Tuesday 5 July 2011

rangkuman Fiqh 2

Definisi “Haq” adalah hukum yang sudah tetap menurut syara’. Lebih jelasnya menurut Prof. Musthofa Zarqo’, bahwa haq ialah ketentuan yang ditetapkan syara’ baik berbentuk kekuasaan maupun beban; Tujuan kepemilikan dalam Islam secara umum adalah pemindahan kekayaan dari seseorang kepada orang lain dan dari kelompok kepada kelompok lain.
SEBAB-SEBAB KEPEMILIKAN
1. Ikhraj al-mubahat, untuk harta yang mubah (belum dimiliki oleh seseorang), Ada dua syarat untuk memiliki benda-benda yang brsifat mubahat; pertama, benda mubahat belum dikuasai oleh orang lain. Misalnya, seseorang mengumoulkan air dalam satu wadah, kemudian air itu dibiarkan, maka orang lain tidak berhak mengambil air tersebut. Kedua, adanya niat atau maksud memiliki. Misalnya seorang petani menaruh jarring dipinggir sawah, kemudian ada burung yang tersangkut pada jarring tersebut. Apabila niat petani hanya ingin mengeringkan jarring maka ia tidak berhak memiliki burung tersebut.
2. Khalafiyah, yaitu bertempatnya seseorang atau sesuatu yang baru bertempat pada tempat lama yang telah hilang berbagai macam haknya. Khalafiyah terbagi dua macam: khalafiyah ‘an syakhsyin dan khalafiyah ‘an syai’in. Khalafiyah ‘an syakhsyin adalah ahli waris yang berhak atau memiliki warisan. Sementara khalafiyah ‘an syai’in apabila seseorang merugikan milik orang lain atau menyerobot barang orang lain, kemudian rusak atau hilang di tangannya, maka dia wajib membayar senilai harga barang kepada pemiliknya.
3. Tawallud min mamluk, yaitu segala yang muncul dari benda yang telah dimiliki sebelumnya sehingga menjadi hak bagi yang memiliki benda tersebut. Misalnya bulu domba menjadi milik orang yang memiliki domba tersebut.
TINGKATAN KEPEMILIKAN
1. Milk Tam; suatu kepemilikan yang sempurna,
2. Milk Naqis; kepemilikanya tidak lengkap, memiliki benda saja atau memanfaatkanya saja.. Milik Naqis di bagi menjadi tiga;
a. Milik ain saja, ain hanya dimiliki seseorang tetapi manfaatnya untuk orang lain sebagaimana orang yang berwasiat pada orang lain untuk menanami kebunya. Dalam hal ini pemilik ain (benda) tidak dapat memanfaatkan benda itu.
b. Milik manfaat syakhsyi atau hak memanfaatkan. Dalam hal ini terdapat lima sebab yakni i’aroh (pinjaman), ijaroh (sewaan), waqaf, wasiat dan ibahah (izin untuk merusak atau menggunakan sesuatu.
c. Milik manfaat ain atau haq al-irtifaq.
Dari segi tempat, milik dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
1. Milk ain dapat juga disebut milk al raqabah,
2. Milk al-manfaat
3. Milk al-dain
Dari segi cara yang berpautan antara milik dengan yang dimiliki di bagi dua:
1. Milk al-mutamayyiz
2. Milkul syari’ atau milk al-musya’
3. AKAD
Dalam istilah, terdapat dua makna akad, yakni makna am dan khas;
1. Akad dalam pebgertian am ialah:
كُلُّ مَا عَزَمَ الْمَرْءُ عَلىَ فِعْلِهِ سَوَاءٌ صَدَرَ بِاِرَادَةٍ مُنْفَرِدَةٍ كَالْوَقْفِ وَالاِبْرَاءِ وَالطَّلاَ قِ وَالْيَمِيْنِ اَمِ احْتَاجَ اِلَى اِرَادَتَيْنِ فِي اِنْشَاءِهِ كَالْبَيْعِ وَالاِيْجَارِ وَالتَّوْكِيْلِ وَالرَّهْنِ
Artinya : "Segala sesuatu dimana seseorang ingin bermaksud untuk melakukannya, baik timbul dari keinginan sendiri seperti wakaf, ibro’, tholaq, dan sumpah, atau membutuhkan dua kehendak untuk mewujudkannya seperti jual beli, sewa mwnyewa, mewakilkan dan menggadaikan.”
2. Akad menurut pengertian khas ialah:
اِرْتِبَاطُ اِيْجَابٍ بِقَبُوْلٍ عَلَى وَجْهٍ مَشْرُوْعٍ يَثْبُتُ اَثَرُهُ فِي مَحَالِهِ
Artinya : “Perikatan ijab qabul yang dibenarkan syara’ yang ditetapkan dampaknya pada tempatnya itu.”
Adapun rukun aqad dapat di sebutkan sebagai berikut:
1. Aqid (orang yang beraqad)
2. Ma’qud alaih (benda yang diakaqkan)
3. Shighot (ijab qabul dalam jual beli);
a. Ijab ialah ucapan yang keluar dari penjual.
b. Qabul ialah ucapan yang keluar dari pembeli, meskipun diucapkan pertamakali.
Syarat-syarat akad yang harus dipenuhi diantaranya ialah:
1. Kedua orang yang melakukan akad adalah orang yang cakap (tidak sah orang gila)
2. Yang dijadikan obyek akad mampu menerima hukumnya.
3. Akad tersebut diijinkan oleh syara’ atau dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya.
4. Bukan akad yang dilarang oleh syara’
5. Akad dianggap sebagai faidah, sehingga tidak sah bila rahn (gadai) dianggap sebagai timbangan dari amanah.
6. Ijab itu berjalan terus tidak dicabut sebelum qabul, maka apabila ada orang yang menarik kembali ijabnya sebelum qabul maka ijabnya batal.
7. Ijab dan qabul mesti bersambungan sehingga apabila salah seorang telah berpisah sebelum adanya qabul maka ijab tersebut menjadi batal.
Akad dibagi menjadi tiga bagian;
1. “Aqad munjiz” yaitu akad yang dilaksanakan langsung pada waktu terjadinya akad.
2. “Aqad mu’allaq” yaitu akad yang di dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat yang telah ditentukan dalam akad.
3. “Aqad mudhof” yaitu akad yang dalam pelaksanaanya terdapat syarat-syarat yang mengenai penanggulangan pelaksanaan akad, pernyataan penanggulanganya dilaksanakan hingga waktu yang ditentukan.
Rukun Hutang Piutang
Ada tiga rukun hutang piutang yaitu:
a. Lafadz yang diucapkan oleh orang yang mau berhutang, baik dengan lisan maupun dengan tulisan.
b. Orang yang berhutang dan yang berpiutang.
c. Uang atau barang yang dipiutangkan
Syarat-syarat Hiwalah
a. Kerelaan orang yang mengalihkan hutang.
b. Persetujuan orang yang berpiutang.
c. Keadaan hutang (yang dipindahkan) itu sudah tetap menjadi tanggungan. Artinya bukan piutang yang kemungkinan dapat gugur seperti piutang mas kawin dari perempuan yang belum berkumpul dengan suaminya.
d. Adanya persamaan orag yang menjadi tanggungan muhal dan muhal ‘alaih (yang orang menerima pemindaha hak dari muhal), baik dalam jenisnya maupun dalam waktu bayar dan waktu pengagguhannya.
Rukun Hiwalah
a. Orang yang berhutang (muhil)
b. Orang yang berpiutang (muhtal)
c. Orang yang mendapat tanggung jawab membayar hutang (muhal ‘alaih)
d. Utang muhil kepada muhal (dainan)
e. Perjanjian hiwalah (sighat)
Rukun Gadai
a. Orang yang melakukan akad gadai, yaitu orang yang menggadaikan dan yang menerima gadai.
b. Barang yang digadaikan dijadikan jaminan.
c. Barang atau uang yang dipinjam.
d. Sighat (perjanjian) gadai.
Syarat Gadai
a. Kedua belah pihak sah melakukan tindakan hukumseperti dalam jual beli. Anak kecil dan orang gila tidak sah melakukan akad gadai.
b. Barang yang digadaikan adalah sesuatu yang segera dapat diterima/dikuasai oleh yang menerima gadai, bukan barang yang berada dalam penguasaan orang lain.
c. Mamenuhi ketentuan administrasi apabila akad dilakukan dengan penggadaian yang dikelola instansi tertentu.
Rukun ‘Ariyah
a. Orang yang meminjam barang (musta’ir)
b. Orang yang memberi pinjaman (mu’ir)
c. Barang yang dipinjamkan (mu’ar)
d. Perjanjian pinjam-meminjam (sighat)

Syarat ‘ Ariyah
a. Orang yang meminjam dan yang memberi pinjaman hendaklah baligh, berakal dan dianggap sah dalam melakukan tidakan hukum.
b. Barang yang dipinjamkan hendaklah milik orang yang meminjamkan. Artinya tidak sah meminjamkan milik orang lain tanpa seizin yang punya.
c. Orang yang meminjam hanya boleh mengambil manfaat menurut apa yang diizinkan oleh orang yang meminjamkan barang.
d. Peminjam hendaklah mengembalikan barang pinjaman setelah habis masa pinjam.
Rukun Wadi’ah
a. Barang yang ditipkan.
b. Orang yang menitipkan barang yang diberi titipan.
c. Akad kedua belah pihak yang menunjukan adanya saling mempercayai.
Syarat-syarat Wadi’ah
a. Barang yang dititipkan hendaklah jelas ukuran, sifat, jumlah dan barngnya dapat dilihat/dijangkau oleh yang menerima titipan.
b. Orang yang memberi dan menerima titipan mampu melakukan tindakan hukum.
c. Masing-masing pihak tidak saling menghianati.
Rukun Wakālah
Rukun Wakālah ada empat :
a. Muwakkil (orang yang mewakilkan)
b. Muwakkil Fīh (urusan / perkara yang diwakilkan)
c. Wākil (orang yang mewakili atau orang yang diberi kuasa)
d. Sigat
Syarat-syarat Wakālah
a. Syarat Muwakkil
Muwakkil disyaratkan orang yang sah melakukan (menangani) apa yang ia wakilkan kepada orang lain, yaitu karena ia memiliki hak kepemilikan atau kekuasaan (wilayah). Bila ia bukan orang yang sah melakukan apa yang ia wakilkan, karena tidak memiliki hak kepemilikan atau kekuasaan atas sesuatu yang diwakilkan itu maka tidak sah taukilnya karena ia tidak memiliki kekuasaan untuk bertindak atas nama dirinya sendiri, apalagi mewakilkannya kepada orang lain.
Jadi tidak sah taukilnya orang yang tidak mukallaf di dalam tasarruf, kecuali orang pemabuk yang melampaui batas. Demikian juga tidak sah taukilnya kuratele (safīh) di dalam hal-hal yang tidak boleh bertindak sendiri meskipun dengan seizin walinya. Demikian juga taukilnya seorang yang fasik.
Ada perkacualian bagi orang yang buta sah taukilnya di dalam hal-hal seperti jual beli, sewa-menyewa dan hibah, meskipun tidak sah bila ia sendiri melakukan hal itu.

b. Syarat Wākil
Bagi wākil disyaratkan hendaklah orang yang sah menjalankan apa yang diwakilkan. Karena bila ia bukan orang yang sah untuk bertindak untuk dirinya sendiri, maka untuk bertindak atas nama orang lain sudah barang tentu lebih tidak sah. Oleh karenanya maka tidak sahlah mewakilkan kepada anak kecil, orang gila dan orang yang tidak sadar. Juga tidak sah mewakilkan kepada seorang perempuan di dalam hal menikahkan, dan juga tidak sah mewakilkan kepada seorang yang sedang ihram di dalam hal menikahkan, agar melakukan akad nikah di kala ia sedang ihram.

c. Syarat Muwakkil Fih (urusan / Sesuatu yang diwakilkan)
Pekerjaan yang diwakilkan (Muwakkil Fih) disyaratkan:
1) Sesuatu pekerjaan / urusan yang bisa digantikan oleh orang lain.
2) Sesuatu yang dimiliki oleh muwakkil pada waktu taukil.
3) Sesuatu yang diketahui dengan jelas walau dari satu sisi

d. Syarat Sigat
Disyaratkan berupa kalimat dari muwakkil yang memberi pengertian kerelaannya, seperti aku wakilkan kepadamu (dalam sesuatu hal) atau aku kuasakan kepadamu (dalam sesuatu hal) baik itu secara lisan, tertulis, atau surat menyurat.

1. Rukun Sulhu
1. Musālih, yaitu pihak-pihak yang melakukan akad perdamaian
2. Musālah ‘anhu, yaitu persoalan yang diperselisihkan
3. Musālah ‘alaih, hal-hal yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap lawannya untuk memutuskan perselisihan
4. Sigat, yaitu ijab dan qabul di antara dua pihak yang melakukan perdamaian

2. Syarat-syarat Sulhu
1. Orang-orang yang menyepakati perdamaian sama-sama sah bertindak dalam masalah hukum
2. Tidak ada paksaan terhadap kedua belah pihak
3. Masalah-masalah yang didamaikan tidak bertentangan dengan prinsip Islam
4. Jika perdamaian tidak bisa dilakukan hanya oleh kedua belah pihak yang bersengketa, maka penyelesaiannya dapat dibantu oleh pihak ketiga sebagai penengah.
1. Rukun Dhaman
a. Orang yang berutang
b. Orang yang berpiutang
c. Orang yang menjamin pembayaran utang
d. Barang atau uang
e. Lafadz jaminan
2. Syarat-syarat Dhaman
a. Orang yang menjamin hendaklah balig, berakal, atas kehendak sendiri
b. Utang atau barang yang dihadirkan atau oarang yang dihadirkan harus diketahui ukurannya, keadaan dan jumlahnya serta waktunya dan tetap keadaannya.
c. Jaminan tidak mengandung penipuan
d. Jaminan tidak merupakan kewajiban orang yang menjamin. Misalnya tidak boleh jaminan dalam bentuk memberi nafkah anak dan istri karena nafkah mereka sudah menjadi kewajiban orang yang bersangkutan.
e. Jaminan harus pasti, tetentu
f. Masing-masing pihak tidak boleh berkhianat.
Rukun dan Syarat Kafalah
rukun dan syarat al-Kafalah adalah sebagai berikut :
a. Dhamin, Kafil atau Zaim, yaitu orang yang menjamin dimana ia disyaratkan sudah balig, berakal, tidak dicegah membelanjakan hartanya (mahjur ‘anhu) dan dilakukan dengan kehendaknya sendiri.
b. Madmun lah, yaitu orang yang berpiutang, syaratnya ialah bahwa yang berpiutang diketahui oleh orang yang menjamin. Madmun lah disebut juga dengan mafkul lah, madmun lah disyaratkan dikenal oleh penjamin karena manusia tidak sama dalam hal tuntutan, hal ini dilakukan demi kemudahan dan kedisiplinan.
c. Madmun’anbu atau makful ‘anbu adalah orang yang berutang.
d. Madmun bih atau mafkul bih adalah utang, barang atau orang, disyaratkan pada mafkul bih dapat diketahui dan tetap keadaannya, baik sudah tetap maupun akan tetap.
e. Lafadz, disyaratkan keadaan lafadz itu berarti menjamin, tidak digantungkan kepada sesuatu dan tidak berarti sementara.

No comments:

Post a Comment