatkan langsung ilmunya dari petunjuk Allah yang penuh hikmah atau ilmu ma'rifat.
Dalam penggambaran awal tersebut sudah ditunjukan betapa susahnya memahami ilmu ma'rifat dengan ilmu syariat. Penggambarannya adalah seperti pertemuan antara daratan dan lautan. Dimana Musa diberitahukan, ia akan menemukan orang yang lebih pandai darinya disaat ikan yang dibawanya hilang. Ikan mati tersebut hidup kembali di suatu tempat ketika Nabi Musa dan pembantunya beristirahat. Hal itu merupakan penggambaran ilmu yang sangat susah sekali dimana ikan mati dapat hidup kembali, seperti Nabi Musa yang tidak dapat bersabar melihat perilaku Nabi Khidir yang dilihat secara syariat sangat bertentangan. Tetapi hal tersebut dilakukan Nabi Khidir dari petunjuk Allah yang penuh dengan hikmah. Jadi tentu saja hal-hal ma'rifat hanya dapat dipahami secara pribadi bagi orang yang diturunkan kepadanya secara langsung.
Meskipun ilmu ma'rifat terlihat sangat bertentangan dengan ilmu syariat, tetapi sebenarnya tidak. Jadi ilmu tersebut dapat dikatakan ilmu tinggi yang digali dari perjalanan pikir para wali dan tidak untuk disebarluaskan. Hal tersebut seperti terjadi pada Syekh Siti Jenar yang mendengarkan wejangan yang diberikan oleh Sunan Ampel kepada orang yang akhirnya menjadi seorang wali, yaitu Sunan Bonang. Siti Jenar adalah orang awam yang salah tangkap menerima wejangan tersebut. Tetapi dari kedua konsep tersebut, para ulama masih berbeda pendapat.
Selain perseteruan pendapat konsep wahdatul wujud dan wahdatul syuhud di jawa, hal itu juga terjadi pada kaum Syi'ah Isma'iliyah pada masa Al Hallaj. Hal yang berbeda pengertian terjadi dari definisi kaum syi'ah tentang zina, puasa, dan sabar. Mereka juga dianggap pemberontak dan dianggap musuh oleh raja dan para ulama. Peperangan yang terjadi tidaklah dari para ulama, tetapi oleh Raja yang menganggap mereka adalah pemberontak dan musuh politik. Al Hallaj yang hidup di masa itu, dia mengucapkan kata yang sangat menggemparkan: Ana Al-Haqq berarti Akulah kebenaran. Dia kemudian dianggap mendukung kaum syi'ah. Hal ini juga berarti permasalahan yang timbul dari perselisihan antara ilmu syariat, ilmu ma'rifat, dan kekuasaan atau politik. Semua yang terjadi adalah karena kesalahan pemahaman. Terbunuhnya Al Hallaj bukan karena ucapannya tetapi karena politik.Tetapi merupakan kesalahan Al Hallaj yang mengucapkan dan mengajarkan konsep Wahdatul Wujud (Ana Al-Haqq) kepada murid-muridnya. Bahwa hal tersebut adalah ilmu yang sangat pribadi dan hanya dimengerti oleh orang yang menerimanya. Selain itu, Al Haqq merupakan sifat-sifat Allah.
Ilmu syariat dan ilmu ma'rifat akan selalu menemui kesulitan untuk diajarkan terutama ke masyarakat awam karena ilmu ma'rifat bersifat pribadi dan ghaib. Hal itu merupakan rahasia bagi orang yang menerimanya.
http://id.wikipedia.org/wiki/Wahdatul_Wujud
Wahdatul Wujud Tinjauan Filosof-Urafa
July 22nd, 2009 by eurekamal | Posted in Jalan Irfan
Doktrin wahdat al-wujud adalah doktrin yang fundamental dalam dunia tasawuf atau irfan (Islamic Mysticism), yang juga menjadi isu yang besar di kalangan para mistikus Islam dan mistikus non-Islam. Dan doktrin ini semakin menemukan bentuknya secara sistematis dalam irfan Ibnu Arabi.
Seperti yang telah dijelaskan dalam paragraf-paragraf sebelumnya bahwa yang real hanyalah Allah; Yang azali dan abadi; wujud yang tunggal hanyalah milik Allah. Alam adalah wujud yang tidak mandiri.
Wujud hakiki, meskipun tunggal tapi memiliki beragam manifestasi. Jadi tidak ada dualitas wujud yaitu antara wujud Khaliq (pencipta) dan wujud makhluk (yang dicipta), tapi keduanya adalah satu wujud. Dengan kata lain wujud yang Hak itu kadang-kadang termanifestasi dalam wujud makhluk dengan menurunkan level dirinya dalam level wujud makhluk.
Ibnu Arabi menuturkan: Apa yang kita katakan tentang-Nya pada hakikatnya adalah berbicara tentang sifat dan tentang diri-Nya, sebab eksistensi kita adalah eksistensi diri-Nya. Kita sangat memerlukan diri-Nya agar bisa eksis dan Ia juga memerlukan diri kita untuk melakukan tajali-Nya.[1]
Dalam pandangan Ibnu Arabi, Allah dan makhluk adalah satu dan satu sama lain saling membutuhkan, jadi makhluk adalah dirimu dan sifat al-Hak, hanya saja wujud hubungan keberadaan terhadap Allah adalah hubungan real (hakiki) dan yang lain hanyalah hubungan metaforis (majazi).
Dalam kitab Futuhat al-Makkiyah, di bab hayrah insan (ketakjuban seorang manusia), Ibnu Arabi mengatakan demikian, bahwa perbedaan antara hayrah seorang ahlullah (orang-orang Allah) dan ahlinazar (pemilik akal) adalah demikan:
Ahlnazar (pemilik akal) mengatakan: Dalam segala sesuatu ada tanda yang menunjukan bahwa Dia adalah satu, namun bagi yang memahami hakikat tajali akan mengatakan bahwa, di dalam segala sesuatu ada ayat yang menunjukkan bahwa segala sesuatu itu adalah Dirinya sendiri (aynuhu). Tidak ada yang wujud, selain Allah, Allah adalah dirinya sendiri. Tidak dikenal seseorang atau yang hakikat lain selain diri-Nya, itulah seperti yang diucapkan oleh Bayazid : Aku adalah Allah atau subhanî[2]
Pernyataan Ibnu Arabi yang kontrovesial dan memicu kritikan yang keras dari kaum teolog adalah bait-bait di bawah ini yang ditulis dalam Futuhat:
Maha suci yang menampakan segala sesuatu yang juga diri-Nya. Aku tidak melihat selain diri-Nya dan telingaku tidak mendengar selain kata-kata-Nya, wujud segala sesuatu dalam diri-Nya (immanen) dan setiap orang masih tenggelam dalam mimpinya.[3]
Wahdat al-wujud dalam Pemikiran Ibnu Arabi adalah bahwa wujud di alam musyahada (alam dunia) adalah tajali diri-Nya. Aku merindukan semua alam sebab semuanya dari diri-Nya atau semua alam adalah diri-Nya.
Syaikh Mahmud Syabistari seorang arif di abad ke-6 mengatakan demikian: “Al-Haq yang mulia tidak memiliki dualitas. Di dalam wujud, tidak ada kami dan aku. Di sana kami dan engkau adalah satu. Dalam wahdat tidak ada tamyiz (distingsi); tidak ada perbedaan (differentiation); (yang ada adalah) kemanunggalan antara Wajah al-Baqi (yang Abadi) dan ghaeru halik (tidak binasa); kemanunggalan sair (lintasan), salik (pejalan) dan suluk (perjalanan). [4]
Imam Ghazali mengatakan bahwa para urafa melesakkan dirinya terbang dari batasan-batasan metaforis ke puncak hakikat dan menyempurnakan dirinya dalam mikraj dengan melihat hakikat diri-Nya. Di istana eksistensi tidak ada yang real selain Tuhan. Segala sesuatu binasa (fana) di dalam diri-Nya, tidak hanya dalam satu fase zaman bahkan di awal (azali) di tahap akhir (abadi). Segala sesuatu memiliki dua wajah, satu wajah mengarah pada dirinya dan satu wajah lagi menuju tuhannya. Wajah yang pertama di lihat dari perspektif yang real adalah ketiadaan (‘adam) dan yang lain adalah keberadaan (wujud).
Pada akhirnya, tidak ada yang wujud selain tuhan. Kullu Syaii halikun illa wajhahu; Segala sesuatu fana di dalam diri-Nya yang azali dan abadi.
Lantaran itu, para urafa tidak lagi menanti-nanti jawaban atas pertanyaan-pertanyaan liman al-mulk yawma lilahil wahidil qahhar (Siapakah yang memiliki kerajaan hari ini? Untuk Allah yang Maha Esa dan Mahakuasa) Semuanya adalah milik Allah yang Mahatunggal dan Yang Mahaberkuasa. Lisan mereka senantiasa basah dengan ucapan-ucapan seperti itu hingga hari kiamat.
Mereka tidak menafsirkan Allah Akbar dengan Allah Yang Mahabesar dari yang lain, sebab tidak ada tempat bagi yang lain. Non tuhan sampai kapanpun tidak akan meraih martabat dan sederetan dengan al-Hak (the Truth).[5]
Untuk diingat bahwa terma ashalatu wujud (kehakikan wujud) tidak tercatat di dalam tulisan-tulisan Ibnu Arabi. Istilah-istilah ashalatul wujud di zamannya masih belum populer. Istilah itu dipopulerkan para pensyarah karya-karya Ibnu Arabi (baca: Mulla Shadra).
Argumen-argumen Wahdatul Wujud
Arif dan filosof sekaliber Mulla Shadra dan yang lainnya menyampaikan argumen-argumen filsafat untuk membela wahdat al-wujud lewat kaidah ashalatul wujud dan musytarak maknawi (ekuivokal).
Dalam teori isytirak maknawi yang wujud itu adalah hakikat yang tunggal, esa, sebab tidak mungkin kata tunggal diabstraksikan (intiza’) dari hakikat yang berbeda-beda satu sama lain (jadi harus satu hakikat). Kaidah ‘basithul hakikat kulla asyya’ (the simplicity of everything) simplisitas atau ketidaktersusunan hakikat segala sesuatu.
Dzat yang basith (simple, tunggal) jika tidak meliputi segala sesuatu akan tersusun dari beberapa elemen (tarkibi) baik ia bersifat material atau non-material; jadi wujud mutlak adalah kesempurnaan (kamal) segala sesuatu dengan modus inbisâth (mengalir dalam yang lain).[6]
Argumen-argumen yang anti terhadap Doktrin Wahdatul Wujud
Sebagian fukaha dan teolog baik dari mazhab Syiah atau Sunni atau Kristen mengkritik doktrin tersebut , bahkan sebagian mengkafirkan para pendukung doktrin ini. Karena bertentangan dengan keyakinan mainstream umat Islam. Seperti dengan kalimat la ilaha illah, yaitu syiar islam yang pertama.
Syiar para pembela wahdatul wujud adalah : La wujud illa Allah, yaitu bahwa segala yang ada baik itu berhala atau sembahan lain juga adalah Tuhan. Sementara kalimat la ila illah mengatakan bahwa selain tuhan seperti berhala dsb tidak boleh disembah. Sembahan-sembahan lain tidak layak dijadikan tuhan.
Mereka juga menyerang doktrin para urafa yaitu ‘Maha suci Allah yang bertajali dalam segala sesuatu dan itu juga adalah hakikat diri-Nya.’ Karena dengan pernyataan tersebut menurut mereka berarti menyamakan Tuhan dengan benda-benda yang kotor dan najis, dan kata-kata ini jelas bentuk lain dari kekafiran.
Tentu saja para urafa juga dalam hal ini memiliki kekurangan yaitu tidak fasih dalam mengartikulasikan doktrin-doktrin utama mereka atau mungkin saja para pengkritiknya tidak bisa memahami dengan tepat terhadap maksud mereka. Dari sinilah timbul polemik yang melahirkan trend permusuhan terhadap para urafa termasuk Ibnu Arabi .
Teori wahdat al-wujud adalah teori yang komplek, tidak sederhana dan tidak mudah dicerna secara sambil lalu dan tidak setiap orang memiliki kemampuan untuk bisa menjelaskan hal ini secara benderang.
Namun, di tangan Mulla Shadra doktrin ini bisa diuraikan dengan begitu ilmiah. Ia memiliki kemampuan luar biasa dalam menguraian secara rasional sekaligus memetakan kesalahfahaman atas doktrin tersebut.
Ia menjelaskan tentang konsep saryan (flux, mengalir terus-menerus) wujud dalam wujud yang muta’ayyin (entified) dan wujud spesifik sebagai berikut:
“Ketahuilah bahwa segala sesuatu dalam dalam realitasnya terdiri dari beberapa tingkatan.
Tingkatan pertama, yaitu wujud yang mutlak , tidak terikat, tidak terkondisikan, dan tidak memiliki batasan-batasan dengan batasan apapun (infinite); Yang disebut sebagai huwiyah gaybah atau gaib mutlak; Dzat Ahadiyah, pada tingkatan ini tidak ada nama dan tidak ada sifat. Dan tidak ada akses makrifat ke atas-Nya.
Tingkatan kedua, yaitu wujud yang memiliki relasi dengan yang lain yang diistilahkan dengan wujud muqayyad; yang memiliki hukum-hukum, tipologi, yaitu wujud-wujud intelek, nufus (souls), aflak (celelstial body), unsur-unsur dan tarkib-tarkib, seperti insan, hewan-hewan dan tumbuh-tumbuhan dan entitas-entitas lainnya.
Tingkatan ketiga, yaitu wujud munbasith yang memiliki kemutlakan tapi tidak seperti keumuman kulli (universal), namun dalam format lain, karena wujudnya adalah tahasul (proses/peraihan) dan potensi, maka ia termasuk kulli thabi’i (universal natural) atau kuli ‘aqli (universal rasional). Statusnya masih mubham (samar). Untuk memperoleh status wujudnya ia memerlukan elemen yang lain.
Unitas wujud munbasith tidak dalam bentuk bilangan sebab wujud munbasith adalah hakikat yang satu; yang (ekstended/mumtad/mengalir) pada entitas-entitas kontingen, Hakikat ini adalah asal dunia, falak kehidupan, Arsy ar-Rahman, al-Haq makhluk bihi atau hakikat al-haqâiq dalam lisan para sufi.[7]
Dengan analisa di atas, jadi yang dimaksud dengan al-Haq; wajibul wujud (Wujud Wajib) dalam bahasa para urafa yaitu wujud di tingkatan pertama; yaitu hakikat bi syarti la syai’ (hakikat yang tidak disyaratkan dengan apapun/Hakikat mutlak) sebab kalau bukan pada tingkatan pertama bisa melahirkan tuduhan-tuduhan yang kontroversial dan memang sesat bagi mazhab mana saja yang memiliki prinsip demikian dan dianggap sedang mempromosikan keyakinan panteisme (hulul).[8]
Mulla Shadra di dalam bab Wahmun wa Tanbih, mengatakan ada sebagian orang yang mengaku-aku sebagai sufi, namun mereka tidak mengikuti manhaz para arifin dan mereka juga tidak mencapai maqam para urafa. Lantaran tidak memiliki kapasitas untuk mencerap bahasa para urafa selain itu pikiran mereka sering dikuasai oleh waham.
Mereka menuding bahwa Dzat ahadiyah yang dalam tafsir para urafa dilekatkan pada Dzat maqam Ahadiyah, gaybul guyub, gaybul huwiyat sebagai yang kosong dari manifestasi dan tidak memiliki realitas aktual (bil fi’l). Tapi hanya terealisasir dalam sebuah form (shurah) dan quwwa ruhaniyah wa hissi (kualitas ruhaniyah dan fisik). Dan Allah adalah adalah Zahid Majmu’ (substansi yang terdiri dari beberapa elemen) dan itu adalah representasi dari insan kabir (kosmos) dan kitab mubin yang kemudian terwadahi dalam citra insan shagir (manusia).
Tudingan ini merupakan klaim-klaim kekufuran dan zindiq. Seseorang yang memiliki kecerdasan sedikit saja tidak akan mengungkapan perkataan kata seperti ini. Dan penisbatan pemahaman seperti terhadap para sufi agung dalah sebuah pelecehan intelektual , sebab hati dan pikiran mereka bersih dari keyakinan-keyakinan seperti itu.
Sangatlah mungkin kalau aktor di balik yang melontarkan tuduhan-tuduhan seperti itu adalah orang-orang jahil dalam menisbatkan wujud mutlak. Sebab wujud kadang-kadang mengacu pada wujud mutlak, wujud syamil atau terhadap konsep-konsep umum yang abstrak.
Salah satu kitab yang ditulis untuk menyerang kaum urafa adalah kitab ‘Masra tasawwuf yang ditulis Burhanudduin Baqai (888-809). Kitab itu mengandug sejumlah kesalahan interpretasi atas ucapan kaum sufi :
Syaikh Zaynuddin Abdurrahim bin Al-Husain Iraki yang disebut oleh baqai sebagi syaikh syuyukh (gurunya para guru); Imam Qurwah; Syaikh Islam, penjaga zamanya menyampaikan komentarnya tentang Ibnu Arabi ;
“Ini adalah keyakinan yang menentang Allah dan rasul-Nya dan semua (keyakinan) mayoritas kaum Muslimin; Mereka adalah yang hanya menjustifikan keyakinan kaum sufi dan lebih percaya mereka adalah yang paling memiliki makrifat tentang Tuhan. Mereka mendefiniskan bahwa sufi adalah orang yang meliha tuhan di mana saja dan bahwa semuanya adalah Tuhan itu sendiri. Tidak diragukan lagi ini adalah sebuah bentuk kemusyrikan dan lebih buruk dari penyimpangan kaum Nasrani dan Yahudi, sebabnya orang Yahudi dan Nasrani hanya mempersekutukan tuhan dengan hamba-hamba yang paling dekat dengan Allah, sementara Ibnu Arabi mempersekutukan Tuhan dengan kambing, dengan berhala dan bahkan dari kata-kata mereka dapat ditafsirkan bahwa tuhan adalah anjing dan babi dan bahkan juga barang-barang yang kotor. Salah seorang ahli ilmu dan ahli tsiqat menukil kepada saya ia perna melihat komunitas seperti ini di sekitar perbatasan Iskandariyah. Mereka berkata kepadanya bahwa tuhan adalah segala sesuatu. Ketika itu seekor keledai melewati tempat tersebut saya bertanya apakah keledai juga tuhan? Meraka mengiyakan dan lalu kata saya bagaimana dengan kotoran apakah itu juga tuhan dan ternyata mereka mengiyakan juga.”
Di belahan dunia Barat juga banyak tuduhan-tuduhan yang negatif terhadap kaum mistikus akibat kesalahan mereka dalam menyelami konsep wahdatul wujud
Doktor Barens seorang pendeta dari Birmingham mengatakan, “Menurut saya semua konsep tentang wahdat al-wujud harus ditolak. Sebab jika manusia adalah Tuhan manusia, maka semua kotoran dan najis yang ada di tubuhnya juga adalah Tuhan.[9] Stace salah seorang teolog kristen mengatakan bahwa ada tiga hal yang mendorong orang-orang beragama tidak menyukai konsep wahdat al-wujud yaitu, Pertama, Monoteism, sementara wahdat al-wujud dalam pandangan para ilmuwan Barat percaya dengan satu yang tidak distingtif (gairu mutasyakhish). Kedua, yaitu kritikan atas doktrin ini sebab memandang selain tuhan juga memiliki sifat-sifat ketuhanan dan konsekuensinya maka syarr (keburukan) juga adalah tuhan dalam pandangan mereka. Ketiga, dalam setiap jantung agama terselip perasaaan akan keagungan (Majesty of) Tuhan dan perasaan ini akan lenyap dalam pandangan wahdat al-wujud seperti yang dikatakan oleh Rudolf Otto tentang rahasia dari keagungan yang mencengkram. Status manusia sesungguhnya tidak memilik apa-apa. Di sisi Tuhan manusia identik dengan ketiadaan. Dengan semua kelemahan manusia seperti itu alangkah tidak pantasnya mengklaim menyatu dengan Tuhannya (wahdatul wujud). Klaim-klaim kesatuan tuhan dengan makluk-Nya adalah kekafiran sebab mengasumsikan tidak ada jarak lagi antara Tuhan, manusia dan semesta. [10]
Dengan demikian, maka tidaklah menakjubkan kalau komunitas masyarakat teolog dan juga para fukaha (juris) Islam dan juga dari kalangan agama lain dengan keras menentang teori wahdat al-wujud. Dengan jelas bahwa lantaran konsep itu tidak mudah dicerna selain itu juga pemaparan yang keliru dari para psudo sufism (sufi gadungan) yang semakin mengaburkan konsep yang sebenarnya.
Namun,alangkah baiknya bagi mereka yang memang tidak memiliki pengetahuan yang luas tentang konsep tersebut, menahan diri untuk tidak mengeluarkan komentar-komentar di depan publik dan mereka yang tidak bisa menangkap ucapan-ucapan para urafa sebaiknya juga tidak begitu mudah menyematkan label-label kafir kepada mereka. Alangkah jujurnya jika menyatakan bahwa mereka seharusnya memilih diam karena belum bisa memahami dengan jelas kata-kata kaum sufi. [pernah dimuat pada www.indonesia.islamquest.net ]
[1] Ibnu Arabi, Fushus al-Hikam, hal. 164.
[2] Ibid, juz 1:272
[3] Ibid, juz 2:459
[4] Syaikh Mahmud Syabastari, Gulistan Râz.
[5] Muhammad Gazali, Misykat al-Anwâr :150-152
[6] Mulla Shadra, Al-Asfar al-Arba’ah, juz 2: 327.
[7] Shadru Muta’alihin, al-Asfar al-Arba’ah, jil. 2 hal 327-330.
[8] Bertand Rusell, Ilmu wa Mazhab hal 127
[9]. Bertand Russel, Ilmu wa Mazhab hal 127 nukilan dari kitab Falsafah wa irfan
[10]. ‘Irfan wa Falsafe, hal. 256, nukilan dari Sayid Yahya Yatsribi, Falsafeh-ye Irfan, hal. 173.
http://isyraq.net/?p=943


Wahdatul Wujud, Serta Perbedaan Teori Wujud Sufi dan Teori Wujud Filosof
Kamis, 21 Januari 2010


Pendahuluan
Pembahasan tentang Tuhan sungguh telah menjadi pembahasan yang tiada habisnya. Dalam setiap zaman Tuhan selalu ingin diketahui oleh makhluk-Nya, hal ini berangkat dari fitrah manusia yang mempunyai rasa ingin tahu dan rasa apresiasi yang tinggi. Maka atas itu, muncullah macam-macam disiplin ilmu yang membahas tentang Tuhan. Seperti contohnya Filsafat dan Tasawuf yang masing-masing memiliki metode yang berbeda dan sudut pandang yang berbeda, akan tetapi memulai start tentang pembahasan Tuhan dalam tempat yang sama, yakni dari bahasan wujud.




Dalam filsafat misalnya, Mulla Sadra merumuskan wujud itu satu dan juga banyak/tasykikul wujud. Dalam tasawuf misalnya Ibn ‘Arabi merumuskan bahwa wujud itu satu, hanya saja manifestasinya yang banyak. Menurut Ibn Sîna, bahwa wujud ada banyak, tidak ada kesatuan antara semuanya. Akan tetapi dari sekian banyak teori wujud yang para filosof dan ‘arif/sufi telurkan, dalam perkembangannya hanya wahdatul wujud-lah yang secara umum diketahui.
Membahas tentang teori wahdatul wujud, tentu langkah awal yang harus kita lakukan adalah memisahkan antara keesaan/oneness dan kemajemukan/manyness karena wujud-lah yang kita bahas. Realitas wujud tersebut apakah satu? Atau realitas wujud banyak? Atau realitas wujud itu satu yang meliputi banyak?
Kita juga harus membedakan antara wujud dan maujud. Karena dalam disiplin ilmu tasawuf antara wujud dan maujud adalah berbeda, seperti contoh al-wujud huwa wujud. Sedangkan dalam disiplin ilmu filsafat wujud juga dikatakan sebagai maujud, yakni al-wujud huwa maujud. Jadi para filosof menyamakan antara esensi/wujud dan eksistensi/maujud. Atas adanya perbedaan ini, maka lahirlah banyak pandangan tentang teori wujud seperti di bawah berikut:
Katsratul Wujud, oleh pendiri aliran filsafat peripatetic yakni Ibn Sina
Katsratul Wujud wa Wahdatul Wujud, oleh pencetus aliran Hikmah Muta’aliyah yaitu Mulla Shadra
Wahdatul Wujud, oleh Sufi terkenal Ibn ‘Arabî
Wahdatul Wujud (wa Wahdatul Maujud), yang dianut oleh sebagian kecil para sufi juhala’/sufi
Penjelasan atas empat teori wujud di atas akan dijelaskan seperti di bawah ini:
Katsratul Maujud
Ibn Sina berargumen bahwa Al-wujud adalah hanya suatu konsep sedangkan realitasnya tidak ada, atau hanya sebuah mafhum/pemahaman, yakni lebih tepatnya diketahui sebagai Al-mafhum al-âm/general concept. Mengapa Ibn Sina bisa berargumen seperti ini? Yakni berasal dari pemahaman bahwa manusia dalam menganalisa sesuatu menjalani tiga fase, yang pertama adalah secara sensorial/indrawi yang kemudian diimajinasikan dan pada akhirnya dibuktikan secara rational.
Mulai dari pengetahuan sensorial yang berawal dari asumsi panca indra, semisal ia merasakan melalui indra perabanya bahwa tembaga yang merupakan salah satu dari logam dapat menghantarkan panas, lalau diimajinasikan relasi antara logam dan panas, kemudian tahap pembuktian rasional yaitu diadakanlah sebuah penelitian terhadap macam-macam logam lain, dan terbukti bahwa logam-logam lainnya dapat menghantarkan panas. Sehingga diambil kesimpulan secara general bahwa logam dapat menghantarkan panas. Intinya semula dari asumsi indra, kemudian diimajinasi dan diuji kebenarannya melalui sebuah praktikum, diambil yang mayoritas maka diasumsikanlah sebuah kesimpulan yang dipahami sebagai konsep umum/general concept. Meskipun belum tentu juga bahwa semua logam menghantarkan panas, istilah ini disebut dengan al-tajrîd wa al-ta’mîm (membuang perbedaan dan memunculkan persamaannya).
Dari pendapat Ibn Sina bahwa wujud itu adalah konsep saja, maka dapat kita pahami yang eksis dan benar-benar ada adalah Al-maujud/eksistensi. Semisal ada satu meja, Ibn Sina memaknai bahwa yang benar-benar eksis adalah bentuknya meja yang merupakan al-maujud, bukanlah wujud meja tersebut atau esensi meja tersebut, otomatis hal ini berlaku pada benda-benda lainnya. Dengan ini berdasarkan pendapat Ibn Sina maka segala sesuatu benda yang ada di alam ini eksistensi-nya tidak satu melainkan banyak. Tidak ada kesatuan eksistensi antar semua benda dikarenakan maujud-nya masing-masing berbeda.
Katsratul Wujud wa Wahdatul Wujud
Lahirnya teori Katsratul Wujud wa Wahdatul Wujud ini bukan berasal dari hasil berfikir pada mulanya, akan tetapi berasal dari hasil kritikan yang dibuat oleh Mulla Shadra kepada Ibn Sina atas teorinya. Mulla Shadra mengkritik, menurutnya wujud-wujud yang ada seperti contoh pohon, langit dan lain-lain, atau sebuah wujud yang khusus/wujud khâs adalah mempunyai wujud bentuk wujud yang berbeda satu sama lainnya. Akan tetapi pengertian wujud mereka adalah sama, yakni kesatuan yang bersifat real antar wujud yang khusus/wujud khâs tersebut. Namun di sisi lain mahiyat/aksiden (yakni sebuah suatu sifat yang menempel kepada benda yang sifat tersebut tidak bisa berdiri sendiri tanpa bersandar kepada benda tersebut) (seperti contoh tinggi atas batang pohon, panjang atas ruas jalan dan lain-lain) yang ada pada benda tersebut berbeda. hal ini dipengaruhi oleh wujud benda-benda yang berbeda, seperti contoh wujud kursi yang berbeda dengan wujud meja. Jadi di sisi lain wujud satu sama lain juga berbeda.
Jadi intinya Mula Shadra memberikan tanggapan atas pendapat Ibn Sina yang mengatakan maujud itu banyak, akan tetapi wujud dikatakan sama sebagai Al-mafhum al-âm/general concept. Maka tidak mungkin dari banyaknya benda bisa digeneralisir menjadi sama kalaulah tidak mempunyai makna yang sama atau kualitas yang sama masing-masing di dalamnya. Maka dari itu Mulla Shadra merumuskan teori tentang wujud, bahwa wujud pada benda penampakannya ada banyak, akan tetapi dari banyaknya penampakan wujud itu memiliki pengertian yang sama yakni sebagai realitas yang mewujud. Dalam perkembangannya teori yang dicipitakan oleh Mulla Shadra ini perlahan menggeser katsratul maujud-nya Ibn Sina, di karenakan para filosof banyak yang lebih mempercayainya.
Wahdatul Wujud
Wahdat al-Wujud yang merupakan sebuah doktrin dari Ibn Arabi, secara bahasa bermakna kesatuan wujud. Adapun makna terminologisnya adalah bahwa tidak ada sesuatu pun dalam wujud kecuali Tuhan dan bahwa wujud selain-Nya hanyalah ada dikarenakan manifestasi wujud-Nya. Dengan kata lain bahwa wujud selain-Nya adalah refleksi atau berasal dari wujud Tuhan. Satu-satunya eksistensi sejati adalah milik Yang Satu dan Yang Satu inilah yang tampak dalam semua manifestasi.
Berdasarkan teorinya, menanggapi pernyataan Mulla Shadra yang mengatakan wujud satu akan tetapi juga banyak (di karenakan gradasi), Ibn ‘Arabi menafikan adanya banyak wujud, karena menurutnya wujud itu hanya ada satu saja. Hal ini didasari atas adanya proposisi Al-wujûd wâjib, kullu wâjib wâhid, fa al-wujûd wâhîd (wujud itu bersifat wajib/dhoruriy, segala sesuatu yang wajib itu hanya ada satu, maka wujud adalah satu).
Dari adanya premis Al-wujûd wâjib, kita dapat mendapatkan satu kesimpulan bahwa kullu mâ laysa bi al-wujûd fa huwa laysa bi al-wâjib au mumkin (semua yang bukan wujud adalah bukan wajib, sedangkan semua yang bukan wajib adalah bersifat mumkin). Mumkin adalah posisi tengah antara wâjib dan mumtani’/mustahil.
Wahdatul Wujud (wa Wahdatul Maujud)
Pada umumnya argumen ini tidak begitu banyak bermunculan, karena argumen ini hanya dianut oleh para sufi juhala’/sufi yang amat sangat merindukan Tuhannya. Mereka beranggapan bahwa wujud itu hanya ada satu, dan maujud-nya juga hanya ada satu. Akan tetapi pendapat ini dalam perkembangannya tidak didasari oleh argument yang meyakinkan.
Selain itu juga ada kejanggalan dan kesalahan yang sebenarnya ada dalam teori ini, yaitu keterbatasan Tuhan terhadap jumlah satu-Nya. Tidak ada kemajemukan atas segala yang maujud, maka kata tidak tersebut suda terkesan membatasi keberadaan Tuhan yang mutlak atau absolut. Sedangkan sesuatu yang mutlak atau absolute harus mencakupi segala sesuatu. Intinya sesuatu yang mutlak harus inklusif dan eksklusif.
Lebih Jelas Tentang Wahdatul Wujud
Sebelum kita masuk lebih dalam tentang Wahdatul Wujud, mungkin ada pertanyaan di benak kita bagaimana mungkin dari satu menjadi banyak? Bukankah antara satu dan banyak itu adalah sesuatu yang saling kontradiksi?
Berbicara tentang kemutlakan atau ke-absolut-an atau ketidak terbatasan, seperti yang di miliki oleh dzat Tuhan, maka sudahlah pasti bahwa sesuatu yang mutlak atau absolut atau tidak terbatas tersebut tidaklah mungkin ada lebih dari satu, karena kalau ada lebih dari satu maka otomatis kemutlakannya tidak nampak karena ada hal lain yang menyamainya. Akan tetapi kemutlakan atau ke-absolut-an atau ketidak terbatasan dzat-Nya juga tidak akan terbukti kalau tidak meliputi segala sesuatu.
Menjawab pertanyaan di atas, yakni dari yang satu menjadi banyak ini karena satu yang tidak terbatas tersebut bertajalli atau manifestasi atau memancar kepada semua lini. Sehingga dapat dikatakan bahwa segala sesuatu yang ada itu berasal dari-Nya, dengan kata lain adalah Dia adalah dia akan tetapi dia bukanlah Dia. Tajalli juga sering dimaknai sebagai الفيض/emanation yang berarti melimpah. Layaknya air yang tumpah dalam suatu gelas di karenakan banyaknya atau melimpahnya air tersebut, sehingga ia keluar dari gelas yang mewadahinya. Emanasi tersebut adalah penyebab dari adanya tajalli sehingga segala sesuatu itu hanya berasal dari-Nya.
Maqam Al-Wahidiyah
Kemudian karena Dia tak terbatas, maka Ia akan terus menyebar dan terjadilah tajalli atau manifestasi pada tingkatan yang kedua, yakni Al-Wahidiyah. Pada tingkatan Al-Wahidiyah Tuhan mulai menampakkan nama-nama-Nya yang masih dalam bentuk kualitas yang termanifestasi. Oleh karena itu maqam Al-Wahidiyah juga dikenal sebagai maqam Al-Asmâ’/The Divine Name. Isim atau nama dalam tasawuf bukan sekedar lafadz, akan tetapi adalah dzat yang termanifestasi ke dalam satu sifat partikular. Maka dalam maqam Al-Wahidiyah ini pluralitas yang bersifat distingtif sudah mulai nampak, yakni pada nama-nama-Nya yang termanifestasi ke dalam satu sifat partikular tersebut.
Maqam A’yan Tsabitah
A’yan tsabitah adalah hakekat alam yang merupakan obyek yang diketahui (suwar ma’lumat) yang terletak dalam ilmu Allah. Karena sifat identik dengan zat, maka hakekat alam atau a’yan tsabitah juga tidak berbeda dengan zat Allah. Disini kita berhadapan dengan zat Allah yang esa, dan mengandung potensi hakekat alam semesta.
Jadi kesimpulannya a’yan tsabitah adalah objek-objek pengetahuan alam sebelum masuk kepada wujud khoriji, atau lebih mudahnya dapat kita pahami sebagai prototype dari segala sesuatu yang diciptakan oleh Tuhan. Ilustrasinya seperti misal kita yang membayangkan sesuatu di dalam pikiran kita, hal yang kita bayangkan itu keberadaannya sudah mewujud atau dalam istilah filsafat islam dikenal sebagai wujud zihni, tetapi wujud tersebut belum nampak dan eksis di luar.
Setelah a’yan tsabitah, maka Tuhan menciptakan ciptaannya itu ke dalam bentuk yang khoriji, yang kemudian atas segala ciptaannya tersebut terdapat beberapa ciptaan yang merupakan cerminan Tuhan yang dinamakan Insan Kamil.

Reference
Artikel ini ditulis berdasarkan pembelajaran mata kuliah Islamic Mysticism and Gnosis di Islamic College Jakarta, di bawah bimbingan Dosen Muhammad Bagir
http://www.bidin10.co.cc/2009/12/panteisme-atau-wahdatul-wujud.html
http://ridhoyahya89.blogspot.com/2010/01/wahdatul-wujud-serta-perbedaan-teori.html
Wahdatul Wujud Tinjauan Ibnu Arabi dan Mulla Shadra
Oleh: Isyraq

Apa hubungan antara wahdatul wujud dalam pandangan Ibnu Arabi dan Filsafat Hikmah Mulla Shadra? Apakah bangunan Filsafat Hikmah tekerangka dari maktab filsafat, tasawuf dan irfan sebelum Mulla Shadra? Dan yang paling penting adalah bagaimana dua pandangan ini memainkan peran penting dalam kehidupan manusia? Apakah bersandar pada pandangan ini dapat melesakkan manusia lebih dekat kepada Allah Swt?

Kendati wahdatul wujud sebelum Ibnu Arabi mengemuka di kalangan kebanyakan urafa tetapi tidak bisa disangsikan bahwa pandangan Ibnu Arabi yang lebih menonjol dalam hal ini.

Makna wahdatul wujud

Wahdatul wujud dalam pandangan urafa (plural dari arif) dan Ibnu Arabi bukanlah wahdatul wujud konseptual (mafhum), melainkan yang dimaksud dengan wahdatul wujud adalah wahdatul wujud segala sesuatu yang ada di dunia luaran yang hakikatnya diperoleh oleh urafa melalui jalan syuhud. Karena itu, dalam pandangan ini, wujud hakiki itu tidak lebih dari satu dan wujud tersebut adalah wujud Tuhan. Selain Tuhan, apa pun yang eksis dan maujud yang nampak adalah semata-mata entifikasi dan manifestasi wujud Tuhan.

Ibnu Arabi berpandangan bahwa hakikat wahdatul wujud adalah "thuri warai thur aql" (di luar jangkauan akal) yang menjadi penyebab keheranan orang-orang berakal dan untuk memahami hal tersebut ia membutuhkan pada pengenalan yang lebih tinggi yang dalam hal ini akal tidak dapat dijadikan sandaran.

Dalam Filsafat Hikmah Mulla Shadra juga mengemuka konsep wahdatul wujud. Sesuai dengan penjelasan para pemerhati Filsafat Hikmah, Mulla Shadra dalam menjelaskan konsep wahdatul wujud banyak terpengaruh oleh pandangan Ibnu Arabi.

Perbedaan asasi antara Ibnu Arabi dan Mulla Shadra terletak pada penekanan Ibnu Arabi atas "thuri warai thur aql" konsep wahdatul wujud. Mulla Shadra meyakini bahwa konsep wahdatul wujud dapat dijelaskan secara filosofis. Atas dasar ini, sistem filsafat Mulla Shadra berdasarkan dan berpijak pada masalah kehakikian wujud (ashalatul wujud) dan wahdatul wujud.

Disebutkan bahwa masalah wahdatul wujud bagi urafa sekali-kali tidak dikemukakan sebagai satu konsep murni filosofis dan terpisah dari realitas kehidupan. Masalah wahdatul wujud merupakan pengungkap tertinggi derajat kemurnian dan ketulusannya dalam bertauhid kepada Allah Swt. Kehidupan yang sarat dengan cinta dan harapan urafa Ilahi sejatinya merupakan jelmaan kehidupan yang berdasarkan wahdatul wujud.

Pada hakikatnya, mazhab cinta dalam irfan Islam bertitik tolak dari konsep ini. Karena para pesalik (yang menekuni dan melakoni) jalan irfan apabila mereka memerhatikan realitas ini bahwa alam semesta khususnya manusia merupakan manifestasi wujud Tuhan, maka ia akan menjadi pecinta Tuhan di alam semesta dan puncak dari cinta ini adalah kefanaan dan lebur dalam wujud hakiki Ilahi.

Wahdatul wujud merupakan pesan utama irfan Ibnu Arabi yang dapat disaksikan pada seluruh karyanya. Kendati pada masa sebelum Ibnu Arabi, urafa banyak menyinggung masalah ini namun tidak dapat disangsikan bahwa pandangan Ibnu Arabi yang lebih menonjol dalam hal ini.



Makna wahdatul wujud

Wahdatul wujud dalam pandangan urafa (plural dari arif) dan Ibnu Arabi bukanlah wahdatul wujud konseptual (mafhum), melainkan yang dimaksud dengan wahdatul wujud adalah kesatuan wujud segala sesuatu yang ada di dunia luaran yang hakikatnya diperoleh oleh urafa melalui jalan syuhud. Sumber utama konsep wahdatul wujud ini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan masalah filosofis.[1]

Karena itu, menurut konsep wahdatul wujud, wujud hakiki itu tidak lebih dari satu dan wujud tersebut adalah wujud Tuhan. Selain Tuhan, apa pun yang eksis dan maujud yang nampak adalah semata-mata entifikasi (ta'ayyun) dan manifestasi (tajalli) wujud Tuhan.

Penjelasan ini berkali-kali dapat dijumpai dalam karya-karya Ibnu Arabi yang menandaskan bahwa alam semesta merupakan manifestasi Tuhan dan tiada yang nampak pada wujud selain Hak (Tuhan),[2] yang dengan memerhatikan pada Zat-Nya seluruh semesta dan isinya adalah lebur dan batil. Akan tetapi, karena penampakannya lantaran wujud Tuhan maka selain Tuhan itu ia memiliki wujud bilghair.

Demikan juga, ucapannya yang terkenal adalah: "Mahasuci Allah yang menampakkan segala sesuatu dan itu identik dengan-Nya."[3] Yang tentu saja maksudnya adalah segala sesuatu itu identik dengan penampakan (zhuhur) bukan identik dengan zat segala sesuatu. Sebagaimana pada kesempatan lain ia berkata: "Dia adalah identik dengan setiap entitas pada tingkatan penampakan (zhuhur) bukan identik dengan setiap entitas pada tataran esensinya. Allah Swt Mahasuci dari penyandaran seperti ini. Dia adalah Dia dan segala entitas adalah entitas-entitas relasional (maujudat rabthi).[4]

Ibnu Arabi memandang bahwa hakikat wahdatul wujud merupakan sebuah perkara yang sangat agung dan "thuri warai thur akal"[5] yang membuat orang-orang berakal takjub dan mereka membutuhkan (media) pengenalan yang lebih tinggi untuk memahami hal ini. Ia meyakini bahwa akal tidak dapat diandalkan untuk mencerap hakikat wahdatul wujud. Lantaran Allah Swt pada tingkatan penampakan (zhuhur) adalah identik dengan segala sesuatu. Namun Dia tidak identik dengan segala sesuatu pada tataran esensi (zat). Perkara agung ini bukan sekedar sepintas kontradiksi, melainkan benar-benar kontradiksi; lantaran apabila kontrakdiksi hanya tampak secara lahir maka setelah kontradiksi ini dapat diatasi maka ia tidak lagi agung dan tidak lagi membuat orang-orang takjub.

Ibnu Arabi mengatakan, "Mengungkapkan hal ini benar-benar pelik. Lantaran kata-kata tidak mampu mengekspresikannya. Dan karena perubahan dan kontrakdiksi pada hukum-hukumnya maka benak tidak dapat merekamnya. Masalah ini seperti pada firman Allah Swt yang menyatakan: "Wama ramaita idz ramaita." (Kalian tidak melempar (pengingkaran) tatkala kalian melempar (penetapan)."[6]

Apa yang telah diuraikan di atas adalah beberapa penjelasan dan ungkapan Ibnu Arabi terkait pembahasan wahdatul wujud yang menjadi fokus utama kajian irfan teoritis.

Adapun konsep wahdatul wujud ini mengemuka dalam Filsafat Hikmah Mulla Shadra dan Mulla Shadra mengklaim bahwa ia mampu menetapkan konsep wahdatul wujud tersebut dengan argumen-argumen filosofis.

Kebanyakan urafa meyakini bahwa Mulla Shadra mengadopsi pokok konsep wahdatul wujud ini dari Ibnu Arabi dan secara umum memandang Mulla Shadra banyak terpengaruh oleh pemikiran Ibnu Arabi. Pada tataran praktik juga, persoalan-persoalan yang disampaikan Mulla Shadra menunjukkan bahwa ia telah sampai pada puncak dan ketinggian filsafatnya dengan menggunakan konsep wahdatul wujud. Sebagaimana hal itu ia nyatakan sendiri: "Tuhanku telah memberikan petunjuk dan burhan-burhan jelas kepadaku bahwa wujud hanya terbatas pada satu hakikat sedemikian sehingga tiada entitas yang eksis selain wujud-Nya. Dan apa pun yang nampak eksis selain-Nya adalah penampakan, manifestasi dan emanasi dari seluruh emanasi-Nya yang tak-terbatas."[7]

Terkait dengan perbedaan asasi antara Ibnu Arabi dan Mulla Shadra, Ibnu Arabi meyakini bahwa wahdatul wujud tidak dapat diungkapkan dengan akal dengan berkata "thuri warai thur akal." Mulla Shadra berdasarkan pandangan universalnya yang bersandar pada kesatuan irfan, al-Quran dan burhan, menandaskan bahwa masalah ini, di samping seiring sejalan dengan al-Quran juga merupakan persoalan argumentatif dan dapat dinalar secara filosofis.

Berkenaan dengan penjelasan Mulla Shadra kiranya kita perlu menyebutkan poin ini bahwa Mulla Shadra secara lahir mengemukakan dua pendapat dalam masalah ini: Pendapat pertama dan pendapat terakhir. Pendapat pertama disebut sebagai "wahdat tasykiki wujud" dan pendapat terakhir dinamakan dengan "wahdat syakhshia wujud." Sesuai dengan penjelasannya sendiri, pendapat pertama semata-mata merupakan tingkatan persiapan sehingga klaim utamanya yaitu "wahdat syakhshia wujud" atau wahdatul wujud urafa dapat ia tetapkan.[8]

Wahdat tasykiki wujud (kesatuan gradasi wujud) adalah bahwa wujud merupakan satu hakikat tunggal dan memiliki tingkatan, memiliki intensitas dan kelemahan. Termasuk seluruh entitas semenjak wajibul wujud (Wujud Wajib) hingga materi (maddah) masing-masing merupakan satu hakikat berdasarkan tingkatannya. Artinya ia tunggal dalam kejamakannya dan jamak dalam ketunggalannya.

Penjelasan lebih jauh, bahwa tingkatan lemah juga memiliki hakikat wujud, namun ia berada pada tingkatan yang menurun. Namun demikian, urafa menentang pandangan ini dan meyakini konsep wahdat syakhshia wujud dan wujud hakiki hanya milik Tuhan dan segala entitas merupakan jelmaan, manifestasi-Nya yang pada tingkatan zatnya entitas-entitas tersebut lebur dan fana dan tidak memiliki wujud bagi dirinya.

Bukan tempatnya di sini untuk mengurai lebih jeluk masalah ini dengan menurunkan semua argumen dan pembahasan yang tekait dalam Filsafat Hikmah dan bagaimana Mulla Shadra memperoleh dua pendapat ini dan demikian juga ragam pendapat yang dilontarakan oleh ulama dalam hal ini. Untuk itu, kami persilahkan Anda agar merujuk pada buku yang membahas masalah ini lebih jeluk.[9]

Bagaimanapun, Mulla Shadra pada akhirnya sejalan dengan Ibnu Arabi dalam masalah ini. Dan, pada puncak filsafatnya dengan menggunakan kendaraan wahdat tasykiki al-wujud dan wahdat syakhisya al-wujud ia sampai pada wahdatul wujud urafa.

Dari apa yang diutarakan di atas menjadi jelas bahwa wahdatul wujud tergolong sebagai pembahasan pokok dan asasi dalam kajian irfan teoritis. Pada Filsafat Hikmah juga ditegaskan keselarasannya dengan al-Quran, irfan dan burhan.

Adapun terkait dengan jawaban atas inti pertanyaan Anda terlepas dari pembahasan filosofisnya yang jeluk, apa hubungan dan peran konsep wahdatul wujud ini dalam kehidupan manusia? Apakah ia memainkan peran dalam melesakkan manusia untuk lebih dekat kepada Allah Swt?

Dalam hal ini harus dikatakan bahwa konsep wahdatul wujud urafa sejatinya termasuk sebagai pembahasan tingkatan tertinggi tauhid dan hal itu disebut sebagai "tauhid wujudi". Karena sesuai dengan konsep wahdatul wujud ini, tidak hanya "tiada tuhan selain Allah" bahkan lebih tinggi dari itu, tiada wujud dan entitas selain Dia. Hal ini merupakan puncak tauhid yang pada inti keberadaan dan eksistensi tiada sekutu bagi Tuhan semesta alam.

Di sinilah puncak keikhlasan dalam tauhid akan tampak nyata. Seluruh entitas di antaranya adalah keakuan manusia sebagai tirai hakiki. Dan seorang arif entitas rekaannya ia leburkan dalam pancaran wujud hakiki.

Antara pecinta dan yang dicinta tiada tirai terbentang

Engkau adalah tirai bagi dirimu wahai Hafizh bangunlah

Sejatinya, masalah wahdatul wujud bagi seorang arif bukan merupakan masalah pinggiran yang terpisah dari masalah kehidupan sebagaimana sebuah konsep filsafat murni, melainkan ia merupakan hal yang berjalin berkelindan dengan seluruh kehidupan manusia. Kehidupan yang penuh cinta dan harapan urafa merupakan jelmaan kehidupan yang berdasarkan wahdatul wujud. Mazhab cinta dalam irfan Islami sejatinya terpompa dari jantung wahdatul wujud. Lantaran pesuluk jalan irfan, sekiranya menyaksikan hakikat ini di seantero jagad raya khususnya pada diri manusia dan puncaknya pada manusia sempurna (insan kamil) adalah manifestasi Tuhan, maka ia akan menjadi pencinta penampakan Tuhan di alam semesta. Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, ia akan lebur dan fana dalam kecintaan ini dan sampai pada tingkatan tertinggi tauhid.

Mengingat bahwa manusia merupakan jelmaan dan cermin rahasia-rahasia Ilahi dan pada irfan, puncaknya, ia harus menemukan wujud Tuhan pada rahasia dirinya. Menyitir Ibnu Arabi, "Kita adalah sifat-sifat itu sendiri yang kita gunakan untuk mencirikan Tuhan dengan sifat-sifat tersebut. Dan wujud kita semata-mata merupakan citra luaran wujud Ilahi. Kita membutuhkan Tuhan sehingga kita menemukan wujud, sementara pada saat yang sama Tuhan membutuhkan wujud kita sehingga Dia dapat memanifestasikan diri-Nya."[10]

Apa yang akan terjadi apabila pendaran cahaya yang dicinta menimpa pecinta

Kita membutuhkannya dan Dia merindui kita.[]


[1] Untuk telaah lebih jauh Anda dapat melihat jawaban 5567 (Site: 5838).

[2] Ibnu 'Arabi, al-Futuhat al-Makkiyah, jil. 2, hal. 517, Dar al-Shadr, Beirut, tanpa tahun.

[3] Ibnu 'Arabi, al-Futuhat al-Makkiyah, jil. 2, hal. 604, sesuai nukilan dari Muhammad Khawaji, Kherad Nâme Shadra, hal., 54, no. 19, Bahar 79.

[4] Al-Futuhat al-Makkiyah, jil. 2, hal. 484.

[5] Ibid, jil. 1, hal. 289.

[6] Ibid, jil. 2, hal. 216.

[7] Muhammad Shadruddin Syirazi (Mulla Shadra), al-Hikmat al-Muta'aliyah fii al-Asfar al-Arba'ah, jil. 2, hal. 292, Dar al-Ihya Turats al-'Arabi, Beirut, cetakan ke-4, 1410 H.

[8] Al-Hikmah al-Muta'aliyah fii al-Asfar al-Arba'ah, jil. 1, hal. 71.

[9] Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat jawaban 5567 (Site: 5838).

[10] Annemarie Schimmel, Ab'ad-e Irfani Islami, terjemahan Abdurrahim Gawahi, hal. 437, Nasyr-e Farhanggi Islamim, Teheran, cetakan ke-5, 1377 S.
http://www.alhassanain.com/indonesian/articles/articles/Philosophy_and_gratitude_library/wahdatul_wujud/001.html

No comments:

Post a Comment